Oleh sebab itu, peran audiensi menjadi semakin aktif karena mengalami pergeseran sejak munculnya media baru. Para audiensi telah bertransformasi menjadi pengguna situs secara partisipatif. Mereka mampu membalas komentar secara langsung dari pengguna yang membuat konten. Selain menikmati konten, mereka juga dapat membuat konten, entah konten tulisan berupa utas seperti yang terjadi di Twitter dan Threads, foto carousels yang dominan ada di Instagram, hingga video pendek yang banyak dibuat di Tiktok dan YouTube. Semua itu adalah bentuk dari konten.
Ketika berita Nikuba hangat dan menjadi trending, tidak sedikit pengguna media sosial yang bereaksi, bahkan meramaikannya. Tidak semua dari mereka mengikuti kabar Nikuba sejak viral di tahun lalu hingga saat ini---saat di mana Nikuba kembali viral. Saya berani bertaruh kalau faktanya kebanyakan dari mereka yang dulu mengapresiasi dan menuntut pemerintah untuk peduli dengan penemuan Nikuba tidak selalu mengawal kabarnya secara konsisten hingga Aryanto diundang ke Italia. Mereka awalnya tampil, kemudian tertidur pulas setahun, dan baru berkomentar kembali pasca viralnya undangan untuk Aryanto. Belum lagi pengguna media sosial yang awalnya tidak tahu sama sekali dengan Nikuba ataupun yang baru mengetahuinya setelah berita tentang Aryanto yang ke Italia.
Sayangnya keniscayaan digitalitas tak terhindari. Berbekal pembacaan atas informasi media mainstream, mereka tak segan-segan menghakimi pemerintah secara agresif karena menelantarkan karya brilian anak bangsa. Bukannya bersikap skeptis karena ketidaktahuan terhadap dunia otomotif, mereka malah menyebarluaskan berita tersebut sambil dibumbui oleh bias-bias pendapat liar mereka. Berita yang ditulis oleh jurnalisme profesional tentang dunia teknologi otomotif saja belum tentu akurat informasinya, apalagi para jurnalis warga yang kebanyakan amatir dan hanya mengikuti arus. Alhasil sikap skeptis dan kritis mereka menjadi krisis karena arus suara yang dominan dalam menyuarakan kekesalan.
Â
Perlunya Belajar Dari Masa Lalu
Netizen karbitan yang main menghakimi begitu saja tampaknya perlu mengetahui beberapa tipu muslihat maupun kegagalan dari teknologi baru yang pernah terjadi, khususnya di Indonesia. Saya berposisi ingin menentang upaya penyebaran teori konspirasi yang menghancurkan nalar publik, seperti yang sering diangkat dalam kisah hidup Stanley Meyer---yang konon dibunuh oleh 'elite global' pendukung bahan bakar minyak. Itulah sebabnya saya tidak memakai teori konspirasi untuk menjawab pertanyaan tentang misteri hilangnya kabar teknologi baru yang dahulu pernah menggemparkan masyarakat. Netizen perlu mengetahui satu kasus merugikan untuk memahami mengapa pemerintah tidak langsung mengakomodir dan memberi perhatian kepada Nikuba.
Lima belas tahun sudah berlalu, meninggalkan memori kelam bagi Joko Suprapto, sang penemu "Blue Energy". Ia memang dianggap menemukan teknologi baru yang mutakhir oleh orang-orang pada saat itu. Namun nasib apes menghampirinya. Ia bukan mengalami kejadian naas karena menghadapi kriminal yang berusaha melenyapkan penemuan barunya, tapi ia sendirilah yang menjadi kriminal karena menipu masyarakat dengan penemuan palsunya.
Joko Suprapto pada mulanya mengklaim dapat mengubah air menjadi bahan bakar alternatif. Teknologi yang dibuat pria asal Nganjuk itu digadang-gadang bisa mengakhiri ketergantungan Indonesia terhadap minyak bumi. Maka Presiden Indonesia kala itu, Susilo Bambang Yudoyono, sampai takjub dan ingin serius memperhatikannya. Hal itu terbukti dengan diundangnya Joko Suprapto ke kediaman Sang Presiden di Cikeas untuk mempresentasikan karyanya. Kemudian SBY menamai teknologi buatan Joko sebagai "Blue Energy".
Dilansir dari website LIPI (29/05/2008), sebelum mempresentasikan karyanya di depan SBY, Joko Suprapto ditemani staf khusus presiden yaitu Heru Lelono untuk menghadiri dan membawa lima kendaraan berbahan bakar alternatif air ke konferensi internasional di Bali yang bertajuk perubahan iklim. Namun dalam artikel itu tidak ada kejelasan nama acara dan apa saja yang dilakukan oleh Joko Suprapto di sana. Persis seperti yang belakangan ini terjadi pada media-media dalam memberitakan Nikuba saat diundang ke Italia.
Di balik apresiasi setinggi langit yang dialamatkan kepada Joko Suprapto, muncul orang skeptis yang bersuara. Ialah Tumiran, Ketua Jurusan Teknik Elektro Universitas Gadjah Mada kala itu. Menurutnya jika presiden sampai percaya dengan Joko maka dapat menyesatkan rakyat Indonesia. Berbekal latar belakangnya sebagai ketua Jurusan Teknik Elektro UGM, mungkin saja ia mengetahui lebih dulu kejanggalan dari "Blue Energy". Joko Suprapto dikonfirmasi UGM sebagai orang yang pernah menawarkan hasil temuan "Pembangkit Listrik" di tahun 2005. Pembangkit listrik yang dibuat Joko disebut-sebut memakai energi misterius, dan ia gagal dalam mempresentasikan penemuannya kepada pihak UGM. Oleh karena itu ia meminta dana sebesar 3 milyar rupiah kepada UGM untuk membiayai risetnya. Hal itu jelas ditolak UGM.
Entah tuntutan rakyat atau karena terobsesi membuat teknologi baru karya anak negeri, SBY memutuskan untuk terus mendukung Blue Energy. SBY sampai menggelontorkan milyaran rupiah dari APBN beserta pembuatan infrastruktur untuk menunjang pengembangan Blue Energy. Presiden bahkan sampai membuat tim khusus yang dipimpin Heru Lelono untuk menindaklanjuti karya Joko.