Mohon tunggu...
Fredy Maunareng
Fredy Maunareng Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati Bahasa

Menuduh diri sebagai "Pemerhati Bahasa" dari Nusa Laung, Pulau Wetar-Maluku Barat Daya Korespondensi melalui Email : fredy.maunareng@gmail.com | WA : +6281237994030 |

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Irisan Jebakan Batman Pada Pilihan Cawapres 2019

15 Agustus 2018   16:39 Diperbarui: 15 Agustus 2018   16:47 978
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Relawan Jokowi deklarasi dukungan tanpa gambar (Sumber: Kompas)

Hampir di seluruh pelosok tanah air kita, rakyat menanti deklarasi calon wakil presiden yang akan mendampingi calon presiden pada periode 2019---2024. Isu siapa calon presiden meredup dalam konsumsi masa. 

Tanding ulang (rematch) bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi. Demikian petahana akan tetap hadir untuk melanjutkan rencana jangka panjangnya, dan tagar "2019 Ganti Presiden" telah mengerucut kepada salah satu pemimpin partai, sebut saja Prabowo Subianto; walaupun tidak ada korelasi positif antara tagar dimaksud dan capres yang diusung. Publik kemudian menanti siapa sosok yang akan mendampingi mereka.

Petahana dalam lingkaran PDIP dan partai pengusung lainnya rupanya memainkan strategi injury time. Mereka tidak ingin terburu-buru mendeklarasikan pasangan lebih awal agar lawan tidak membaca kelemahan. 

Strategi ini memang kadang baik, tetapi kadang pula melahirkan kontroversi antara pendukung figur dan simpatisan partai. Berkaca dari penetapan dukungan PDIP kepada Basuki Tjahja Purnama atau yang akrab disapa Ahok pada Pilkada DKI kemarin, strategi ini dimainkan. Banyak pendukung Ahok yang memilih jalur independen ketimbang terperangkap dalam strategi politik PDIP. 

Kala itu, PDIP seperti tidak pasti mengusung Ahok sehingga PDIP tampak seperti partai pendukung Ahok dan bukan pengusung. Melalui BBC diberitakan bahwa relawan Ahok telah mengantongi 1.024.632 KTP, dengan kata lain sudah melampaui target tetapan KPU melalui jalur perseorangan. 

Hasil penggalangan KTP itu meskipun tidak digunakan tetapi turut menggambarkan tentang rakyat di Jakarta sebagai miniatur Indonesia itu tidak perlu retorika partai, tetapi lebih kepada figur yang dianggap mampu bekerja mengadministrasi keadilan sosial bagi masyarakat DKI, walau pada akhirnya kursi pemerintahan harus diserahkan kepada patner rivalnya di putaran kedua.

Dalam konteks Pilpres 2019, capres petahana dan non incumbent atau oposisi sama-sama mendeklarasikan cawapres mereka selang beberapa hari mendekati penutupan pendaftaran capres-cawapres ke KPU. 

Petahana keluar dengan menggandeng KH. Ma'ruf Amin, sementara keesokan harinya Prabowo keluar dengan menggandeng Sandiaga Salahuddin Uno. Kedua cawapres dari masing-masing kandidat adalah sungguh nama-nama yang tidak begitu kuat dalam bursa cawapres 2019. Paling tidak, dalam opini media tidak begitu gembar-gembor nama-nama kontestan ini disebutkan. 

Walau demikian, tentu masing-masing cawapres ini sudah melalui penyaringan ketat dengan berbagai pertimbangan, termasuk strategi penangkalan isu sara; dan karena itulah saya menggunakan kata kunci jebakan batman dalam tulisan ini.

Terminologi jebakan batman merupakan istilah yang cukup familiar dalam dunia browsing. Ada semacam permintaan atau rangsangan untuk mengikuti link tertentu dan ketika link itu diikuti akan berkahir dengan sesuatu yang tidak diharapkan, misalnya terjadi tambahan multi tab secara otomatis, penyebaran malware trojan, dan yang sejenisnya. Dalam konteks deklarasi cawapres 2019, siapakah yang masuk dalam jebakan batman dari strategi injury time? Apakah petahana atau oposisi? Siapapun yang terperangkap jebakan batman tidaklah penting dibahas sepanjang ia bisa meloloskan diri; yang penting ialah bagian mana jebakan itu dibuat, dan bagaimana jebakan itu dipasang untuk kembali menangkap batman, sehingga penonton tidak ikut terjebak dalam jebakan batman dan memicu perselisihan.

Hemat saya, banyak tahapan menyiratkan jebakan batman, dan dalam tulisan ini saya akan mengulas salah satunya yang saya pandang perlu. Hal ini penting dikemukakan dengan tujuan merajut keutuhan dalam berbangsa. 

Tentu pemahaman terhadap fenomena ini dibangun dari kerangka pikir semiotika. Pada kesempatan ini saya tidak mengulas konsep semiotika, tetapi kiranya pembaca dapat memahami bahwa seluruh tanda yang bertalian selalui memiliki makna. 

Tanda-tanda dimaksud dapat berupa bahasa, pun di luar bahasa. Produksi wacana, penamaan koalisi, gaya komunikasi, gerak tubuh, lambaian tangan, gaya berpakaian bahkan sampai pada senyuman, semuanya memiliki makna. Dan hal-hal semacam itulah dalam filsafat bahasa dan ilmu komunikasi disebut sebagai semiotik. 

Dengan pemahaman ini, setiap peristiwa merupakan tanda yang mengomunikasikan sesuatu hal. Tanda tidak sekadar mengartikan dirinya sendiri; demikian tanda mengimplikasikan arti yang lain tergantung siapa yang memandang dan dengan cara apa ia memandang. Begitulah tulisan ini dilokuskan pada peristiwa penjaringan cawapres yang memberi tanda-tanda, dan keputusan pilihan cawapres sebagai pertanda.

Pada masa penjaringan capres dan cawapres, banyak isu miring menyerang petahana. Salah satu isu yang tidak berdasar ialah pengkotak-kotakan umat. Petahana dalam menjalankan kekuasaannya dianggap tidak menghargai ulama dan umat. 

Apalagi serangan-serangan terhadap pemuka agama mayoritas, penanganannya lamban dan pelakunya selalu kelainan jiwa; sementara pelaku penyerangan terhadap pemuka agama minoritas penanganannya cepat bahkan ada yang ditembak di tempat. Fakta-fakta semacam ini menjadi amunisi bagi oposisi untuk terus menyerang dengan isu primordial. Kubu oposisi jauh-jauh sampai ke tempat kediaman salah satu ulama besar di Arab Saudi, Habib Rizieq Shihab. 

Tidak tanggung-tanggung, dari kejauhan diserukan satu nama koalisi, yakni Koalisi Keumatan. Koalisi ini lebih bersifat keagamaan, bahkan lebih cenderung ke agama mayoritas. 

Nama koalisi ini sebagai penegasan terhadap tuduhan mereka kepada petahana sebagaimana disebutkan di atas. Harapannya ialah mereka bisa mendapatkan simpati dari pemilih mayoritas yang seiman. Sebagaimana namanya, koalisi ini lebih banyak mendengar masukan dari para ulama hingga muncul Ijtima Ulama yang diselenggarakan tanggal 27-29 Juli kemarin.

Serangan terhadap petahana dan munculnya Koalisi Keumatan, membuka ruang bagi Partai Demokrat untuk mengambil jalan tengah. Gerilya konsolidasi partai yang dilakukan menjadikan mereka menawarkan suatu koalisi yang bersifat nasional, yakni Koalisi Kerakyatan. Namun dalam perjalanan, Demokrat terganjal berkoalisi karena harus berjalan sendiri. Akhirnya Demokrat harus mengikuti Gerindra, PKS dan PAN, dan dua partai lainnya sebagai pendukung, yakni Partai Bulan Bintang dan Partai Berkarya.

Pada masa-masa penjaringan dan penyaringan cawapres, petahana memiliki banyak kandidat yang punya elektabilitas yang kuat. Paling tidak, popularitas mereka sudah tidak diragukan, seperti Prof. Mahfud MD (Mantan Ketua MK), Purn Jend. Moeldoko, Susi Pudji Astuti, Muhammad Zainul Majdi (TGB), Muhaimin Izkandar, Airlangga Hartarto, Romahurmuziy, Prof. Ma'ruf Amin, Budi Gunawan, Sri Mulyani, Tito Karnavian, Gatot Nurmantyo, dan masih banyak tokoh nasional lainnya. 

Simulasi pun dibuat dan elektabilitas tertinggi berada pada Prof. Mahfud MD. Sementara dari kubu oposisi, simulasi dibuat selain dari elit partai koalisi juga mempertimbangkan ijtima ulama. Nama Habib Rizieq Shihab dan Ustad Abdul Somad pun santer disebut-sebut media. 

Munculnya satu nama kandidat dari kubu oposisi yang saya sebutkan terakhir yang akrab disapa UAS memang sangat dan perlu dipertimbangkan sematang-matangnya oleh koalisi dari petahana. Apalagi para pembesar NU yang ikut memberi sugesti bahwa cawapres harus dari kalangan NU memang tidak dapat ditawar lagi oleh koalisi ini. 

Pada menit-menit terakhir, seperti yang kita ketahui saat ini, nama Prof. KH. Ma'ruf Amin yang adalah Rays Am NU dan ketua MUI-lah yang keluar sebagai pilihan koalisi. Selang sehari, oposisi pun mendeklarasikan pilihan cawapres mereka yang adalah orang nomor di 2 DKI, Prof. Sandiaga Uno. Menariknya ialah, kehadiran nama Sandiaga ini tidak terprediksikan.

 Selain karena sedang menjabat sebagai Wagub DKI, Sandi juga adalah kader Partai Gerindra. Sangat di luar dugaan ketika partai-partai yang memiliki figur potensial mendampingi Prabowo Subianto tidak dipilih koalisi. Demokrat yang terus-menerus mendorong Agus Harimurti Yodhoyono pun terpaksa harus ikut dengan keputusan mayoritas dalam koalisi, karena tidak mungkin Demokrat harus berjalan sendiri sementara incaran terhadap kursi senayan ikut terancam.

 Dari rangkaian isu yang dimainkan, apalagi dengan menjual nama Ustad Abdul Somad dalam bursa cawapres kubu oposisi, membuat koalisi petahana harus menjatuhkan pilihan kepada tokoh yang dianggap bisa meredam perpecahan karena kepentingan sekular. 

Karena dengan cara apapun, doktrin keyakinan adalah ihwal kebenaran yang tidak boleh diraba-raba oleh siapapun sehingga pertimbangan dan saran yang diberikan para ulama kepada kubu oposisi menjadi jebakan bagi petahana. Petahana dalam lingkaran koalisi ingin menerapkan strategi "man to man defense", dan di situlah satu kemenangan dari oposisi.

Relawan Jokowi deklarasi dukungan tanpa gambar (Sumber: Kompas)
Relawan Jokowi deklarasi dukungan tanpa gambar (Sumber: Kompas)
Penetapan itu tentu punya dampak luas di setiap kalangan. Relawan Jokowi di Surabaya dalam deklarasi cawapres pun hanya bisa dengan menunjukkan insial tanpa gambar alias gambarnya dibalik. RJM. Begitulah mereka menamakan diri. Harapan mereka tentu tidak lain ialah Relawan Jokowi Mahfud, namun kenyataannya harus menjadi Relawan Jokowi Ma'ruf. Mahfud MD oleh relawan selain berdarah Madura juga dinilai fleksibel pada semua kalangan. 

Fakta ini menimbulkan kekecewaan bagi para pendukungnya walaupun pernyataan mereka tetapi mendukung petahana. Belum lagi terpilihnya Prof. Ma'ruf Amin sebagai cawapres yang mendampingi petahana berpotensi adanya degradasi dukungan dari pendukung Ahok. 

Pasalnya, dalam jabatan Prof. Ma'ruf sebagai ketua MUI telah mengeluarkan keputusan sikap dan pendapat keagamaan yang menjebloskan Ahok ke jeruji besi. Kita tidak dapat menafikan bahwa di luar sana substansi dari pendapat itu pun masih dipertanyakan banyak orang. Namun semua itu adalah desakan umat yang perlu dihormati semua pihak.

Prof. Ma'ruf tidak boleh dipandang hanya sebagai peredam isu sara. Celakalah jika mengerucutkan pandangan ke sana. Karena jika demikian, Prof. Ma'ruf seolah-olah tidak mampu dan tidak punya kapabilitas menjadi seorang cawapres; akibatnya berpotensi memicu perpecahan di internal umat. Bagaimanapun, Ma'ruf adalah seorang guru besar. Tentu ia tidak kosong sama sekali mengenai pembangunan keindonesiaan ini di tengah peradaban zaman.

Di tengah berlangsungnya deklarasi capres pilihan dan putusan koalisi, pentolan Demokrat keluar dengan suatu ancaman yang cukup menggegerkan. Dalam banyak media yang beredar, cuitan Andi Arief yang adalah Wakil Sekjen Partai Demokrat menghembuskan ada transaksi cawapres dalam kubu oposisi. Sandiaga Uno diduga telah memberikan mahar kepada PAN dan PKS sehingga menggeserkan kedudukan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari bursa cawapres. 

Walaupun sebagian tokoh Demokrat mengatakan bahwa itu adalah pendapat pribadi, namun sampai detik ini belum ada pernyataan resmi dari Partai Demokrat untuk meng-counter kicauan Andi Arief. 

Bahkan, Andi Arief pun dalam siaran langsung yang ditayang Kompas TV pada Senin via live phone mengatakan bahwa ia diperintah (oleh partainya) untuk mengatakan hal itu kepada publik. Peristiwa ini memberi gambaran bahwa Demokrat belum kalah dalam melakukan strategi "perang", walau harus ada satu "jenderal" yang dikorbankan dalam laga.

Kembali pada konsolidasi Partai Demokrat ke petahana dan oposisi, sama-sama belum ada jalan bagi Demokrat untuk memperkuat Dinasti dengan memajukan AHY ke kursi wapres. Safari Pembina Partai Demokrat ke petahana rupanya ada deal-deal namun sepertinya tidak begitu menggemberikan sehingga perlu safari juga ke oposisi. Ketika merapat ke oposisi, dalam berbagai media diberitakan bahwa Jubir Istana melalui Ali Mochtar Ngabalin mengingatkan agar "Pak SBY harus minta izin dulu kepada Pak Jokowi". 

Pernyataan dalam kutipan itu memiliki pesan politik yang cukup mendalam kendati dibantah oleh SBY bahwa ia bukan bawahan Jokowi. Adalah sah-sah saja seorang pembina partai bersafari ke pembina partai lainnya. Namun, bergabungnya dengan koalisi oposisi hanya bisa memasukan nama AHY dalam simulasi. Tentu mengecewakan, tetapi tidak untuk disesali. 

Demokrat tidak ingin kehilangan momentum, Demokrat harus bergabung dengan Prabowo yang baru didukung tiga partai utama dan dua partai tambahan, daripada harus mendukung petahana yang sudah didukung tujuh partai utama dan dua partai tambahan.

Demokrat sebelumnya sudah terpecah karena arah koalisi yang ditentukan secara top down. Muhammad Zainul Majdi atau yang akrab dikenal dengan nama Tuan Guru Bajang adalah salah satu kader potensial dalam partai yang harus keluar dari Demokrat. Rupanya TGB mencium ada praktik oligarki partai yang mana ia juga punya andil dalam membesarkan Partai Demokrat. 

Soekarno yang akrab disapa Pak Karwo yang adalah Ketua DPP Partai Demokrat Jatim ikut memainkan perannya untuk mengubah haluan politik Demokrat. Melalui voting yang diikuti seluruh kader fraksi Demokrat, pilihan meraka jatuh pada Jokowi. 

Belakangan Lukas Enembe yang adalah Ketua Partai Demokrat Papua yang baru saja terpilih sebagai Gubernur Papua secara terang-terangan menyatakan dukungannya kepada petahana kendati ia harus dipecat dari partai sekalipun.

Demokrat harus tampil sebagai partai yang tegar. Dugaan mahar politik harus dihembuskan tanpa harus melaporkan kepada yang berwajib. Demokrat harus dipandang sebagai partai yang dikorbankan; dianggap "dilecehkan" kubu petahana, dan "diabaikan" kubu oposisi.

Bagaimanapun, Demokrat harus tetap tampil sebagai koalisi yang tidak memecah-belah umat, dan juga tidak memanfaatkan ulama serta tidak menggunakan mahar. Satu langkah dengan isu mahar yang dialamatkan kepada Sandiaga jika ditelusuri dan dapat dibuktikan pihak berwenang (Bawaslu dan KPU), maka peluang AHY sangat besar untuk masuk cawapres dari koalisi yang sedang dibangun. Kendati pun tidak, Demokrat merebut hati masyarakat dengan drama dan strategi menghancurkan koalisi dari dalam sehingga momentum pemilihan legislatif sebisa mungkin dimenangkan oleh Demokrat dari slogan koalisi kerakyatan yang diharapkan tentunya.

Sandiaga dalam waktu yang relatif singkat keluar sebagai cawapres untuk meng-counter isu perekenomian tanah air dan menarik kaum milenial dengan optimisme kemudaan dan kesuksesannya. 

Namun memang menarik kaum milenial saja tidak cukup dengan senyuman, karena petahana yang terlampau usia pun tidak kalah dalam memilih shirt yang menjadi trendy di kalangan anak muda.

 ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun