Sebagai sebuah sistem, demokrasi merupakan kesatuan perangkat yang mesti dirawat. Koherensinya pada berbagai sektor menunjukkan perannya selaku tumpuan beragam kebutuhan publik terhadap negara. Sistem ini merupakan media sekaligus alat hajat hidup banyak orang, menyangkut kepentingan serta hak dan kewajiban warga negara.
Hal itu dapat dicermati melalui pelaksanaannya seperti tahapan birokrasi di instansi, ruang aspirasi, hingga kelangsungan pemilu. Ilustrasi demikian menggambarkan bahwa sistem ini sangat mendasari terwujudnya kehidupan bernegara yang berkualitas, yang tentu saja juga berdampak terhadap aspek-aspek lainnya.Â
Oleh karenanya, sudah selayakya sistem demokrasi ini diletakkan pada posisi yang bermutu dengan segala upaya yang membentuk ke arahnya.
Pada tatanan ideal, demokrasi menggiring individu untuk aktif berpartisipasi, terlibat pada kelangsungan pembangunan negara. Demokrasi mempersilahkan tiap individu membawa hal-hal mendasar yang berkaitan dengan kebutuhan hidupnya.Â
Tantangan yang sering kali memboncengi hiruk pikuk demokrasi, salah satunya adalah keberlangsungan pemilu. Aktivitas Pemilu, makna sederhananya ialah proses pemilihan pemimpin atau kepala daerah dalam tataran eksekutif dan perwakilan pada lajur legislatif. Baik eksekutif maupun legislatif, sejak reformasi, dihasilkan melalui pemilihan langsung oleh rakyat.Â
Rakyat berdaulat penuh atas orang-orang yang dipercayakannya, menitipkan harapan dari bilik suara. Partisipasi masyarkat melalui pemilu merupakan indikator kualitas demokrasi di suatu negara. Itu sebabnya, agenda ini mutlak dijaga dalam kerangka etis dan estetikanya.
Bahwa memang tidak ada bantahan dari penyebutan tahun 2019 adalah tahun politik, bahkan sebutan itu telah muncul sejak tahun lalu. Sebutan tersebut mengacu pada makna menjamurnya aktivitas politik yang diselenggarakan dari dan untuk rakyat, yang menurut konstitusi mereka berhak menyandang status memilih dan dipilih, sebuah legitimasi yang mutlak dalam kehidupan demokrasi.Â
Tahun politik selalu menarik untuk ditelisik oleh siapapun. Bukan hanya oleh para pengamat, atau politisi berikut masing-masing agendanya, melainkan juga pihak-pihak yang beafiliasi kepentingan dengan agenda ini, sebuah fenomena polarisasi politik. Momentum ini menarik dikaji pihak-pihak yang ingin menari di panggung politik.
Nyaris nihil redaksi bertopik pemilu, baik pileg maupun pilpres, bermuatan kegamangan solutif. Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa pemilu adalah instrumen peningkatan sekaligus tolak ukur kualitas kehidupan warga negara. Masa pemilu merupakan masa teraktif politisi dan partai politik sebagai mesin demokrasi menawarkan program-program yang bernuansa perbaikan.Â
Pada saat inilah, mereka bekerja esktra untuk meyakinkan masyarakat bahwa, melalui program merekalah, harapan-harapan terwujudkan, kecemasan hilang, kegelisahan lenyap, kekhawatiran pudar, berganti menjadi kecerahan peluang, keluasan kesempatan, Â dan kehidupan mengarah pada kesejahteraan.Â
Hal krusial yang mereka mesti patri ialah bahwa ruang politik itu ialah ruang pengabdian. Mereka yang berkecimpung di alam politik, adalah yang siap mengabdi atas kebutuhan masyarakat, memperjuangkannya dengan sungguh-sungguh.
Masa pemilu, saban hari, lebih sering ditampilkan oleh jalanan sebagai tempat mempromosikan diri lengkap dengan nomor, wajah, nama, dan lambang partai para politisi. Di pohon-pohon, di tembok jalanan, di papan reklame, di tiang listrik, adalah tempat-tempat mereka menampilkan diri. Di sisi lain, media massa juga merupakan alat pengenalan diri. Mungkin tidak ada yang tidak menyadari kekuatan media massa dalam memasarkan produk.Â
Cara-cara ini tidak salah, hanya saja mereka tidak mengikutsertakan program solutif apa yang ditawarkan sehingga layak dipilih dan diberikan kepercayaan. Masyarakat awam tidak begitu kenal dengan mereka, apalagi tanpa melibatkan program.Â
Kalau begini, dengan alasan apa masyarakat memilih mereka? Lebih jauhnya, pembangunan negara yang  seperti apa yang akan dihasilkan dari jurang keakraban pemilih dengan yang dipilih?
Hal lain yang juga patut dicermati dalam masa pemilu adalah bertebarannya narasi tanpa edukasi. Bahwa di masa ini, program dan kontestan yang berlaga memenangkan hati masyarakat harus memboncengi keteladanan, inspirasi, dan kewibawaan. Pada hakikatnya, masa pemilu ialah pendidikan politik bagi semua pihak.Â
Istilah pendidikan tentu saja, upaya menjadikan seseorang terdidik, perubahan kognitif dan tindakan. Karena itu, narasai yang dikembangkan tidak boleh lepas dari landasan untuk mendidik. Munculnya pernyataan dari aktor politik, harus direspons dari sudut edukatif, dengan memperhatikan substansi persoalan pernyataan tersebut.Â
Akan tetapi, tanggapan dan pandangan yang muncul menyesakkan pikiran masyarakat, saat ini, masih berada pada level  pra-edukatif, yakni kegagalan memahami konten narasi yang tidak jarang berujung pada pengolok-olokan.Â
Pada kondisi ini, hal yang bisa dikedepankan ialah semampu mungkin menghindari kegagalan logika, Jika ingin mengkritik, sampaikan dengan obyektif, beretika, dan argumentatif. Media massa, aktor politik hingga masyarakat umum adalah pihak-pihak yang terlibat di dalam tantangan seperti ini,
Pada akhirnya, masyarakat akan terus diuji selama masih menganut sistem demokrasi dan pemilihan langsung oleh rakayat. Semua yang terlibat harus betul-betul menyadari agenda pendidikan demokrasi ini bukan sebagai peruyak ketegangan horizontal, melainkan pendewasaan diri sebagai bangsa yang berdaulat, sebagai negara yang mandiri.Â
Upaya-upaya yang memperbaiki agenda pemilu harus terus dikembangkan sembari mengoreksi kekeliriuannya. Semua upaya ini tidak lain adalah untuk memperbaiki kualitas hidup suatu negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H