Lalu, bagaimana dengan buruh atau pekerja perempuan?
Beberapa kelompok pekerja perempuan, aktivis perempuan, mahasiswi, dan kelompok perempuan lainnya telah menunjukkan penolakan mereka terhadap Omnibus Law melalui demonstrasi ataupun kampanye-kampanye di media sosial.Â
Pergerakan-pergerakan yang dilakukan oleh kelompok perempuan ini menjadi salah satu bentuk dari kekuatan dan kekuasaan perempuan yang didefinisikan oleh Jean Baker Miller (1992) bukan sebagai dominasi, tetapi sebagai kapasitas untuk menghasilkan perubahan.Â
Pendapat Miller ini didukung oleh pandangan Virginia Held (1993) yang menyatakan bahwa kekuatan seorang ibu untuk memberdayakan orang lain, untuk mendorong pertumbuhan transformatif, adalah jenis kekuatan yang berbeda dari pedang yang lebih kuat atau keinginan yang dominan.Â
Dengan kata lain, Held meyakini bahwa kekuasaan perempuan diartikan sebagai kemampuan melakukan transformasi dan memberdayakan sesama.
Solidaritas Perempuan, sebuah Badan Eksekutif Nasional, dalam tulisannya yang berjudul Posisi Politik Solidaritas Perempuan terhadap Omnibus Law RUU Cipta Kerja memaparkan lima alasan utama adanya penolakan terhadap kebijakan ini.Â
Pertama, Omnibus Law menjadi bukti kegagalan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang menjanjikan adanya keterlibatan perempuan sebagai kelompok kepentingan dalam konsultasi AMDAL dan KLHS, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri No. P.26/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2018.Â
Kegagalan ini dapat dilihat dari penghapusan aturan terkait Komisi Penilai AMDAL yang seharusnya membuat analisis dampak aktivitas industri terhadap lingkungan dan masyarakat, termasuk perempuan. Dengan penghapusan ini, maka perlindungan terhadap lingkungan maupun perempuan menjadi lebih minim dan lebih sempit.
Kedua, dalam draft Omnibus Law, dimuat aturan mengenai kewenangan bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi kewenangan pemerintah pusat (sentralisasi).Â
Hal ini memberikan peluang bagi terjadinya penggusuran tempat tinggal warga untuk kepentingan investasi, yang pada akhirnya akan menciptakan jarak ketimpangan yang lebih besar antara laki-laki dan perempuan karena perempuan akan semakin sulit memiliki kendali atas tanah atau lahan.
Selanjutnya, perampasan sumber agraria dan kedaulatan perempuan atas pangan menjadi alasan ketiga. Dengan kebijakan sentralisasi pengelolaan lahan yang dilakukan oleh pemerintah, maka masyarakat akan kehilangan lahan untuk bekerja karena lahan-lahan ini berpotensi dialokasikan untuk lokasi pembangunan infrastruktur.Â