Tiba-tiba, Maura melihat guru itu tersenyum ke arahnya. Hmm... lebih tepatnya menyeringai!
Maura berdiri dengan kaku. Dia memberanikan diri untuk melirik ke kanan dan ke kiri. Berusaha memastikan ada murid lain selain dirinya yang berdiri di deretan kelas X. Sepi.Â
Hanya dia yang mematung di sana. Jarak antara tempatnya berdiri dengan lorong di sebrang lapangan itu sebenarnya agak jauh. Tapi tadi Maura melihat dengan jelas guru itu berjalan perlahan dengan seringai dan tatapan tajam ke arahnya. Lalu...
 "Eeh... guru itu hilang!" Maura berseru. Lorong kelas XII di sebrang lapangan upacara, nampak samar terhalang kabut. Tak ada siapa-siapa di sana.
Tanpa sadar, Maura merasakan badannya bergetar. Jantungnya berdebar kencang. Dia ingin berteriak, tapi mulutnya terasa kering seperti kapas. Kakinya seakan terpasung, berat sekali rasanya untuk bergerak.
"Bismillaaah... Bismillaaah..." dalam hati Maura berusaha merapalkan doa. Aahh... perasaan takut begitu penuh dalam pikirannya. Bahkan hanya untuk sekedar mengingat doa-doa pengusir setan pun, Maura benar-benar lupa. Beruntung dia masih ingat "Basmallah".
Debaran di dadanya masih bertalu. Keringat dingin membasahi punggung seragamnya. Maura berharap apa yang dilihatnya tadi hanya mimpi.
"Mauraaa... Mauraaa!" lamat-lamat telinganya menangkap suara seseorang memanggil namanya. Dari arah aula, Maura melihat Sofi teman sekelasnya melambaikan tangan. Maura membalas lambaian tangan Sofi dengan rasa bahagia yang teramat. Perasaan lega menyelimuti hatinya dengan hangat. Maura segera berlari ke arah Sofi dan memeluk temannya itu erat.
"Woyyy... Kenapa lu?" Sofi bertanya heran. Maura menggeleng lalu tawanya berderai. Dia benar-benar lega. Sofi telah berhasil membebaskannya dari rasa takut.
*****
Malamnya, Maura terbangun. Dia tersentak dari tidurnya, kemudian duduk di tepi ranjang. Keringat dingin kembali membasahi permukaan kulitnya.Â