Hingga sekarang aku masih menyimpan cerita ini. Yaa cerita tentang aku dan dua pasang sepatu yang mana aku adalah salah satu pemiliknya.
Pada hari itu, aku melakukan aktifitas harianku seperti biasanya. Aku bangun pukul 5 pagi dengan dilanjutkan sholat subuh dan juga tadarus. Setelahnya, aku melanjutkan aktifitasku untuk bersiap-siap menuju tempat kerja. Aku berangkat dengan perasaan penuh gembira dan ceria, hari itu berjalan dengan seperti biasanya tanpa ada yang aneh, rasanya sangat bersemangat untuk siap bekerja hari itu. Tiba-tiba aku menyadari suatu hal yang berbeda dari diriku. "Ko kakiku sakit ya?" ujarku dalam hati. "Ah mungkin hanya kram sedikit." Aku tak berpikir banyak tantang kakiku yang sudah mengirimkan sinyal. Yang ada dalam pikiranku adalah aku harus segera sampai pada tujuan. Sesampainya pada tujuanku, yaitu sebuah kios kecil dengan dipenuhi bunga-bunga indah nan harum. Ini yang membuat aku sangat mencintai pekerjaanku, aku bisa mencium bunga yang indah ini setiap harinya, aku bisa menatap mereka sepanjang hariku, menemaniku yang kesepian. Terdengar aneh memang aku memanggil diriku ini kesepian, orang-orang disekitarku takkan pernah mengira bahwa jiwaku yang penuh dengan canda tawa ini merasa sepi. Coba bayangkan, bagaimana aku tidak sepi? Aku ini hidup sendiri lho, hidup sendiri jauh dari orangtuaku yang terpisah bermil-mil jauhnya. Tapi itu bukanlah masalah besar bagiku, tujuanku adalah akan terus membuat mereka tersenyum dengan hasil keringatku sendiri.
Baiklah cukup untuk menceritakan sedikit aktifitasku, tak terasa aku sudah menghabiskan separuh waktuku dalam sehari untuk menjaga toko ini, saatnya aku tutup! Setelah beberes toko, aku bergegas untuk pulang ke rumah untuk beristirahat. Jarak dari toko ke rumahku hanya memakan waktu 15 menit dengan berjalan kaki. Di menit ke 9 aku berjalan, hujan turun begitu derasnya hingga sedikit membasahi kerudung dan rompi cokelatku. "Wahh alhamdulillahh". Aku menyambut hujan ini dengan suka cita. Aku selalu suka hujan. Apapun alasannya, walaupun hujan menahanku disini, tapi aku suka. Aku suka menatap setiap tetesan berkat yang turun ke Bumi ini. Aku suka baunya, aku suka gemericiknya yang merdu mengalahkan kemerduan nada apapun. Karena dari hujan, aku banyak belajar. Karena hujan, aku punya harapan. Karena hujan, aku punya kenangan. Kenangan tentang seseorang yang datang saat hujan pula.
Ditengah-tengah aku menunggu hujan reda. Aku memperhatikan sepatuku, aku baru ingat bahwa kakiku tadi merasa sakit, aku tau penyebabnya! Ternyata sepatuku yang sudah sempit sampai-sampai ibu jari kakiku mengintip keluar. Huft kenapa harus sekarang yaa? Akhirnya, terpaksa kulepas sepatunya untuk kemudian aku tenteng. Tak lama, datang seseorang dengang napas terengah-engah berlari disampingku, sepertinya ia menghindari hujan. Tapi, siapa tau?
"Permisi ya mbak, aku ikut neduh bareng" (ditutup dengan senyuman yang membuat hatiku bergetar)
"Oh ya, silahkan" Jawabku singkat.
Kami tidak melanjutkan percakapan kecil itu, berlarut dalam alunan hujan. Hingga sampai seseorang itu memulai obrolan lagi.
"Sepatunya basah mbak?" Tanyanya.
"Oh, tidak "
"Terus? "tanyanya lagi.
Kenapa ya orang ini kepo sekali, ya terserah aku dong mau pakai sepatu atau tidak.
"Sepatunya sudah kecil, jadi buat kakiku sakit, ya terpaksa aku lepas" jawabku.
