Mohon tunggu...
maulidi ilham
maulidi ilham Mohon Tunggu... Penerjemah - mahasiswa

turu wesss

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pena Sejarah Milik Kakek

30 Mei 2024   16:48 Diperbarui: 30 Mei 2024   16:52 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namaku Raditiya. Bocah yang berumur 6 tahun sama seperti kalian. Hari ini aku libur sekolah. Aku habiskan membantu ibu membersihkan rumah, apa saja yang aku bisa lakukan kulakukan, mengelap kaca, mengambil sampah di sela-sela sofa atau di belakang lemari. Sampai akhirnya aku menemukan sebuah kotak kecil berisi pulpen berwarna coklat kusam dan berdebu.

                "Ibu. Adit nemu ini," seruku berjalan menuju Ibu yang sedang merapikan buku-buku di rak buku.

                "Radit dapat dimana?" tanya ibuku. Dengan senyum dan terharu. Aku menunjuk lemari kayu.

Ibu senyum-senyum sambil menatap pulpen berwarna coklat kusam itu "Pulpen ini punya kakekmu, Dit. Berkat pulpen ini Indonesia mendapatkan kemerdekaannya di mata dunia," cerita ibuku.

Aku tak tau persis seperti apa kakek sebenarnya. Darikata ibu barusan dapatku mengerti bahwa Indonesia punya jasa kepada kakekku lewat tulisan.

                "Radit. Pengen dengar cerita kakek, boleh?".

Ibu tersenyum senang "Malam nanti sebelum Radit tidur ibu ceritaain kehidupan kakekmu yang berjasa atas negeri ini" kata Ibu sambil mencubit hidungku.

Baca juga: Senyumin Aja

Setiap malam sebelum tidur Ibu menceritakan kehidupan kakek. Kakekku seorang seorang penulis handal, ia sejumlah sejarah Indonesia yang orang tak pernah lupakan. Kamu tau kemerdekaan Indonesia? Kakekku yang menulis berita dan disiarkan ke seluruh dunia.

Kata Ibu, kakek setiap saat suka membaca setiap saat suka menulis. Kakek memiliki  banyak koleksi buku-buku disimpan dirumahnya. Pada suatu ketika orang-0rang Belanda menangkap kakek semua buku-buku milik kakek di bakar tidak ada yang tersisa di rumahnya.

Aku terkejut, begitu beratnya ya menjadi pahlawan untuk negara ini. Tapi,  dari cerita kakek aku ingin menjadi seperti dia yang  bisa mengenalkan Indonesia  seseorang lewat tulisan. Walaupun orang tidak mengenal kakek seperti apa.

                "Kalau radit ingin seperti kakek, Radit harus suka baca, Radit harus suka nulis. Besok, kalau Radit dewasa maka Radit akan menjadi kayak kakek, penulis handal," kata ibuku. Setelah ia bercerita panjang tentang kakek.

Semenjak hari itu aku rajin membaca buku khusunya buku cerita, walaupun cerita dongeng dan sejarah. Aku juga belajar menulis, ibu adalah orang yang pertama membaca ceritaku.

                "Sekarang radit nulis pakai pulpen punya kakek, biar bisa nulis seperti kakek," ibu memberikan pulpen kakek berwarna coklat kusam itu.

                Aku memegangnnya dengan tangan bergetar "Radit janji akan menjadi penulis terkenal seperti kakek," ucapku sunguh-sunguh.

Setiap hari aku menulis dengan pena kakek, walaupun pena milik kakek itu tampak sudah tak layak digunakan lagi. Tapi aku yakin berkat pena ini aku bisa menulis sejarah tersendiri untuk negeriku tercinta ini.

Malam itu sebelum tidur aku menulis kejadian menarik kualami di sekolah tentunya dengan pena kakek. aku hanyut dalam menulisku sampiku tak menyadari bahwa ada seseorang yang duduk disampingku turut memperhatikanku.

"Tulisan kamu bagus," ucapnya seseorang itu aku menoleh dan terkejut.

Jujur aku takut sekali, tapi orang itu tampak tersenyum "aku adalah kakekmu, nak. Dan pulpen itu milikku," lanjutnya.

Aku menetap pulpen di genggamanku dan orang itu bergantian. B-bagaimana mungkin kakekku  bisa ada disini bukankah kakek sudah meninggal?.

                "Duduklah. Jangan takut. Aku hanya ingin melihat siapa yang mengunakan penaku selama ini hilang. Kau harus tau nak pena itu memiliki sejarah. Ia bukti sejarah dunia ini. Aku sangat menyayanginya. Pena itu yang menemaniku selama perjalanan hidupku dan sejarah ini, nak. Aku berharap kau bisa melanjutkan sejarah pena ini dengan sejarahmu sendiri," ucap kakekku sangat menyihirku. Aku terpaku dengannya.

                "Ak-aku ingin jadi seperti kakek. aku janji menjadi penulis seperti kakek bisa mengenalkan dunia dengan Tulisan, bisa menjadi kebanggan Indonesia walaupun Indonesia tidak mengenal kakek. Aku janji,"ucapku dengan penuh semangat.

Laki-laki berbaju putih dengan senyum lebar itu sangat bahagia. "Kamu, nak bisa menjadi seorang penulis terkenal, percayalah" kata kakekku kemudian ia memelukku dengan hangat aku menyambut pelukan itu degan bahagia.

"Radit. Radit. Bangun. Bangun, Radit," ucap ibuku sambil mengoyang-goyangkan badanku yang tertidur di meja belajar.

Aku menatap ibu heran. Kemana, kemana kakek itu "kakek kemana bu?" tanyaku.

Ibu heran "kekek siapa? kakek radit?".

                "iya. Kakeknya Radit. Kakek yang punya pulpen ini," ucapku sambil kuangkat pena yang milk kakek.

Ibu tersenyum. Lalu mengusap kepalaku dengan lembut "tadi kakek bilang apa ke Radit".

Aku ceritakan semuanya kepada ibu dengan sedetail mungkin.

Ibu tampak terharu dengan pertemuanku dengan kakek walaupunitu dalam mimpi "Berarti Radit harus semangat menjadi penulis. Harus menjadi seperti kakek  menjadi penulis handal," ucap ibu.

Aku mengangguk. Ini tekadku menjadi penulis seperti kakek.

Sampai akhirnya cita-citaku tercapai aku menjadi penulis yang handal seperti kakek. tulisanku menyebar luar seluruh dunia. Aku bangga dan kakekku pun bangga dengan pencapianku. Sejarah baru untuk Indonesia dan akhirnya sejarah Kembali terukir dengan pena kakek.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun