Mohon tunggu...
Mawalu
Mawalu Mohon Tunggu... Swasta -

Mawalu

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Di Rumah Ini Bung Karno Diasingkan dan Melahirkan Pancasila

12 September 2016   16:19 Diperbarui: 13 September 2016   21:26 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah pengasingan Bung Karno di Ende (dokpri)

Di awal tahun 1934 sebuah kapal bernama Jan van Riebeeck mengarungi laut lepas menuju pulau terpencil di timur Indonesia. Kapal itu membawa seorang tahanan penting yang selama ini selalu bikin pusing pemerintah Belanda.

Setelah delapan hari mengarungi samudera yang luas, kapal itu akhirnya berlabuh dengan selamat di pelabuhan Ende pada hari ke empat belas di bulan yang pertama di tahun yang ke 1934. Tahanan itu lalu dibawa ke sebuah rumah kecil yang jaraknya hanya beberapa meter dari pesisir pantai Ende. Tahanan itu adalah cikal bakal tokoh Proklamator bangsa, yaitu Bung Karno.

Ende adalah kota kecil di pesisir pantai dengan mayoritas umat muslim terbesar di pulau Nusa Bunga yang mayoritas beragama Katolik. Para pedagang dari Gujarat dahulu kala menginjakkan kaki mereka pertama kali di pulau Flores, yaitu di Ende pada abad ke-15. Mereka kemudian menetap disana, lalu berdagang dan mengenalkan agama Islam di Ende.

Pantai Ende (dokpri)
Pantai Ende (dokpri)
Kota terpencil yang sunyi itu sengaja dipilih Belanda sebagai penjara bagi Bung Karno untuk memberinya efek jera. Saban hari Bung Karno harus wajib lapor ke pos militer Belanda yang kini menjadi Detasemen Polisi Militer IX/I di kota Ende.

Dalam pengasingannya, Soekarno menghabiskan banyak waktunya dengan membaca buku untuk mengobati rasa sepinya yang tiada berujung. Pengasingan itu memenjarakan raganya, namun jiwanya tetap merdeka.

Koleksi Buku Bung Karno (dokpri)
Koleksi Buku Bung Karno (dokpri)
Ruang Baca Bung Karno (dokpri)
Ruang Baca Bung Karno (dokpri)
Sekuel perjalanan hidup Bung Karno di kota kecil yang ia sebut sebagai ujung dunia itu justru melahirkan cikal bakal dasar negara yang ia konsep di bawah sejuk dan rindangnya pohon Sukun yang menghadap ke laut Sawu yang maha biru itu. Ya, di bawah pohon yang bercabang lima itulah embrio lima dasar negara ini lahir.

Selama menjadi tahanan politik dan orang buangan di kota terpencil dalam kurun waktu dari 14 Januari 1934  sampai 18 Oktober 1938, tidak membuat Bung Karno patah arang. Selalu ada kesempatan kedua bagi hati yang berusaha bangkit. Justru dalam pengasingannya itu, lahirlah konsep Pancasila dari alam bawah sadarnya.

Bung Karno akhirnya dipulangkan ke tanah Jawa pada bulan kedua ditahun yang ke 1938 dengan kapal De Klerk. Ia meninggalkan kota kecil yang penuh kenangan itu dengan sejuta rasa yang berkecamuk dalam dada.

Teluk Ende yang menawan dari atas perbukitan (dokpri)
Teluk Ende yang menawan dari atas perbukitan (dokpri)
dokpri
dokpri
Setelah bangsa ini meraih kemerdekaaan dan Bung Karno terpilih menjadi orang nomor satu di negeri ini, maka pada tanggal 16 Mei 1954, Bung Karno melakukan kunjungan kenegaraannya ke kota yang ia sebut ujung dunia itu.

“Di kota ini kutemukan lima butir mutiara, di bawah pohon ini pula kurenungkan nilai-nilai luhur Pancasila,” ucap Bung Karno dengan mata menerawang mengingat kembali masa-masa suram yang ia lalui dulu.

Ranjang Bung Karno (dokpri)
Ranjang Bung Karno (dokpri)
Seorang negarawan yang memikirkan masa depan bangsanya tanpa pamrih. Selalu ada kesempatan kedua bagi hati yang berusaha bangkit.

Rumah Bersahaja yang Bersejarah Itu

Rumah pengasingan Bung Karno di Ende (dokpri)
Rumah pengasingan Bung Karno di Ende (dokpri)
Di penghujung bulan Desember 2013, aku mengunjungi rumah bersejarah itu. Rumah yang sederhana itu terawat dengan baik. Ruang tamu, tempat tidur, serta perabotan yang digunakan Bung Karno masih ditata seperti dulu.

Ruang tamu Bung Karno (dokpri)
Ruang tamu Bung Karno (dokpri)
Di halaman belakang rumah itu ada sumur yang menurut mitos jika minum air dari dalam sumur itu akan jadi orang cerdas dan sukses dalam hidup di kemudian hari. Aku mencoba meneguknya. Rasanya payau. Mungkin karena rumah itu berada beberapa meter dari pesisir pantai. Setiap hari Bung Karno menimba air sumur itu untuk memasak, mandi dan Wudhu ketika hendak akan Sholat.

Sumur Bung Karno (dokpri)
Sumur Bung Karno (dokpri)
Di zaman yang serba modern ini, tak banyak orang yang mengunjungi rumah bersejarah itu. Saat itu hanya aku sendiri. Salah satu kawan aku di Jakarta yang berasal dari Ende bahkan belum pernah menginjakkan kakinya ke dalam rumah bung Karno itu ketika kuceritakan kunjunganku ke rumah yang memiliki nilai sejarah yang tinggi itu.

Mungkin saja dalam benak mereka, yang lalu biarlah berlalu, mari songsong masa depan yang lebih baik karena setiap masa ada kesusahannya sendiri. Namun mereka lupa, bangsa ini tak akan pernah ada jika tak ada goresan tinta sejarah yang menoreh setiap lini kehidupan di dunia yang fana ini.

Rumah bersahaja yang bersejarah itu adalah saksi bisu bahwa selalu ada kesempatan kedua bagi hati yang berusaha bangkit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun