Penolakan-penolakan tersebut membawa argumen bahwa privatisasi BUMN yang telah dilakukan belum terbukti memberi manfaat kepada masyarakat, privatisasi dianggap sebagai keputusan yang tidak nasionalis karena memberikan pihak asing kewenangan untuk mengatur perekonomian negara dan privatisasi dianggap merugikan negara.
Indosat merupakan salah satu BUMN yang mengalami privatisasi dalam pengelolaan perekonomiannya. Namun, hal yang membedakan pada privatisasi BUMN yang satu ini adalah, penjualan kepemilikan saham negara dilakukan dalam jumlah besar yang menyisakan Indonesia hanya memegang 9,6 % kepemilikan saham (Idris, 2021). Terjadinya privatisasi dikarenakan pada masa pemerintahan Megawati, negara diwariskan oleh hutang yang menumpuk sehingga pemerintah membuat keputusan untuk membuka kepemilikan saham kepada publik, keterbukaan terhadap kepemilikan saham tersebut bertujuan untuk menutup defisit APBN serta meringankan beban hutang negara.Â
Dengan privatisasi Indosat, negara pada waktu itu mendapatkan pemasukan anggaran sebesar Rp 4,6 triliun dari BUMN Singapura, Temasek Holding Company. Walaupun dengan menjual kepemilikan saham Indonesia mampu meraih nominal mencapai triliunan rupiah, pemerintah kehilangan perannya dikarenakan pemegang saham mayoritas berada di pihak swasta sehingga peran pemerintah tidak lagi terlalu mempengaruhi kebijakan terkait perihal pengelolaan Indosat. Tak hanya itu, privatisasi yang terjadi mendapatkan respon publik yang cukup membuat legitimasi rezim pada masa itu mengalami penurunan.Â
Sebagai pembuat keputusan privatisasi, Megawati harus menanggung konsekuensi dari lawan politiknya yang kerapkali melontarkan label 'penjual aset negara'
Beralih ke kasus selanjutnya, privatisasi juga terjadi pada maskapai penerbangan pelat merah yang dimiliki Indonesia, yaitu PT. Garuda Indonesia. Dimulai pada tahun 2011 dengan keyakinan pemerintah bahwa badan usaha milik negara ini merupakan bisnis yang menjanjikan dikarenakan kondisi geografis di Indonesia yang berupa kepulauan, maka pemerintah meyakini salah satu cara untuk mendobrak keberhasilan adalah dengan melakukan privatisasi (Widyastuti, Irianto, & Achsin, 2015).Â
Namun, asumsi dasar itu tidak terealisasikan dikarenakan krisisnya kondisi perekonomian yang dialami Garuda Indonesia. Sebelum mengalami privatisasi, kondisi keuangan Garuda Indonesia mengalami krisis yang cukup hebat hingga akhirnya Garuda Indonesia dapat bangkit lagi dan memberanikan diri untuk membuka kepemilikan saham kepada publik melalui Bursa Efek Indonesia.Â
Masih berdasarkan data yang dipaparkan Widyastuti, Irianto, & Achsin (2015) menunjukkan bahwa pada 3 (tiga) periode pengelolaan pada tahun 2008 hingga 2014 Garuda Indonesia yang meliputi pra privatisasi, privatisasi hingga pasca privatisasi nyatanya badan usaha milik negara tersebut tidak kunjung memberikan keuntungan bagi negara melainkan terkesan hanya menjadi 'gali lubang, tutup lubang' pada hutang yang dimilikinya. Tak sampai di situ saja, Garuda Indonesia pun mengalami krisis yang cukup hebat pada awal 2020 yang tercatat kerugiannya hingga USD 713,73 juta yang diakibatkan oleh penurunan pendapatan yang drastis hingga terlilit hutang dalam nominal yang fantastis (Nugraha, 2021).
Melihat kondisi perusahaan negara yang berada diambang kehancuran, maka pemerintah berupaya untuk memberikan suntikan dana untuk menyelamatkan keberadaan Garuda Indonesia. Pemerintah membutuhkan langkah lebih lanjut dari sekedar privatisasi saja dengan membuka diskusi dengan pihak swasta atas pengelolaan perusahaan tersebut, dengan catatan bahwa Indonesia harus tetap memegang 51 % kepemilikan saham atas perusahaan agar pengaruhnya bersifat mayoritas di meja perumusan kebijakan.
Dampak dan konklusi
Berbicara tentang dampak yang diberikan atas aktivitas privatisasi terhadap perekonomian suatu negara, tentunya sudah terlihat jelas bagaimana sebuah perusahaan negara terdongkrak dari segi ekonomi. Di sisi lain, privatisasi dinilai lebih dari sekedar kegiatan ekonomi saja, melainkan privatisasi merupakan kegiatan politis (Savas, 1988).Â
Maka dari itu, privatisasi harus dipenuhi dari 4 (empat) syarat, yaitu dengan (1) dorongan serta dukungan pemerintah terhadap pasar dan peningkatan kebutuhan barang-barang dan pelayanan yang telah ada, maka dengan bertahap meninggalkan perannya pada kegiatan sektoral secara sebagian hingga sepenuhnya, (2) peranan negara harus dikurangi dengan memanfaatkan keberadaan pihak swasta yang lebih besar serta memperkenalkan kegiatan privatisasi melalui pemerintah daerah untuk disosialisasikan ke masyarakat.