Pada sore hari yang belum lama pergi, publik dikejutkan dengan berita tentang sosok Aryanto Misel beserta temuannya. Pria asal Cirebon ini viral setelah alat konversi air menjadi bahan bakar buatannya dilirik perusahaan otomotif asal Italia. Ia dianggap berhasil menemukan bahan bakar terbarukan (atau setidaknya "pengganti bahan bakar konvensional") yang diberi nama Nikuba, akronim dari "Niku Banyu" (Ini Air). Namun nasib Aryanto seolah miris akibat tidak mendapatkan penghargaan di negeri sendiri. Ya, begitulah kira-kira narasi yang digambarkan oleh platform media arus utama.
Para penulis artikel berita terkait temuan Aryanto Misel pun memberi judul yang meledak-ledak, bak memotret sang penakluk dunia yang tak dianggap. Berikut saya berikan beberapa contoh yang diambil dari web-web ternama. Misalnya tvOneNews.com memberi judul "Dulu Dicemooh BRIN, Nikuba Buatan Aryanto Misel Kini Go Internasional". Selain itu, ada juga artikel berjudul "Sosok Aryanto Misel Penemu Nikuba, Dulu Diremehkan, Kini Dilirik Lamborghini, Ducati & Ferrari" yang dipublikasikan Tribun Jabar. Tak kalah heroik, Disway.id menulis judul "Teknologi Nikuba Diadopsi Ferrari Hingga Ducati, Aryanto Misel Dapat Pujian Setinggi Langit: Profesor Tanpa Gelar!" dalam berita yang dipublikasi pada Senin (03/07) lalu. Judul-judul seperti itu membuat nama Aryanto Misel menjadi viral.
Artikel yang tersebar dan menjadi berita viral kemudian dikonsumsi begitu saja oleh para netizen. Sudah bisa ditebak, tak sedikit yang memberi respons negatif terhadap buruknya perilaku pemerintah kepada Nikuba temuan Aryanto. Alih-alih skeptis dengan publikasi-publikasi media yang memuji Nikuba setinggi langit dan menjatuhkan institusi pemerintah sendiri, netizen justru mudah bias akibat terpancing. Sikap skeptis mereka hilang. Emosi semakin meninggi. Hasilnya mereka langsung mempercayai begitu saja berita yang ada. Mereka menganggap pemerintah telah abai dan tidak peduli pada "kepintaran" rakyatnya.
Lantas, bagaimana alur Aryanto Misel dapat mengudara dan membuat ratusan netizen menjadi geram terhadap sikap acuh Pemerintah Indonesia---dalam konteks ini diwakilkan oleh BRIN? Siapa yang bertanggung jawab memainkan dan menarik ulur gerak pendapat netizen? Dan yang paling penting: apakah Aryanto benar-benar menciptakan alat energi terbarukan, diundang Lamborghini, Ducati, dan Ferrari, serta dikacangin pemerintah, sehingga penghakiman netizen terhadap dosa BRIN bersifat shahih? Atau sebaliknya, ini hanya gimmick semata?
Tentang Alat Milik Aryanto Misel
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, Aryanto menamai Nikuba sebagai akronim dari "Niku Banyu". Tindakan itu bukanlah tanpa alasan. Nikuba diklaim mampu membuat bahan bakar kendaraan bermesin dari air dengan cara mengonversikan air menjadi hidrogen. Dilansir dari Detik.com, Suara.com, dan Kompas.com, Aryanto menjelaskan kalau kandungan air dapat menjadi hidrogen karena di-elektrolisis-kan dan dipisahkan dengan oksigen. Hidrogen yang telah terpisah dialirkan ke dalam ruang pembakaran pada mesin kendaraan bermotor. Sementara itu, oksigen yang terpisah akan mengalami proses elektrolisis kembali menjadi hidrogen dan kemudian dialirkan lagi ke ruang pembakaran. Teknologi ini dianggap bisa lebih hemat dari energi yang dikeluarkan bahan bakar minyak.
Lebih hebat lagi cerita yang dituturkan langsung dari Pak Aryanto sendiri. "Nikuba ini pernah diuji digunakan pulang-pergi dari Cirebon ke Semarang Cuma menghabiskan 1 liter air," ungkapnya, dikutip dari website DPRD Cirebon (4/7/2023). Wajar jika ada pembaca yang bereaksi: "Wow, benar-benar hebat!"Â
Karena dianggap sebagai alat baru yang mutakhir, penemuan Aryanto terdengar hingga ke Negeri Pizza. Pria pencipta Nikuba itu pun diundang ke Milan untuk mempresentasikan hasil kerjanya. Bahkan tersiar kabar kalau perusahaan otomotif besar di Italia seperti Lamborgini, Ducati, dan Ferrari melirik dan juga ingin mengontrak Nikuba.
Hingga saat ini, Aryanto mengupayakan adanya hak paten atas temuannya. Aryanto menyatakan kalau Nikuba dijual dengan harga 4,5 juta Rupiah. Dalam perkembangannya, konon Nikuba sudah dipasang pada 31 unit kendaraan dinas TNI. Sebanyak 30 unit dipasang pada kendaraan TNI Kodam III/Siliwangi, sementara 1 unit lainnya dipakai anggota TNI Koramil Lemahabang. Bahkan katanya anggota TNI Koramil Lemahabang mengungkapkan kalau dirinya hanya memerlukan kurang dari setengah liter air selama empat hari kerja di area tugasnya.
Akan tetapi apakah kalian tahu kalau Nikuba buatan Aryanto sudah pernah viral dan menjadi ramai setahun lalu? Tentu saja, Nikuba bukanlah barang baru kemarin sore yang naik daun beritanya belakangan ini. Menurut pengakuan Aryanto dalam wawancaranya dengan BBC tahun lalu, dirinya sudah merancang Nikuba sejak lima sampai enam tahun terakhir. Tahun ini berarti Aryanto sudah menyibukkan diri dengan Nikuba selama enam tahun atau lebih. Jika memang sudah lebih dari enam tahun dan sudah viral di tahun lalu, mengapa belakangan ini kembali tren beritanya?
Â
Permainan Jurnalisme Sains dan Permasalahannya
Satu faktor utama yang membuat semua orang seakan-akan peduli terhadap temuan Aryanto adalah undangan dari negara asing yang sudah menjadi master dalam teknologi otomotif. Faktor lainnya yang pertama adalah karena ironi yang muncul akibat temuannya tidak mendapat apresiasi di dalam negeri. Sementara yang kedua karena permainan dari jurnalis penyebar berita sains dan teknologi untuk masyarakat. Penyebaran berita sebenarnya masuk ke dalam kategori yang paling krusial, karena menyampaikan narasi atas apa yang terjadi.
Jurnalis dan seperangkat pihak yang menulis, mengedit, serta mempublikasikan berita tentang informasi Nikuba dan peristiwa diundangnya Aryanto ke Italia ialah termasuk orang yang mengkomunikasikan sains ke ranah publik. Mereka mampu menyajikan isu-isu terkini yang terjadi dalam iptek agar dapat dinikmati masyarakat umum. Artinya mereka juga dapat disebut komunikator sains, meskipun tidak punya kredensial sebagai komunikator sains atau ahli komunikasi sains.
Namun sayangnya, ketika berita Aryanto laris dibaca, para jurnalis yang tidak punya kredensial sebagai komunikator sains pun semakin banyak yang ikut-ikutan membuat berita tentang Aryanto beserta temuannya, lengkap dengan wacana undangan dari perusahaan otomotif ternama di dunia dan pengabaian pemerintah dalam negeri. Bagaimanapun juga, mereka tetap pelaku jurnalisme sains---yang membuat berita tentang kabar sains terkini.
Dalam jurnal yang berjudul Can scientists fill the science journalism void? menyatakan bahwa di banyak negara sumber utama informasi mengenai sains dan teknologi adalah media massa. Masyarakat umum biasanya enggan mencari informasi sains kecuali sudah disebutkan atau dibahas di media arus utama. Sehingga para ilmuwan yang menulis berita tentang sains dan teknologi sering kalah pamornya oleh jurnalis biasa. Berita yang dibawakan oleh jurnalis biasa yang tidak memiliki kredensial juga mampu membantai popularitas berita yang ditulis oleh ilmuwan per se. Terlebih di Indonesia yang pembacanya lebih banyak berkomentar hanya karena melihat judul daripada fokus terhadap isi berita. Meskipun kalimat barusan adalah asumsi berbekal pengalaman saya, tapi tampaknya sudah menjadi pengetahuan umum.
Saya tidak bermaksud meragukan pengetahuan yang dimiliki wartawan atau jurnalis biasa yang tidak memiliki latar belakang ilmiah saintek untuk dapat memahami pengetahuan saintek. Namun yang saya amat sayangi adalah ketika jurnalis biasa menulis berita yang sifatnya tidak benar-benar utuh untuk menjelaskan sesuatu yang sifatnya ilmiah. Itu bukan berarti karena mereka sudah pasti tidak tahu, tapi karena berita yang mereka tulis adalah hasil dari melihat berita lainnya yang sebelumnya sudah ada. Sehingga akan terkesan seperti "duplikasi berita". Belum lagi dengan jurnalis yang bermain-main dalam interpretasi liar atas pernyataan ilmiah, yang seolah-olah sedang membahas "teori saintifik". Contohnya pernyataan tentang betapa efisiensinya bahan bakar yang dihasilkan dari pemisahan antara hidrogen dan oksigen. Mereka hanya berhenti di situ. Tidak menjelaskan mekanisme internal yang ada dalam Nikuba, bagaimana implikasinya bagi kendaraan, dan semacamnya. Ini terjadi karena banyak jurnalis sains dadakan ketika beritanya hangat.
Lihat saja, beberapa media sama sekali tidak segan-segan untuk mempublikasi berita tanpa memeriksa dulu kebenarannya. Mereka terang-terangan memberi judul kalau Aryanto mendapat undangan ataupun kontrak dari Lamborgini, Ducati, dan Ferrari. Padahal pria asal Cirebon itu tidak benar-benar diundang atau bahkan dikontrak perusahaan otomotif raksasa. Kabar itu hanyalah bias dari ketidakmampuan membaca sebuah kalimat yang ada di web Radar Cirebon TV. Kalimatnya tertulis: "Tak tanggung-tanggung, Aryanto Misel telah menjalin kerja sama dengan para perusahaan Italia yang menjadi rekanan Ducati dan Ferrari". Kalimatnya jelas tidak menyatakan kalau penemu Nikuba dikontrak oleh Ducati dan Ferrari, melainkan hanya menjalin kerja sama dengan perusahaan Italia yang menjadi 'rekanan' mereka, itu pun belum dapat divalidasi apakah Aryanto sudah bekerja sama atau belum. Serta masih ada kecacatan-kecacatan informasi lainnya yang disampaikan dalam berita tentang Nikuba yang terbungkus dalam optimisme dan rendahnya rasa skeptis di kalangan 'oknum' jurnalis.
Sumbangan Dominan Jurnalisme Warga kepada Krisisnya Sikap Kritis Warga
Terdapat sesuatu yang seharusnya lebih disayangkan lagi. Berita yang seolah-olah optimis menceritakan rupa teknologi baru, menghakimi pemerintah yang abai, dan tidak menyangsikan status prestisius dari undangan perusahaan otomotif Italia ternyata sudah terlanjur viral di mana-mana. Walau di paragraf-paragraf awal sudah dijelaskan terkait naik daunnya berita ini, tapi penegasan ulang diperlukan setelah pembaca melintasi berbagai 'tulisan kritis' di atas. Apa yang terjadi kemudian?
Keadaan seperti ini semakin dihebohkan dengan peran jurnalisme warga (citizen journalism) yang menghegemoni kultur penyampaian informasi dewasa ini. Jurnalisme warga merupakan konsekuensi dari partisipasi warga dalam memperluas informasi (biasanya berita). Berbekal internet yang dapat menghubungkan media milik warga (disebut citizen media atau bisa juga participatory media) dalam situs jejaring sosial, para pengguna mampu membuat konten. Inilah yang dinamakan user-generated content atau konten yang dibuat pengguna. Para pengguna biasanya mempublikasikan konten dan berinteraksi dalam media sosial. Kita tahu kalau sekarang media sosial semakin bertambah banyak, salah satu contoh yang baru terjadi adalah peluncuran Threads dari Meta untuk menyaingi Twitter. Bagaimanapun corak dari situs jejaring sosial itu, yang terpenting adalah penggunanya dapat bersosial dan menampakkan diri ke ranah publik hanya dengan membuat akun di situs tertentu.
Oleh sebab itu, peran audiensi menjadi semakin aktif karena mengalami pergeseran sejak munculnya media baru. Para audiensi telah bertransformasi menjadi pengguna situs secara partisipatif. Mereka mampu membalas komentar secara langsung dari pengguna yang membuat konten. Selain menikmati konten, mereka juga dapat membuat konten, entah konten tulisan berupa utas seperti yang terjadi di Twitter dan Threads, foto carousels yang dominan ada di Instagram, hingga video pendek yang banyak dibuat di Tiktok dan YouTube. Semua itu adalah bentuk dari konten.
Ketika berita Nikuba hangat dan menjadi trending, tidak sedikit pengguna media sosial yang bereaksi, bahkan meramaikannya. Tidak semua dari mereka mengikuti kabar Nikuba sejak viral di tahun lalu hingga saat ini---saat di mana Nikuba kembali viral. Saya berani bertaruh kalau faktanya kebanyakan dari mereka yang dulu mengapresiasi dan menuntut pemerintah untuk peduli dengan penemuan Nikuba tidak selalu mengawal kabarnya secara konsisten hingga Aryanto diundang ke Italia. Mereka awalnya tampil, kemudian tertidur pulas setahun, dan baru berkomentar kembali pasca viralnya undangan untuk Aryanto. Belum lagi pengguna media sosial yang awalnya tidak tahu sama sekali dengan Nikuba ataupun yang baru mengetahuinya setelah berita tentang Aryanto yang ke Italia.
Sayangnya keniscayaan digitalitas tak terhindari. Berbekal pembacaan atas informasi media mainstream, mereka tak segan-segan menghakimi pemerintah secara agresif karena menelantarkan karya brilian anak bangsa. Bukannya bersikap skeptis karena ketidaktahuan terhadap dunia otomotif, mereka malah menyebarluaskan berita tersebut sambil dibumbui oleh bias-bias pendapat liar mereka. Berita yang ditulis oleh jurnalisme profesional tentang dunia teknologi otomotif saja belum tentu akurat informasinya, apalagi para jurnalis warga yang kebanyakan amatir dan hanya mengikuti arus. Alhasil sikap skeptis dan kritis mereka menjadi krisis karena arus suara yang dominan dalam menyuarakan kekesalan.
Â
Perlunya Belajar Dari Masa Lalu
Netizen karbitan yang main menghakimi begitu saja tampaknya perlu mengetahui beberapa tipu muslihat maupun kegagalan dari teknologi baru yang pernah terjadi, khususnya di Indonesia. Saya berposisi ingin menentang upaya penyebaran teori konspirasi yang menghancurkan nalar publik, seperti yang sering diangkat dalam kisah hidup Stanley Meyer---yang konon dibunuh oleh 'elite global' pendukung bahan bakar minyak. Itulah sebabnya saya tidak memakai teori konspirasi untuk menjawab pertanyaan tentang misteri hilangnya kabar teknologi baru yang dahulu pernah menggemparkan masyarakat. Netizen perlu mengetahui satu kasus merugikan untuk memahami mengapa pemerintah tidak langsung mengakomodir dan memberi perhatian kepada Nikuba.
Lima belas tahun sudah berlalu, meninggalkan memori kelam bagi Joko Suprapto, sang penemu "Blue Energy". Ia memang dianggap menemukan teknologi baru yang mutakhir oleh orang-orang pada saat itu. Namun nasib apes menghampirinya. Ia bukan mengalami kejadian naas karena menghadapi kriminal yang berusaha melenyapkan penemuan barunya, tapi ia sendirilah yang menjadi kriminal karena menipu masyarakat dengan penemuan palsunya.
Joko Suprapto pada mulanya mengklaim dapat mengubah air menjadi bahan bakar alternatif. Teknologi yang dibuat pria asal Nganjuk itu digadang-gadang bisa mengakhiri ketergantungan Indonesia terhadap minyak bumi. Maka Presiden Indonesia kala itu, Susilo Bambang Yudoyono, sampai takjub dan ingin serius memperhatikannya. Hal itu terbukti dengan diundangnya Joko Suprapto ke kediaman Sang Presiden di Cikeas untuk mempresentasikan karyanya. Kemudian SBY menamai teknologi buatan Joko sebagai "Blue Energy".
Dilansir dari website LIPI (29/05/2008), sebelum mempresentasikan karyanya di depan SBY, Joko Suprapto ditemani staf khusus presiden yaitu Heru Lelono untuk menghadiri dan membawa lima kendaraan berbahan bakar alternatif air ke konferensi internasional di Bali yang bertajuk perubahan iklim. Namun dalam artikel itu tidak ada kejelasan nama acara dan apa saja yang dilakukan oleh Joko Suprapto di sana. Persis seperti yang belakangan ini terjadi pada media-media dalam memberitakan Nikuba saat diundang ke Italia.
Di balik apresiasi setinggi langit yang dialamatkan kepada Joko Suprapto, muncul orang skeptis yang bersuara. Ialah Tumiran, Ketua Jurusan Teknik Elektro Universitas Gadjah Mada kala itu. Menurutnya jika presiden sampai percaya dengan Joko maka dapat menyesatkan rakyat Indonesia. Berbekal latar belakangnya sebagai ketua Jurusan Teknik Elektro UGM, mungkin saja ia mengetahui lebih dulu kejanggalan dari "Blue Energy". Joko Suprapto dikonfirmasi UGM sebagai orang yang pernah menawarkan hasil temuan "Pembangkit Listrik" di tahun 2005. Pembangkit listrik yang dibuat Joko disebut-sebut memakai energi misterius, dan ia gagal dalam mempresentasikan penemuannya kepada pihak UGM. Oleh karena itu ia meminta dana sebesar 3 milyar rupiah kepada UGM untuk membiayai risetnya. Hal itu jelas ditolak UGM.
Entah tuntutan rakyat atau karena terobsesi membuat teknologi baru karya anak negeri, SBY memutuskan untuk terus mendukung Blue Energy. SBY sampai menggelontorkan milyaran rupiah dari APBN beserta pembuatan infrastruktur untuk menunjang pengembangan Blue Energy. Presiden bahkan sampai membuat tim khusus yang dipimpin Heru Lelono untuk menindaklanjuti karya Joko.
Perlahan terkuak kebenaran dari teknologi terbarukan itu. Blue Energy hanyalah konsep usang yang sudah pernah digunakan sebelumnya oleh Stanley Meyer. Teknologi ini bersifat sederhana dan tidak signifikan, berupa bahan bakar air yang hanya mengaplikasikan konsep elektrolisis. Joko telah terbukti menipu masyarakat Indonesia dan mempermalukan Presiden SBY. Akhirnya Joko ditangkap dan dipenjara.
Setelah kejadian itu, tak sedikit masyarakat yang mencibir Presiden karena dianggap mudah tertipu. Akibat keluguannya itu, Presiden SBY harus mengalokasikan dana untuk riset yang tak berguna apa-apa. Mungkin pemerintah Jokowi dan BRIN menjadi lebih berhati-hati akibat kerugian yang pernah dialami di masa SBY yang mengatasnamakan riset karya anak bangsa.
Segenggam Konfirmasi BRIN beserta Kebutuhan Verifikasi
BRIN bukannya mengabaikan Nikuba begitu saja. Meskipun mereka tidak langsung memperhatikan dan mendukung penuh karya Aryanto, mereka tidaklah sepenuhnya abai, hanya saja skeptis terhadap Nikuba. Mereka mempertanyakan mekanisme di balik cara kerja Nikuba. "Sesuai dengan pengalaman saya, kayaknya saat ini belum memungkinkan. Air itu adalah unsur paling stabil dibumi, kan dia yang diambil gas nya. Jadi harus dipisahkan dengan proses elektrolisis," ujar Arifin Nur dikutip dari instagram @terangmedia, Senin (03/07/2023).
Setahun yang lalu, BRIN telah mengonfirmasi kalau Nikuba bukanlah pengganti BBM. Mengutip dari Detik.com (10/05/2022), Profesor Riset BRIN Eniya Listiani mengomentari Nikuba ciptaan Aryanto. "Bukan proses elektrolisa murni menghasilkan gas hidrogen. Alat tersebut semacam reaksi kimia, yang menggunakan stainless steel sebagai elektroda dan sebagai elektrolit adalah NaOH (soda) atau KOH atau NaCl, yang paling banyak dipakai adalah NaOH," ucapnya. Eniya memperkirakan bahwa motor yang dipasang alat tersebut tetap masih menggunakan BBM.
BRIN sebenarnya sudah mengetahui Nikuba setahun lalu dan yang dibutuhkan adalah verifikasi ilmiah. Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menjelaskan, "Nikuba sudah kami ketahui sejak tahun lalu dan kami sudah mengirim tim ke sana untuk melihat itu. Dari asesmen tim perlu ada riset lanjutan." Selain itu Nikuba didorong untuk melakukan pembuktian ilmiah. Handoko menyebut BRIN siap mendukung bila perlu penyempurnaan.
Handoko menekankan pentingnya pembuktian saintifik jika benar-benar ingin mengembangkan Nikuba. "Kalau di sains kita harus berhati-hati, kita lihat bersama-sama, lakukan pengembangan sampai terbukti secara saintifik di komunitas ilmiah," ujarnya.
Kesimpulannya BRIN yang mewakili institusi pemerintah tidak benar-benar mengabaikan Nikuba. Saya rasa mereka hanya ingin menghindari sikap naif yang langsung main percaya terhadap Nikuba. Mungkin mereka berjaga-jaga agar kejadian serupa di era SBY tidak terulang kembali.
Catatan Penutup
Berita itu memang jadi berita sains yang viral dan naik daun. Namun cara berita itu tersebar dan tersampaikan sama sekali tidak mengindahkan kaidah sikap ilmiah. Jurnalis yang menyebarkan berita tentang sains seharusnya juga memperhatikan cara menumbuhkan sikap ilmiah di kalangan pembaca, bukan malah memanfaatkan titik bias dari netizen untuk langsung meyakini begitu saja status kebenaran dari berita Nikuba.
Dalam tulisan ini saya tidak menyalahkan latar belakang jurnalis sains. Saya hanya menyayangkan cara komunikasi yang dilakukan para jurnalis sains dalam memuat informasi sains, yakni secara reduksionis dan terlalu heboh sehingga membuat publik tidak skeptis. Sekali lagi perlu ditekankan, seharusnya jurnalis sains mampu memberi tulisan yang berimbang, tetap memberi disclaimer sejauh mana informasi valid, dan mampu mengajak masyarakat lebih skeptis lagi untuk menyikapi suatu hal, terlebih yang menyangkut sains.
Saya tidak menutup kemungkinan bahwa Nikuba bisa menjadi penemuan yang canggih di masa depan. Kita tinggal menunggu saja bagaimana kelanjutan perkembangannya. Namun jika ada pernyataan kalau Nikuba merupakan bahan bakar kendaraan bermesin yang terbuat dari air, maka narasi itu menyesatkan. Memakai metode elektrolisis, dalam membuat bahan bakar yang dibutuhkan adalah hidrogennya, bukan air secara langsung. Memang hidrogen terdapat pada air, masalahnya air adalah penghantar listrik yang buruk, sedangkan elektrolisis bekerja menggunakan listrik. Perlu elektrolit seperti litium dan natrium untuk memungkinkan proses elektrolisis. Sehingga membutuhkan banyak energi kimia untuk menghasilkan elektrolisis. Jelas tidak efisien secara teoretis.
Meskipun sedikit normatif, saya punya pesan. Untuk para pengguna media sosial yang membantu percepatan reproduksi konten, kalian harus membiasakan diri untuk tidak gatal dalam menghakimi pihak tertentu akibat rasa kesal. Kekesalan kalian datang dari narasi yang belum tentu dapat diverifikasi kebenarannya. Berita Nikuba mirip seperti viralnya Blue Energy di masa SBY. Jangan sampai hanya karena dapat undangan dari acara otomotif internasional, masyarakat merasakan euforia bak menyambut messias. Apakah perlu sejarah kelam terulang kembali?
"Even when the experts all agree, they may well be mistaken."
Bertrand Russell, On the Value of Sceptiscism
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H