Dia memberikan senyuman itu lagi. "Oh begitu yaaa, ukuran berapa sepatunya mbak?"
Aku bergumam dalam hatiku "Harus aku jawab banget nih?" akhirnya mau tak mau akupun menjawab.
"Ukuran 37 mas"
"Oalah, punyaku ukuran 39 nih, mau coba punyaku?" tawarnya.
"Eh, gausah mas, nanti masnya nyeker kalo saya coba" aku mengelak.
"Gapapa ko, hanya coba saja, walaupun sepatu ini bekas aku pakai tapi tidak bau ko, serius, karena aku baru membelinya 2 hari yang lalu." Ia berusaha membujukku.
"bukan begitu mas..." baru saja aku menjawab ia langsung membuka sepatunya dan memotong omonganku.
"Sudah nih coba deh, karena aku lihat kita pakai model dan merk sepatu yang sama" sambil memberikan sepatunya. Aku baru menyadari bahwa memang sepatunya sama persis dengan sepatu jebolku, akhirnya mau tidak mau aku pakai sepatunya.
"Kan, apa kataku, pas kan?" aku mengangguk sambil tersenyum. Kemudian iapun melanjutkan ucapannya "Sudah, tidak usah dibuka lagi yaa, pakai sampai rumahmu, jangan sampai kakimu terluka karena tidak pakai alas kaki, kamu penjaga toko bunga kios itu kan? Aku sering melewati kios itu, kapan-kapan jika aku lewat depan kiosmu kamu boleh kembalikan sepatunya padaku, tapi kalopun kita tidak bertemu kembali anggap saja itu hadiah kecil dariku untukmu"
Aku merasa sedikit kaget, dan benakku penuh dengan pertanyaan, siapa orang ini sebenarnya. Aku menjawab.
"Mas tidak usah, lagi pula hujan sudah reda, rumahkupun tak jauh lagi dari sini, aku buka ya sepatunya dan aku kembalikan padamu." Aku menolak, karena tidak mungkin aku menerima barang dari orang aneh yang sebelumnya saja aku tak tau orang ini siapa.
"Sudah jangan menolak ya, aku harus pergi sekarang, tolong jaga sepatuku, aku pamit." Secepat itu ia pamit padaku, tapi yang lebih membuat hatiku tertegun adalah, sebelum ia pergi ia berbisik padaku. "Namaku Ken, semoga kita bertemu lagi". Setelahnya ia pergi menerobos gerimis hujan yang sebentar lagi reda. Diriku seperti terhipnotis diam membatu menatap dirinya pergi dari pandanganku. Aku tersadarkan oleh tetesan air bekas hujan yang jatuh ke tanganku dan ia sudah pergi tanpa aku mengucap kata terimakasih. "Astagfirullah, aduhhh kenapa aku pakai sih sepatunya?" aku merasa menyesal sekaligus tidak enak. Aku melanjutkan pejalananku ke rumah. Malam tiba dengan diriku yang masih dipenuhi beribu-ribu pertanyaan mengenai kejadian tadi sore, dari A sampai Z, Siapa dia? Kenapa dia tau aku penjaga toko kios itu? Ah apakah dia orangg jahat?. Ditengah pikiranku yang kalut akhirnya aku terlelap dengan harapan semoga esok aku bisa bertemu dengan seseorang pemilik senyuman terbaik itu.
Hari-hari berlalu begitu saja, satu bulan dari hujan itu berlalu. Apakah seseorang yang aku tunggu itu sudah tiba? Jawabannya tidak. Seolah semesta menyembunyikan, seolah semesta mempersulit. Kemana ia? Bagaimana janjinya? Hari-hari berganti begitu cepat. Tapi aku tidak pernah lupa sedikitpun disetiap detik, titik dan sudut kami bertemu. Sejak saat itu senyumku berkurang, candaku meredup, tawaku menghilang. Kenapa aku harus merasakan perasan ini. Semenjak kepergiannya, kenapa aku aku harus punya harapan, kenapa aku bersedih? Kenapa? Kenapa? Dan kenapa? Aku sadar, apakah ini yang dinamakan rindu? Aku tidak mengerti. Tapi satu hal yang pasti. "Ken, aku menunggumu!"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI