Tulisan ini dibuat untuk memenuhi penilaian Ujian Tengah Semester (UTS) mata kuliah Perempuan dan Politik sehingga tulisan ini bersifat murni akademis tanpa adanya kepentingan politik dari pihak manapun.
Pada hari Senin (5/10/2020), Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau yang biasa dikenal sebagai Ombibus Law menjadi undang-undang.Â
Dilansir dari Kompas.com, pengesahan RUU ini dilangsungkan bersamaan dengan penutupan masa persidangan pertama tahun 2020-2021, tepatnya pada Rapat Paripurna ke-7.
Secara garis besar, Omnibus Law memuat aturan-aturan mengenai persyaratan investasi, ketenagakerjaan, perlindungan bagi UMKM, kemudahan untuk melakukan usaha, kemudahan proyek pemerintah, dan beberapa pembahasan lainnya yang dianggap dapat mendukung terciptanya lapangan kerja baru dan membantu perkembangan serta pertumbuhan UMKM yang ada di Indonesia.Â
Namun pada kenyataannya, Omnibus Law ini mendapat protes dari masyarakat, khususnya buruh dan mahasiswa, karena sejumlah aturan yang dimuat dalam Omnibus Law ternyata merugikan kelompok buruh atau pekerja.
Sebagai contoh, dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 91 membahas mengenai sanksi bagi perusahaan yang tidak membayarkan upah bagi pekerjanya dalam dua ayat:
(1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
(2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan yang dimuat dalam Pasal 91 ini merupakan ketentuan lanjutan dari ketentuan Pasal 90 yang membahas mengenai mengenai larangan pemberian upah yang lebih rendah dari upah minimum pada pekerjanya.Â
Namun dalam Omnibus Law, ketentuan dalam kedua pasal ini dihapuskan seluruhnya. Hal ini yang pada akhirnya menimbulkan protes dari para buruh dan pekerja yang merasa kesejahteraan dan hak mereka sebagai pekerja mulai terancam.
Lalu, bagaimana dengan buruh atau pekerja perempuan?
Beberapa kelompok pekerja perempuan, aktivis perempuan, mahasiswi, dan kelompok perempuan lainnya telah menunjukkan penolakan mereka terhadap Omnibus Law melalui demonstrasi ataupun kampanye-kampanye di media sosial.Â
Pergerakan-pergerakan yang dilakukan oleh kelompok perempuan ini menjadi salah satu bentuk dari kekuatan dan kekuasaan perempuan yang didefinisikan oleh Jean Baker Miller (1992) bukan sebagai dominasi, tetapi sebagai kapasitas untuk menghasilkan perubahan.Â
Pendapat Miller ini didukung oleh pandangan Virginia Held (1993) yang menyatakan bahwa kekuatan seorang ibu untuk memberdayakan orang lain, untuk mendorong pertumbuhan transformatif, adalah jenis kekuatan yang berbeda dari pedang yang lebih kuat atau keinginan yang dominan.Â
Dengan kata lain, Held meyakini bahwa kekuasaan perempuan diartikan sebagai kemampuan melakukan transformasi dan memberdayakan sesama.
Solidaritas Perempuan, sebuah Badan Eksekutif Nasional, dalam tulisannya yang berjudul Posisi Politik Solidaritas Perempuan terhadap Omnibus Law RUU Cipta Kerja memaparkan lima alasan utama adanya penolakan terhadap kebijakan ini.Â
Pertama, Omnibus Law menjadi bukti kegagalan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang menjanjikan adanya keterlibatan perempuan sebagai kelompok kepentingan dalam konsultasi AMDAL dan KLHS, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri No. P.26/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2018.Â
Kegagalan ini dapat dilihat dari penghapusan aturan terkait Komisi Penilai AMDAL yang seharusnya membuat analisis dampak aktivitas industri terhadap lingkungan dan masyarakat, termasuk perempuan. Dengan penghapusan ini, maka perlindungan terhadap lingkungan maupun perempuan menjadi lebih minim dan lebih sempit.
Kedua, dalam draft Omnibus Law, dimuat aturan mengenai kewenangan bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi kewenangan pemerintah pusat (sentralisasi).Â
Hal ini memberikan peluang bagi terjadinya penggusuran tempat tinggal warga untuk kepentingan investasi, yang pada akhirnya akan menciptakan jarak ketimpangan yang lebih besar antara laki-laki dan perempuan karena perempuan akan semakin sulit memiliki kendali atas tanah atau lahan.
Selanjutnya, perampasan sumber agraria dan kedaulatan perempuan atas pangan menjadi alasan ketiga. Dengan kebijakan sentralisasi pengelolaan lahan yang dilakukan oleh pemerintah, maka masyarakat akan kehilangan lahan untuk bekerja karena lahan-lahan ini berpotensi dialokasikan untuk lokasi pembangunan infrastruktur.Â
Dalam keadaan seperti ini, perempuan seringkali menjadi sasaran penekanan, intimidasi atau kekerasan dari para aparat ditengah usaha perempuan untuk melindungi tanah yang menjadi hak mereka.Â
Selain itu, adanya penyamaan kedudukan antara produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional dengan bahan-bahan pangan impor tentu akan menimbulkan kerugian bagi para pekerja; produk-produk pangan organik tradisional harus bersaing dengan produk pangan impor yang sudah didukung teknologi tetapi memiliki harga yang lebih murah.
Poin keempat adalah masalah perlindungan hak pekerja atau buruh perempuan karena tidak adanya aturan yang membahas mengenai cuti haid, cuti hamil atau cuti keguguran.Â
RUU Omnibus Law hanya memuat aturan mengenai cuti tahunan dan cuti panjang lainnya yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja sama.Â
Hal ini tentu merugikan perempuan karena pertimbangan ini tidak menjadi kewajiban bagi perusahaan sehingga sekalipun perusahaan tidak memberikan cuti haid atau cuti hamil, hal tersebut tidak menjadi sebuah kesalahan.
Terakhir, karena banyaknya kasus perampasan lahan, ketidaksetaraan peluang untuk mendapatkan pekerjaan dan pemangkasan hak-hak buruh atau pekerja, banyak perempuan yang akhirnya menjadi buruh migran.Â
Namun, mereka ternyata tetap mengalami kekerasan dan pelanggaran hak secara terus menerus. Hal ini menjadi bukti minimnya perlindungan negara terhadap perempuan, yang dikhawatirkan akan semakin menjadi-jadi dengan adanya Omnibus Law.
Dari kelima poin diatas, dapat dilihat bahwa Omnibus Law memuat sejumlah aturan yang dapat merugikan pekerja atau buruh, khususnya kelompok perempuan.Â
Melalui berbagai pergerakan yang telah dilakukan, kelompok perempuan mengharapkan terjadinya sebuah perubahan dalam aturan-aturan yang telah dibuat sehingga Omnibus Law bisa menjadi sahabat bagi kelompok pekerja atau buruh perempuan dalam upaya mencapai kesejahteraan mereka, bukan menjadi lawan yang mempersulit proses menuju kesejahteraan itu sendiri.
REFERENSI
Buku, Jurnal, dan Artikel
Held, V. (1993) Feminist Morality: Transforming Culture, Society, and Politics. Chicago: University of Chicago Press
Miller, J. B. (1992). "Women and Power" dalam Thomas Wartenberg (ed.). Rethinking Power. New York: SUNY Press
Solidaritas Perempuan. (2020). Kertas Posisi: Posisi Politik Solidaritas Perempuan terhadap Omnibus Law RUU Cipta Kerja diakses pada 18 November 2020 pukul 13.07
Situs
Jawahir Gustav Rizal. (06/10/2020). Apa Itu Omnibus Law Cipta Kerja, Isi dan Dampaknya Bagi Buruh? diakses pada 19 November 2020 pukul 11.28
Perundangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, diakses pada 18 November 2020 pukul 13.30
Maura Natasha Gunawan
Mahasiswa S1 Ilmu Politik, Universitas Indonesia