Sebagai pengganti klotekan dan speaker masjid. Sayangnya hanya bisa dilakukan pada masing-masing rumah (keluarga) saja.Â
Menguji keimanan kitaÂ
"Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya". Masing-masing daerah memiliki tradisi (kebiasaan) yang berbeda-beda untuk membangunkan orang sahur.Â
Tradisi membangunkan orang untuk makan sahur sepanjang tidak melanggar hukum dan norma (nilai-nilai moral keagamaan) yang berkembang di masyarakat kiranya patut dijaga kelestariannya.Â
Bila tradisi tadi meredup atau bahkan terkikis dari peradaban masyarakat setempat akibat penerapan kebiasaan baru (new normal) ya nggak masalah karena hasrat untuk bangun sahur itu lebih ke soal niat (innamal a'malu binniyat) dan bukan karena klotekan atau speaker masjid.Â
Semoga kita semua termasuk ke dalam golongan orang yang beriman, kita bisa istiqamah bangun untuk sahur meski tanpa tradisi (klotekan dan sebagainya) dan paginya mampu menunaikan ibadah puasa seterusnya hingga puasa kita paripurna sebulan penuh. Aamiin YRA. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H