Laki-laki berbaju putih dengan senyum lebar itu sangat bahagia. "Kamu, nak bisa menjadi seorang penulis terkenal, percayalah" kata kakekku kemudian ia memelukku dengan hangat aku menyambut pelukan itu degan bahagia.
"Radit. Radit. Bangun. Bangun, Radit," ucap ibuku sambil mengoyang-goyangkan badanku yang tertidur di meja belajar.
Aku menatap ibu heran. Kemana, kemana kakek itu "kakek kemana bu?" tanyaku.
Ibu heran "kekek siapa? kakek radit?".
        "iya. Kakeknya Radit. Kakek yang punya pulpen ini," ucapku sambil kuangkat pena yang milk kakek.
Ibu tersenyum. Lalu mengusap kepalaku dengan lembut "tadi kakek bilang apa ke Radit".
Aku ceritakan semuanya kepada ibu dengan sedetail mungkin.
Ibu tampak terharu dengan pertemuanku dengan kakek walaupunitu dalam mimpi "Berarti Radit harus semangat menjadi penulis. Harus menjadi seperti kakek  menjadi penulis handal," ucap ibu.
Aku mengangguk. Ini tekadku menjadi penulis seperti kakek.
Sampai akhirnya cita-citaku tercapai aku menjadi penulis yang handal seperti kakek. tulisanku menyebar luar seluruh dunia. Aku bangga dan kakekku pun bangga dengan pencapianku. Sejarah baru untuk Indonesia dan akhirnya sejarah Kembali terukir dengan pena kakek.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H