Mohon tunggu...
Mawalu
Mawalu Mohon Tunggu... Swasta -

Mawalu

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Setelah Abu Sayyaf, Kini Tiongkok Berhasil Membuat Duterte Murka

13 September 2016   14:57 Diperbarui: 17 September 2016   20:46 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Fiipina Rodrigo Duterte (Foto: antaranews)

Presiden Filipina Rodrigo Duterte adalah presiden yang bertemperamen tinggi, cepat tersulut amarah, dan kerap melontarkan kata-kata kasar kepada siapa saja jika ada hal-hal yang tak berkenan dihatinya. 

Baru-baru ini Duterte kembali mengungkapkan kemarahannya kepada Tiongkok. Kalau sebelumnya Duterte bersumpah akan makan hidup-hidup militan Abu Sayyaf, I'll eat you alive, kini ungkapan dengan makna yang hampir sama ia lontarkan terhadap Tiongkok terkait konflik Laut Cina Selatan, yaitu dengan seruan, talk or fight!

Abu Sayyaf adalah pemimpin Kelompok teroris yang memiliki basis yang kuat di gugusan kepulauan terpencil di perairan Sulu, Filipina. Untuk mendanai pergerakan mereka, gerombolan ini dikenal sangat militan dengan aktivitas mereka menculik warga negara asing untuk dimintai uang tebusan, termasuk warga negara Indonesia yang beberapa kali diculik oleh kelompok Abu Sayyaf itu.

Kelompok radikal yang muncul di tengah pemberontakan separatis muslim di wilayah selatan Filipina yang didominasi penganut Katolik itu telah merenggut lebih dari 120 ribu nyawa sejak tahun 1970-an.

“Beri saya cuka dan garam, saya akan makan mereka hidup-hidup,“ ujar Duterte dengan mata merah menahan amarah.

Kini Duterte kembali melampiaskan kemarahannya kepada Tiongkok terkait konflik Laut Cina Selatan itu dengan seruan talk or fight karena menyangkut kedaulatan negara Filipina.

Duterte murka karena Tiongkok mengangkangi hasil keputusan Pengadilan Arbitrase Internasional dengan menggelar latihan militer di kawasan yang disengketakan itu. Bukan hanya itu saja, bahkan pesawat terbang sipil milik Tiongkok pun sengaja melakukan tes kalibrasi di dua bandara di Kepulauan Spratly yang notabene adalah bagian dari Provinsi Palawan, Filipina.

Padahal Pengadilan Arbitrase Internasional di Den Haag telah memutuskan bahwa Tiongkok telah melanggar hak kedaulatan Filipina di Laut China Selatan. Pengadilan Arbitrase Internasional juga telah ketok palu bahwa tak ada dasar hukum apapun bagi Tiongkok untuk mengklaim wilayah laut Cina Selatan sebagai wilayah teritorial mereka.

Benturan kepentingan dalam konflik wilayah teritorial di Laut China selatan itu telah berlangsung cukup lama dan masing-masing pihak, baik itu Filipina maupun Tiongkok, punya argumen masing-masing sementara Tiongkok tetap bersikukuh mengklaim bahwa wilayah Laut Cina Selatan itu adalah bagian dari wilayah kedaulatan mereka.

Sebelum Duterte menjadi Presiden yang baru saja dilantik pada tanggal 30 Juni 2016 yang lalu, pemerintah Filipina telah membawa masalah sengketa wilayah Laut Cina Selatan itu ke Pengadilan Arbitrase Internasional di Den Haag. Pengadilan sudah memutuskan bahwa Tiongkok telah melakukan pelanggaran atas kedaulatan batas teritorial Filipina di Laut Cina Selatan itu.

Sengketa antara Filipina dan Cina itu bermuara pada perairan yang menjadi jalur perdagangan Internasional yang omzetnya mencapai US$ 5 triliun setiap tahunnya. Ini yang bikin Duterte dongkol setengah mati terhadap Tiongkok sampai urat lehernya menegang.

Sebab Laut Cina Selatan Jadi Rebutan
Kawasan teritorial Laut Cina Selatan selama ini diakui secara sepihak sebagai wilayah kedaulatan Tiongkok karena letaknya yang sangat strategis. Laut Cina Selatan dikelilingi sepuluh negara, yaitu Tiongkok, Taiwan, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei Darussalam, dan Filipina. Selain itu perairan Laut Cina Selatan juga mencakup Teluk Siam yang dibatasi oleh Vietnam, Kamboja, Thailand dan Malaysia, serta Teluk Tonkin yang dibatasi oleh Vietnam dan Tiongkok.

Laut Cina Selatan adalah wilayah laut dengan rute tersibuk di dunia. Kawasan itu dilalui jalur pelayaran perdagangan dan jalur komunikasi internasional yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Lebih dari separuh perdagangan dunia berlayar melewati jalur strategis itu setiap harinya.

Selain lokasinya yang sangat strategis sebagai jalur pelayaran Internasional, Laut Cina Selatan juga memiliki cadangan minyak mentah dan gas alam sebesar 17,7 miliar ton. Bukan hanya itu saja, kandungan gas alam di Laut Cina Selatan memiliki sumber kandungan hidrokarbon yang sangat melimpah ruah.

