Di awal tahun 1934 sebuah kapal bernama Jan van Riebeeck mengarungi laut lepas menuju pulau terpencil di timur Indonesia. Kapal itu membawa seorang tahanan penting yang selama ini selalu bikin pusing pemerintah Belanda.
Setelah delapan hari mengarungi samudera yang luas, kapal itu akhirnya berlabuh dengan selamat di pelabuhan Ende pada hari ke empat belas di bulan yang pertama di tahun yang ke 1934. Tahanan itu lalu dibawa ke sebuah rumah kecil yang jaraknya hanya beberapa meter dari pesisir pantai Ende. Tahanan itu adalah cikal bakal tokoh Proklamator bangsa, yaitu Bung Karno.
Ende adalah kota kecil di pesisir pantai dengan mayoritas umat muslim terbesar di pulau Nusa Bunga yang mayoritas beragama Katolik. Para pedagang dari Gujarat dahulu kala menginjakkan kaki mereka pertama kali di pulau Flores, yaitu di Ende pada abad ke-15. Mereka kemudian menetap disana, lalu berdagang dan mengenalkan agama Islam di Ende.
Dalam pengasingannya, Soekarno menghabiskan banyak waktunya dengan membaca buku untuk mengobati rasa sepinya yang tiada berujung. Pengasingan itu memenjarakan raganya, namun jiwanya tetap merdeka.
Selama menjadi tahanan politik dan orang buangan di kota terpencil dalam kurun waktu dari 14 Januari 1934 sampai 18 Oktober 1938, tidak membuat Bung Karno patah arang. Selalu ada kesempatan kedua bagi hati yang berusaha bangkit. Justru dalam pengasingannya itu, lahirlah konsep Pancasila dari alam bawah sadarnya.
Bung Karno akhirnya dipulangkan ke tanah Jawa pada bulan kedua ditahun yang ke 1938 dengan kapal De Klerk. Ia meninggalkan kota kecil yang penuh kenangan itu dengan sejuta rasa yang berkecamuk dalam dada.
“Di kota ini kutemukan lima butir mutiara, di bawah pohon ini pula kurenungkan nilai-nilai luhur Pancasila,” ucap Bung Karno dengan mata menerawang mengingat kembali masa-masa suram yang ia lalui dulu.
Rumah Bersahaja yang Bersejarah Itu
Mungkin saja dalam benak mereka, yang lalu biarlah berlalu, mari songsong masa depan yang lebih baik karena setiap masa ada kesusahannya sendiri. Namun mereka lupa, bangsa ini tak akan pernah ada jika tak ada goresan tinta sejarah yang menoreh setiap lini kehidupan di dunia yang fana ini.
Rumah bersahaja yang bersejarah itu adalah saksi bisu bahwa selalu ada kesempatan kedua bagi hati yang berusaha bangkit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H