Mohon tunggu...
Mauriza Nurkhofifah
Mauriza Nurkhofifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

:)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dua Pasang Sepatu

25 Oktober 2023   13:17 Diperbarui: 25 Oktober 2023   13:26 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mas tidak usah, lagi pula hujan sudah reda, rumahkupun tak jauh lagi dari sini, aku buka ya sepatunya dan aku kembalikan padamu." Aku menolak, karena tidak mungkin aku menerima barang dari orang aneh yang sebelumnya saja aku tak tau orang ini siapa.

"Sudah jangan menolak ya, aku harus pergi sekarang, tolong jaga sepatuku, aku pamit." Secepat itu ia pamit padaku, tapi yang lebih membuat hatiku tertegun adalah, sebelum ia pergi ia berbisik padaku. "Namaku Ken, semoga kita bertemu lagi". Setelahnya ia pergi menerobos gerimis hujan yang sebentar lagi reda. Diriku seperti terhipnotis diam membatu menatap dirinya pergi dari pandanganku. Aku tersadarkan oleh tetesan air bekas hujan yang jatuh ke tanganku dan ia sudah pergi tanpa aku mengucap kata terimakasih. "Astagfirullah, aduhhh kenapa aku pakai sih sepatunya?" aku merasa menyesal sekaligus tidak enak. Aku melanjutkan pejalananku ke rumah. Malam tiba dengan diriku yang masih dipenuhi beribu-ribu pertanyaan mengenai kejadian tadi sore, dari A sampai Z, Siapa dia? Kenapa dia tau aku penjaga toko kios itu? Ah apakah dia orangg jahat?. Ditengah pikiranku yang kalut akhirnya aku terlelap dengan harapan semoga esok aku bisa bertemu dengan seseorang pemilik senyuman terbaik itu.

Hari-hari berlalu begitu saja, satu bulan dari hujan itu berlalu. Apakah seseorang yang aku tunggu itu sudah tiba? Jawabannya tidak. Seolah semesta menyembunyikan, seolah semesta mempersulit. Kemana ia? Bagaimana janjinya? Hari-hari berganti begitu cepat. Tapi aku tidak pernah lupa sedikitpun disetiap detik, titik dan sudut kami bertemu. Sejak saat itu senyumku berkurang, candaku meredup, tawaku menghilang. Kenapa aku harus merasakan perasan ini. Semenjak kepergiannya, kenapa aku aku harus punya harapan, kenapa aku bersedih? Kenapa? Kenapa? Dan kenapa? Aku sadar, apakah ini yang dinamakan rindu? Aku tidak mengerti. Tapi satu hal yang pasti. "Ken, aku menunggumu!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun