Itu dulu, sekitar 40 tahun yang lalu. Sekarang mungkin tradisi itu sudah dihilangkan karena alasan keamanan dan penghematan biaya.
Mercon yang bersuara keras dan berdaya ledak tinggi dianggap membahayakan keselamatan. Negara berangsur-angsur melakukan pelarangan secara tegas.Â
Anak-anak memang nggak punya rasa takut. Begitu mercon dilarang negara, saya dan teman-teman sebaya kala itu masih saja nekad bermain mercon bumbung. Istilah bumbung berarti bambu.Â
Mercon ini letusannya tidak begitu keras seperti jenis mercon sebelumnya sebab tidak menggunakan bubuk mesiu melainkan hanya minyak tanah.Â
Ledakannya hanya berupa letupan ringan yang disertai nyala api dan gumpalan asap di ujung bambu. Mercon bumbung menyerupai meriam kuno.Â
Anak-anak zaman sekarang mengganti mercon bumbung ini dengan bazoka-bazokaan yang dibuat dari rangkaian bekas kaleng rokok memanjang menyerupai pipa.
Mendatangi Lapak Tukang KolasÂ
Meski belum berpuasa secara teratur namun saya dan teman-teman sebaya mulai mencoba sholat tarawih di sebuah langgar yang ada di ujung gang. Kadang usai berbuka langsung bermain, saking asyiknya bermain sampai lupa dengan sholat tarawih.Â
Bermainnya pun terbilang ada nuansa judi yang nggak patut ditiru oleh anak-anak (generasi) sekarang.Â
Kala itu saya suka mendatangi lapak penjual kolas. Barangkali sudah menjadi tradisi jahiliyah he..he.. sebagian warga kampung saya. Sejak sore sebelum maghrib sudah siap dipinggir gang lapak-lapak penjual kolas.
Hadiah kolas kala itu cukup menggiurkan untuk ukuran anak-anak seusia saya, ada supermie, bakpia, telur asin, susu kental dan roti tawar.Â