Ran berdiri dan menghampiri tumpukan CD di rak. Lama sekali ia berdiri di sana sambil memilah-milah koleksi musikku — koleksi musik kita, Gie! Sampai akhirnya, aku mendengar suara saksofon Kenny G mengalun pelan, membelai gendang telingaku.
Mataku terpejam, Gie. Aku menikmati suara yang muncul dari keping cakram yang berputar. Dan, mataku masih terpejam ketika aku sadar, Ran membimbingku beranjak dari sofa.
“Tetap tutup matamu, Rheinara.”
Aku menurut saja. Hal buruk apa lagi, sih, yang bisa terjadi? Aku kehilangan kamu, dan kupikir, itulah yang paling buruk saat ini.
“Nah, sekarang kamu boleh buka mata, Rheinara.”
Aku mendapati diriku di balkon, menghadap kota yang menggeliat dengan lampu-lampunya, sementara di pinggangku melingkar dua lengan Ran.
Ini indah!
Ya, walaupun mungkin hanya perasaanku saja yang berlebihan karena ada Ran di dekatku. Tapi, itu membuatku bertanya-tanya. Kenapa aku baru bisa melihat keindahan itu sekarang? Maksudku, benar-benar melihatnya. Ke mana saja aku selama ini?
“Aku nggak akan memintamu melupakan Nugie.” Suara Ran kembali menggetarkan gendang telingaku. “Aku tau, Nugie adalah pria pilihanmu. Aku hanya minta sedikit, sedikit saja, ruang di hatimu, Rheinara.”
Aku tercekat. Tentu saja! Aku tidak pernah mengira akan seperti ini akhirnya. Dan, aku tidak tahu harus menjawab apa. Bisa tolong bantu aku menjawab pertanyaan Ran, Gie? Aku mohon, meskipun aku tahu, permohonanku ini sia-sia belaka.
Kini aku berhadapan dengan Ran. Di balkon. Di malam bulan mati. Ran kembali tersenyum padaku, dan aku pun spontan membalas senyumnya.