Sekitar 60-70% kandungan hidrokarbon di Laut Cina Selatan itu adalah gas alam dengan kapasitas sebanyak 20 triliun kubik per tahun. Ini yang bikin negara Tiongkok ngiler untuk mencaploknya sebagai wilayah teritorial mereka.

Tiongkok berpedoman pada latar belakang sejarah Cina kuno dahulu kala tentang peta wilayah kedaulatan Cina. Menurut pemerintah Tiongkok, wilayah Laut Cina Selatan ditemukan oleh leluhur mereka, yaitu Dinasti Han pada abad ke-12 sebelum Masehi dan Dinasti Yuan. Pengakuan itu kemudian diperkuat lagi pada jaman Dinasti Ming dan Dinasti Qing pada abad ke 13 sebelum Masehi.

Namun pengakuan Tiongkok itu dipatahkan oleh keputusan pengadilan Arbitrase Internasional di Den Haag karena tak terdapat bukti yang kuat dan sahih bahwa secara historis Tiongkok pernah menguasi perairan tersebut beserta sumber alamnya.

Duterte berpatokan pada prinsip landas kontingen oleh penjelajah Filipina pada tahun 1956. Duterte dengan berapi-api menyatakan bahwa gugusan kepulauan yang diklaim oleh Tiongkok sebagai bagian dari wilayah teritorial mereka itu bukan milik negara manapun di dunia ini untuk diklaim secara sepihak semau-maunya.

Gugusan kepulauan yang diklaim Tiongkok itu mencakup gugusan kepulauan Spratly di mana delapan pulau di kepulauan Spratly dengan total luas 790.000 meter persegi adalah bagian dari Provinsi Palawan, Filipina. 

Perhitungan Matang Duterte
Pernyataan talk or fight-nya Duterte itu tentunya bukan tanpa alasan. Ia sudah memperhitungkan dengan matang-matang jika Tiongkok meladeni tantangannya itu, maka konflik militer pasti bisa saja terjadi setiap saat.

Yang jelas kekuatan tak akan berimbang dimana kekuatan militer Tiongkok jauh lebih kuat dan di atas rata-rata. Selain itu, saat ini Tiongkok dikenal sebagai macan Asia selain Jepang yang memiliki peralatan militer yang super canggih dibandingkan Filipina.

Namun Duterte bukanlah seorang Presiden kelas ayam sayur. Ia tentunya telah memperhitungkan segala sesuatunya secara cermat dan matang untung ruginya jika pada akhirnya ia memutuskan untuk baku hantam dengan Tiongkok.

Pertama, Duterte paham betul bahwa posisi Tiongkok saat ini terpojok di mata dunia dalam sengketa Laut Cina Selatan. Selain itu negara-negara ASEAN juga akan berjibaku bersimpati membantu Filipina jika terjadi perang melawan Tiongkok, apalagi kalau perang itu terjadi karena dipicu oleh sengketa Laut Cina Selatan itu.

Ini bisa terlihat dari jalinan hubungan kerja sama yang begitu erat yang dijalin Duterte dengan para pemimpin negara-negara ASEAN lainnya untuk menggalang kekuatan, termasuk kunjungan silaturahminya ke Indonesia pada tanggal 9 September 2016 untuk bertemu dengan Presiden Jokowi.

Pertemuan antara Presiden Fiipina Rodrigo Duterte dengan Presiden Indonesia Jokowi di Istana Negara, 9 September 2016. Menurut Duterte, Indonesia bukan hanya tetangga saja, akan tetapi juga satu saudara (Sumber Foto: Liputan6)
Pertemuan antara Presiden Fiipina Rodrigo Duterte dengan Presiden Indonesia Jokowi di Istana Negara, 9 September 2016. Menurut Duterte, Indonesia bukan hanya tetangga saja, akan tetapi juga satu saudara (Sumber Foto: Liputan6)
Kedua, jika Duterte menggunakan kekuatan militernya melawan Tiongkok, maka bukan hal yang mustahil bagi Amerika Serikat untuk turun tangan menghalau Tiongkok jika terjadi konflik militer antara Filipina dan Tiongkok.

Campur tangan Amerika Serikat bukanlah hal yang mustahil karena selain mereka punya kepentingan di kawasan Laut Cina Selatan di mana setiap harinya kapal-kapal besar milik Amerika Serikat yang hilir mudik melintasi kawasan Laut Cina Selatan, pun juga Tiongkok adalah musuh dalam selimutnya Amerika Serikat karena dianggap sebagai ancaman besar bagi kepentingan Amerika di kawasan Asia.

Kita lihat saja perkembangan ke depannya soal sengketa Laut Cina Selatan antara Filipina dan Tiongkok itu bagaimana nantinya. Apakah Duterte hanya sekadar gertak sambal belaka, atau memang ia punya nyali baja untuk menghajar Tiongkok sampai bertekuk lutut di hadapannya.

Wallahualam.

Referensi Bacaan:

Duterte on China: It's talk or fight - Philippine Star
I'll eat you alive, Philippine president tells militants - Daily Nation

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun