Di sebuah desa yang berada di kaki Gunung Surowiti hiduplah seorang janda dengan dua orang anaknya, Gombal dan Gambul. Sang janda yang oleh masyarakat desanya sering disapa Nyai Adem Ayem itu dikenal sebagai sosok yang taat beribadah dan sakti mandraguna.
Pada suatu hari di Bulan Ramadan, Nyai Adem Ayem memutuskan pergi ke hutan untuk mencari sayur, berburu ikan atau apa saja untuk makanan berbuka puasa, maklum kala itu belum ada pasar takjil.Â
Untuk makan sehari-hari, umumnya warga Desa Kedunganyar dimana Nyai Adem Ayem dan kedua putranya tinggal, tidak perlu jauh-jauh mendatangi desa tetangga yang jaraknya ratusan kilometer.Â
Cukup memetik daun-daunan dan sayur-sayuran liar yang bisa dimakan atau menangkap ikan dan unggas di Hutan Menganti.Â
Sejak kepergian suami tercintanya, Ki Among Siswo semua kebutuhan terutama untuk makan sehari-hari harus dicarinya sendiri. Kedua anaknya, Gombal dan Gambul belum bisa diharapkan karena terlalu kecil untuk diajak berburu dan menyusuri belantara Hutan Menganti yang konon angker dan dipercaya penduduk Desa Kedunganyar sebagai tempat bersemayamnya para dedemit.
Semenjak raja-raja dari Kerajaan Madangkara gencar mensyiarkan Islam, hampir semua penduduk Desa Kedunganyar memeluk Islam tak terkecuali keluarga Ki Among Siswo. Hanya beberapa gelintir orang saja yang masih bersih keras mempertahankan keyakinan dan agama lamanya.
Ki Badirul adalah salah satu penduduk Desa Kedunganyar yang masih setia dengan agamanya. Di desanya ia suka petentang-petenteng dengan ilmu kanuragan yang dimilikinya. Anak buahnya cukup banyak, pantas saja semua warga desa dibuat takut bila berurusan dengan Ki Badirul ini. Tak hanya membuat keder penduduk Desa Kedunganyar, ia juga dikenal sebagai jawara pilih tanding yang doyan menggoda perempuan.Â
Sudah lama Ki Badirul menaruh hati kepada Nyai Adem Ayem. Siapa yang tak terpikat dengan Nyai Adem Ayem, orangnya cantik, lembut, taat beribadah, setia kepada suami yang lebih dulu menghadap Sang Ilahi dan sayang anak dan keluarganya.Â
Petinggi-petinggi Desa Kedunganyar dan tokoh-tokoh kadikdayaan desa tetangga banyak yang kesengsem setelah melihat keluhuran budi pekerti Nyai Adem Ayem itu. Mereka semua ingin memperistri sang nyai, tapi semua ditolaknya dengan halus.
Suatu hari saat sang nyai bersama Gombal dan Gambul sedang asyik bercengkrama menunggu ngabuburit di balai-balai bambu rumahnya, mereka tiba-tiba dikejutkan dengan suara ringkikan kuda.Â
Betapa terkejutnya sang nyai, ketika melihat yang datang itu Ki Badirul dengan beberapa centengnya. Sementara itu kuda Ki Badirul masih meringkik-ringkik sambil sesekali mengangkat kedua kaki depannya, terlihat gagah dan pongah, membuat Gombal dan Gambul merinding ketakutan.
Sontak saja tangan Nyai Adem Ayem menjambret erat kedua tubuh mungil putranya.Â
Tanpa ba bi bu, Ki Badirul langsung saja menghampiri Nyai Adem Ayem dan menyatakan ingin mempersunting dirinya untuk dijadikan istri yang ke-7.Â
Kali ini Nyai Adem Ayem tak bisa menolak secara halus sebab Ki Badirul sudah mencoba secara paksa, menarik-narik tangan dan tubuhnya mencoba mengoyak kehormatan diri dan keluarganya.
Seketika itu dengan menggendong Gombal dan Gambul, Nyai Adem Ayem melompat tinggi meninggalkan Ki Badirul dan pengawalnya. Sang nyai terlihat komat-kamit membacakan doa-doa yang diajarkan gurunya. Tubuhnya terlihat ringan dan dengan mudahnya melayang ke angkasa bak bunga-bunga ilalang.
Ki Badirul dan anak buahnya tak mau kecolongan. Mereka merangsek dan memburu sang nyai.Â
Setelah meletakkan Gombal dan Gambul di tempat yang aman barulah mereka beradu kesaktian.
Ki Badirul sangat sombong dan membanggakan ajian bayu bajrah yang dahsyat dan dikenal mampu meluluhlantakkan apa saja yang ada di depannya. Sementara sangat nyai terlihat lebih tenang, mengatur nafas sambil membacakan doa dan ayat-ayat suci Al-Qur'an.Â
Pertempuran dahsyat tak terelakkan, keduanya saling serang dan ingin segera menyudahi pertempuran yang sengit itu dengan ajian andalan masing-masing. Warga Desa Kedunganyar yang menyaksikan perkelahian itu langsung saja menyelamatkan Gombal dan Gambul.Â
Para penduduk desa menitipkan Gombal dan Gambul kepada Kyai Sabar yang merupakan guru mengaji ibundanya.
Pertarungan semakin seru saja. Para pengawal Ki Badirul dengan pedang terhunus membabat kesana kemari, bernafsu sesegera mungkin ingin menghabisi Nyai Adem Ayem. Namun sang nyai sangat lincah dan tenang. Berkelit dan melompat ke sana sini menghindari sabetan pedang anak buah Ki Badirul.
Dalam pertarungan itu, Ki Badirul tewas terkena hantaman ajian syahadatain yang dilontarkan Nyai Adem Ayem sementara itu sang nyai sendiri terluka parah akibat pertempuran yang tak seimbang. Ia bertarung seorang diri, dikeroyok oleh Ki Badirul dan para centengnya.Â
Nyai Adem Ayem akhirnya gugur mempertahankan kehormatan diri, keluarga dan akidah yang diyakininya.
Jasadnya dikebumikan secara Islam tak jauh dari beringin tua nan rindang di pinggiran Desa Kedunganyar. Kedua putranya, Gombal dan Gambul selanjutnya dirawat oleh Kyai Sabar untuk digembleng menjadi remaja Islami yang dewasa dan mandiri guna melanjutkan perjuangan mendiang kedua orang tuanya.
Note!Â
Bila terjadi kesamaan nama tokoh atau tempat dalam "dongeng" ini karena kebetulan saja. Dongeng ini untuk hiburan semata, mengalir sesuai daya imajinasi penulisnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H