“Itu yang ingin aku lihat sejak pertama kali mengenalmu, Rheinara. Senyummu.”
Tangannya perlahan menyusuri wajahku. Dan, ia menciumku.
Semalam Nina tidak berkata banyak. Kami hanya diam dan mendengarkan Kenny G. berulang-ulang memainkan lagu yang sama.
“Ran akan kembali sepuluh menit lagi, Nin,” kataku. “Kamu bisa mewawancarainya kalau mau.”
Nina menoleh dengan cepat, lalu menghunjamkan sorot mata sinis kepadaku. Tapi, kesinisan itu hanya sekejap. Sebab, yang terjadi, ia malah terisak dan bergumam, “Nugie sialan!”
Diam-diam aku tertawa dalam hati. Ya, kamu memang sialan, Gie! Tapi, aku mencintai kamu, meskipun kamu entah sedang apa di suatu tempat.
Nina berdiri. Ia kembali menyandang tasnya, dan berkata, “Aku nggak akan bilang Mom. Tapi, aku juga tetap nggak setuju Ran menggantikan Nugie.” Nina berbalik, keluar dari apartemenku sambil menyapu air matanya.
Tak lama, pintu apartemenku terbuka lagi. Terbuka dari luar, karena aku memang tidak menguncinya. Ran berdiri di ambang pintu.
“Halo lagi, Rheinara.”
“Ran…” Aku berdiri hendak menghampiri Ran. Tapi, sesuatu menghentikan langkahku.
“Aku bawa hadiah untukmu, Rheinara.” Lalu, Ran bergeser, membiarkan seseorang terekspos penglihatanku.