Seketika ruang kelas yang tadi muram, menjadi lebih terang. Tak ada siapa-siapa lagi di kelas itu. Begitupun dengan kelas-kelas sebelah. Sepertinya murid-murid yang lain sedang merayakan kemerdekaannya, terbebas dari soal-soal ujian dengan segera pulang cepat.Â
Mungkin mereka akan pergi nonton atau sekedar nongkrong di mall, seperti rencana teman-teman di kelas Maura. Tapi sayang, kemerdekaan mereka terpaksa tertunda karena hujan seolah tak mau diajak kerja sama. Maura kembali melongokkan kepalanya ke arah jendela.Â
Titik-titik hujan terlihat bagai ribuan jarum yang terlempar dari angkasa. Pletakk... Pletukk... Bunyinya bergemuruh, sambar menyambar dengan suara petir dan kilat. Bagai tak ada yang mau mengalah di antara mereka.
Kreek!
Sekonyong-konyong pintu kelas yang tadi tertutup tiba-tiba terbuka.
Wusss!
Angin dari arah lapangan upacara, berlari masuk ke dalam kelas.
"Ahh... angin sialan!" batin Maura. Terlalu malas dia berjalan ke arah pintu. Dan dia biarkan pintu kelas terus terbuka, sementara angin-angin itu silih berganti keluar masuk seolah sedang bermain petak umpet.
"Kok kamu belum pulang, nak?" tiba-tiba ada suara lirih mengagetkan Maura. Dari arah pintu, Maura melihat ada seorang guru perempuan dengan seragam coklat dan kerudung motif bunga berwarna krem, tengah berdiri. Tangan kirinya mendekap sebuah map tebal, sedangkan tangan kanannya menggenggam sebatang pensil.
"Permisi, ibu mau cek dulu kebersihan kelasnya ya," guru itu berkata lagi. Sedangkan Maura tak bergeming dari bangkunya. Kepalanya hanya mengangguk dengan perasaan kaget dan takut. Dia perhatikan guru itu berkeliling mengitari seisi ruangan tanpa suara. Sesekali langkahnya terhenti, sambil tangannya mencatat sesuatu ke atas kertas dalam mapnya. Tak lama guru itu melewati bangku Maura.
Aneh! Maura merasakan ada hawa dingin yang ganjil menyergap kulit arinya. Dan aroma tubuh guru itu sangat menyengat.