Kenaikan permukaan laut dapat memaksa jutaan orang untuk meninggalkan rumah mereka, menciptakan krisis pengungsi yang berdampak pada negara-negara penerima. Hal ini dapat menyebabkan ketegangan sosial dan meningkatkan biaya sosial serta ekonomi dalam mengelola migrasi tersebut.
5. Fluktuasi Pasar Global
Perubahan dalam produksi pertanian dan perikanan dapat menyebabkan fluktuasi harga komoditas di pasar global. Gangguan dalam rantai pasokan akibat cuaca ekstrem atau kerusakan infrastruktur juga dapat meningkatkan biaya logistik dan inflasi.
6. Kerugian Ekosistem
Kenaikan permukaan laut mengancam ekosistem pesisir yang penting, seperti terumbu karang dan hutan mangrove, yang berfungsi sebagai perlindungan alami terhadap badai dan banjir. Kerusakan ekosistem ini tidak hanya mengurangi keanekaragaman hayati tetapi juga mempengaruhi industri pariwisata yang bergantung pada keindahan alam tersebut.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat ditegaskan bahwa permasalahan mencairnya es di Kutub Utara juga berdampak pada ekonomi global dan krisis sosial. Dampak tersebut tidak hanya dirasakan oleh satu negara saja melainkan beberapa negara lainnya yang terdampak juga merasakannya. Kerugian-kerugian ini menjadi momok baru bagi negara yang mana negara harus dapat mengatur atau mengelola agar kerugian yang dialami tidak berdampak lebih luar kepada kehidupan masyarakatnya.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?Â
Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi atau mengurangi kenaikan permukaan air laut yang diakibatkan dari mencairnya es di Kutub Utara karena pemanasan global.
- Kebijakan International
Kebijakan international yang berfokus untuk mengatasi permasalahan tersebut yaitu dengan adanya perjanjian Paris (Paris Agreement). Perjanjian ini merupakan perjanjian international yang mengikat secara hukum untuk mengatasi perubahan iklim. Salah satu kebijakan international yang terdapat dalam perjanjian ini yaitu membatasi kenaikan suhu global di bawah 2oC di atas suhu pra-industri dan berupaya membatasi kenaikan suhu hingga 1,5oC.
Dilansir dari siaran pers yang berjudul "Indonesia Menandatangani Perjanjian Paris Tentang Perubahan Iklim" pada tahun 2016 menjelaskan bahwa mewakili Presiden Joko Widodo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dr. Siti Nurbaya menandatangani Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim pada Upacara Tingkat Tinggi Penandatanganan Perjanjian Paris (high-level Signature Ceremony for the Paris Agreement) yang berlangsung di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat, pada hari Jumat, 22 April 2016. Perjanjian Paris merupakan kesepakatan global yang monumental untuk menghadapi perubahan iklim. Komitmen negara-negara dinyatakan melalui Nationally Determined Contribution (NDC) untuk periode 2020-2030, ditambah aksi pra-2020. Perjanjian Paris didukung 195 negara, berbeda dengan periode pra-2015, yang ditandai absennya negara-negara kunci seperti AS dan Australia.
Perjanjian Paris akan berlaku apabila diratifikasi oleh setidaknya 55 negara yang menyumbangkan setidaknya 55% emisi gas rumah kaca. Diharapkan batas tersebut dapat terpenuhi dalam waktu tidak terlalu lama, melihat tingginya tingkat partisipasi dalam Upacara Penandatanganan Perjanjian, yaitu 171 negara menandatangani dan 13 negara (terutama small island developing countries) langsung mendepositkan instrumen ratifikasi. Negara-negara dengan tingkat emisi tinggi seperti Amerika Serikat, Cina, Uni Eropa, Rusia, Jepang, dan India juga menandatangani Perjanjian Paris.
- Teknologi dan Inovasi Hijau