Uhuuk!
Maura terbatuk. Bau melati begitu menusuk lubang hidungnya. Refleks dia tutup hidungnya. "Parfum si ibu aneh banget deh!" bisik hatinya.
Sekitar lima menit, guru itu mengecek kelangkapan kelas. Tak berselang lama guru itu pun keluar ruangan, meninggalkan Maura masih tanpa suara. Â
Rasa penasaran mendorong Maura untuk mengikuti guru itu dari belakang. Rasanya dia belum pernah melihat guru tersebut. Saat perkenalan staf guru sewaktu MPLS pun, Maura tak pernah melihat sosoknya. Mungkin beliau guru kelas XII, pikirnya. Maura berjingkat ke arah pintu. Kepalanya melongok keluar, mencari-cari sosok guru yang baru saja keluar dari ruang kelasnya.
Tik...tikk...
Tetes hujan terdengar masih saling berebut menimpa atap. Tapi suaranya tak sebising tadi. Dari arah aula, samar-samar masih terdengar suara anak-anak yang saling berteriak. Sepertinya anggota eskul teater masih sedang latihan. Di pojok sekolah tak jauh dari toilet, selintas Maura melihat guru tadi sedang berjalan ke arah kantin.
Aneh! "Kenapa guru tadi sudah ada di sana?" batin Maura heran.
"Ahh, mungkin itu bukan guru yang tadi!"
Titik-titik hujan meninggalkan kabut tipis yang menghalangi ruang pandangnya. Sepersekian detik, sudut mata Maura kembali menangkap guru itu sedang berjalan menyusuri lorong kelas XII yang berjejer di sebrang lapangan upacara.Â
Maura memicingkan matanya. Sekuat tenaga dia coba untuk memperjelas daya tangkap retina dalam netranya.
"Gak salah lagi, itu guru yang tadi," bisik Maura. Dia masih ingat seragam coklat dan kerudung motif bunga yang dikenakan guru itu. Tangan kirinya pun masih mendekap sebuah map. Hanya saja tangan kanannya terlihat dibenamkan ke dalam saku yang ada di pinggiran seragamnya.