BAB I
Bank Aceh, adalah Bank milik Pemerintah Provinsi Aceh bersama-sama dengan Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Aceh. Bank tertua di Serambi Mekkah ini didirikan pada tanggal 19 November 1958 di Kutaraja dengan nama NV. Bank Kesejahteraan Atjeh (BKA).
Perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat membuat Bank Aceh harus menyesuaikan diri. Bank yang sahamnya dimiliki oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota ini pun terus berbenah meningkatkan daya saing dan menyelaraskan program-program yang fleksibel.
Perubahan Nama dan Badan Hukum
- 19 Nopember 1958 > NV. Bank Kesejahteraan Atjeh (BKA)
- 6 Agustus 1973 > Bank Pembangunan Daerah Istimewa Aceh (BPD IA)
- 5 Februari 1993 > PD. Bank Pembangunan Daerah Istimewa Aceh (PD. BPD IA)
- 7 Mei 1999 > PT. Bank Pembangunan Daerah Istimewa Aceh (PT. Bank BPD Aceh)
- 29 September 2010 > PT. Bank Aceh
- 19 September 2016 > PT. Bank Aceh Syariah
Awalnya, Bank Aceh bukanlah sebuah bank besar. Bahkan tahun 1974 atau tahun pertamanya beroperasi, laba yang diraih Bank Aceh yang ketika itu masih bernama PD Bank Pembangunan Daerah (BPD) Istimewa Aceh ini hanya berkisar Rp 3 juta. Minimnya perolehan laba tersebut lantaran Bank Aceh mewarisi persoalan kredit macet saat masih bernama NV Bank Kesedjahteraan Atjeh. Kecuali giro, tidak ada tabun- gan masyarakat yang terhimpun.
Peningkatan laba baru mulai terjadi pada tahun 1979 yaitu sebesar Rp 78 juta, dan setahun kemudian meningkat lagi menjadi Rp 151 juta. Simpanan giro juga meningkat drastis dari Rp 75 juta di tahun 1974 menjadi Rp 4 miliar lebih pada penghujung 1982. Saat itu, Bank Aceh baru memiliki tiga kantor cabang, yaitu di Kota Banda Aceh, Kota Lhokseumawe, dan Simeulue.
Bank Aceh terus berkembang hingga pada tahun 1997, total jumlah kantor cabang dan kantor cabang pembantu sudah ada di 14 kabupaten/ kota. Ini belum termasuk kantor kas yang sudah mencapai 18 unit. Sedang- kan jumlah karyawan sudah mencapai 464 orang, yang mayoritasnya ber- pendidikan SMA (Harian Serambi Indonesia, Kamis 15 Agustus 2013).
BAB II
Pada bab ini penulis menjelaskan tentang bagaimana memberantas praktik riba dan menyariahkan bank aceh yang mana praktik rib aini sudah menggrogoti kehidupan Masyarakat aceh.
Karena di bank milik pemerintah daerah inilah uang Aceh tersimpan. Seluruh gaji pegawai negeri sipil, penyaluran modal usaha mikro, hingga beasiswa anak yatim di Aceh, disalurkan melalui bank ini. Artinya, selama bank daerah ini belum syariah, mayoritas aktivitas keuangan di Aceh belum terbebas dari praktik riba.
Para akademisi dan ulama yang hadir dalam pengajian, workshop, dan diskusi. sepakat bahwa langkah awal dan mendasar untuk menghapus praktik riba di Negeri Syariah ini, dimulai dengan konversi Bank Aceh dari konvensional ke syariah. Jika bank pelat merah ini telah bersyariat, maka mayoritas transaksi keuangan di Aceh, juga mulai bersih dari praktik riba.