Kondisi ekonomi dunia pada saat ini memberikan sebuah dorongan pada negara-negara yang ada untuk ikut bersaing secara global agar tetap eksis pengaruhnya di mata dunia. Dalam situasi tersebut, maraknya terjadi kerja sama antar negara pada bidang ekonomi. Salah satu contoh kerja samanya adalah melakukan privatisasi, terutama pada perusahaan negara atau sering disebut sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Perusahaan negara merupakan salah satu tonggak 'instrumen untuk bertahan hidup' sebuah negara, maka dari itu diperlukan penyesuaian dengan kondisi pasar yang bebas serta mampu melakukan organisasi ulang sistem pengelola serta tujuan usaha perusahaan.
Demi terwujudnya efisiensi dan optimalisasi kinerja perusahaan, negara memiliki wewenang untuk bekerja sama dengan perusahaan negara lain melalui penanaman modal swasta yang telah diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2003. Undang-undang tersebut mengatur perihal privatisasi yang merupakan upaya yang dilakukan oleh sebuah negara untuk memindahkan atau mengikutsertakan kepemilikan perusahaan yang awalnya secara penuh milik pemerintah menjadi sebagian besar kepemilikan swasta.
Apabila dilihat dari kondisi perekonomian di Indonesia, pemerintah memiliki pengaruh yang cukup besar dalam pengelolaan hingga pembuatan kebijakan di dalamnya menjadikan perusahaan negara masih tetap bertahan, menunjukkan perkembangan serta memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan ekonomi pada produk domestik bruto (PDB).Â
Selain itu, perusahaan negara juga menjadi salah satu penyedia barang atau jasa untuk publik (public goods and services) di saat perusahaan swasta tidak menyediakan produk tersebut atau belum bersedia untuk merintis usaha, menjadi penyedia kebutuhan hidup orang banyak (public service obligation) serta menjadi salah satu instrumen penghasil keuntungan negara yang dimana memiliki peran penting pada pelaku usaha kecil serta koperasi.
Privatisasi menjadi salah satu jalan untuk memperbaiki perekonomian di suatu negara, namun menjadi sebuah dilema ketika dilihat dari sisi politiknya. Upaya privatisasi sebuah perusahaan milik negara merupakan langkah yang harus diambil secara hati-hati karena langkah tersebut bisa menjadi sarana memperkuat kekuasaan rezim atau menjadi cara untuk menjatuhkan legitimasi kekuasaan rezim yang berlaku. Dampak-dampak tersebut hadir dikarenakan kekuatan politik sebuah negara bergantung dengan sumber daya ekonomi negara tersebut.Â
Maka dari itu, sebagian besar perusahaan negara di Indonesia memiliki saham yang masih dipegang oleh pemerintah secara penuh. Di Indonesia sendiri sudah mulai membuka kesempatan perusahaan swasta untuk ikut andil dalam pengelolaan perusahaan negara melalui pembelian saham secara sebagian ataupun penuh melalui bursa saham. Tindakan ini diawali pada tahun 1997 ketika Indonesia berada di jurang akibat krisis ekonomi, privatisasi dijadikan cara pemerintah untuk menutupi defisit anggaran yang tumbuh pada kala itu.
Mengenal istilah privatisasi
Konsep privatisasi lahir di masa gerakan revolusi ekonomi mengarah kepada kondisi yang digambarkan sebagaimana teori Neo-Liberalisme berlangsung. Pada masa itu, perputaran ekonomi mengalami perubahan yang dimana perekonomian berdasarkan persediaan berganti menjadi berdasarkan permintaan.Â
Nugroho (2008) menjelaskan bahwa neoliberal digambarkan dengan beberapa pokok-pokok ajaran seperti, (1) memberikan keleluasaan pasar untuk bekerja, (2) mengurangi pemborosan pengeluaran negara melalui pemangkasan biaya negara pada bantuan sosial masyarakat, (3) mempermudah aktivitas ekonomi dengan melakukan deregulasi, (4) menjadikan privatisasi sebagai jalan melakukan aktivitas ekonomi dan (5) mengusung tanggung jawab atas individu.Â
Melihat dari beberapa pokok ajaran tersebut maka negara hanya memiliki tugas untuk melindungi hidup warganya dengan tentara dan polisi, sehingga dalam permasalahaan perekonomian, negara tidak boleh ikut campur dikarenakan dinilai sebagai salah satu hal yang memperburuk krisis ekonomi.
Privatisasi merupakan salah satu cara untuk mendukung dan/atau mempertahankan kondisi perekonomian negara. Apabila berbicara tentang perekonomian sebuah negara, maka hal tersebut bergantung dengan pentingnya peran perusahaan dalam partisipasi pada perkembangan ekonomi di negara tersebut. Perihal konsep privatisasi yang membahas tentang meminimalisir hingga menghilangkan intervensi pemerintah/negara dalam mengelola perusahaan yang ada, membuka kesempatan untuk pihak swasta mengambil andil bahkan mengambil alih perusahaan milik negara.
Seperti yang dikemukakan oleh Thompson & Kay (1986) bahwa privatisasi digambarkan sebagai perubahan relasi antara pemerintah/negara dengan pihak swasta. Perubahan hubungan yang menjadi hal penting dalam privatisasi adalah berlakunya denasionalisasi pada kebijakan status monopoli dan kontrak perusahaan negara menjadi perusahaan yang dikelola oleh publik sehingga terbentuknya kompetisi di antara perusahaan swasta, salah satunya adalah melalui pembentukan waralaba.Â
Peran pemerintah dalam perusahaan negara pun dijelaskan oleh Savas (1988) bahwa privatisasi merupakan tindakan untuk mengurangi pengaruh pemerintah dan/atau peningkatan peran swasta, terutama dalam aktivitas yang berkaitan dengan kepemilikan terhadap aset-aset yang ada. Selain tentang kepemilikan aset, Bastian (2002) memiliki pandangan bahwa privatisasi memiliki asumsi dasar sebagai pemberian kewenangan atas pengelolaan pelayanan publik yang awalnya dikelola oleh pemerintah yang kemudian dipegang oleh pihak swasta demi mendukung upaya peningkatan efisiensi dalam menggunakan sumber daya yang ada.Â
Sebagai aktivitas ekonomi, privatisasi dapat dianggap sebagai aktivitas alternatif terbaik dalam rangka peningkatan efisiensi ekonomi dikarenakan perekonomian berjalan sebagaimana mekanisme pasar. Dengan begitu, privatisasi merupakan upaya untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah dengan cara menyerahkan wewenang pengelolaan kepada pihak swasta beriringan dengan penjualan saham mayoritas pemerintah kepada pihak swasta. Sejalan dengan gambaran yang telah dipaparkan sebelumnya.
Mardjana (1993) menyimpulkan dengan gambaran privatisasi dapat dijadikan sebagai salah satu instrumen kebijakan publik yang dapat digunakan sebagai dorongan terjadinya persaingan bebas di ranah ekonomi yang dimana privatisasi menjadi salah satu cara untuk mengurangi dampak kegagalan pasar atau yang dikenal sebagai market failure, disebabkan oleh perusahaan mengalami inefisiensi, perolehan informasi yang tidak simetris, kehadiran biaya sosial serta campur tangan pemerintah.
Implementasi privatisasi di Indonesia
Perekonomian suatu negara mengharuskan sejalan dengan perkembangan kondisi perekonomian di dunia, terutama pada 'tren' privatisasi. Salah satunya adalah Indonesia, istilah privatisasi mulai dikenal pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada awal tahun 1980-an sebagai upaya untuk mencapai kondisi hubungan yang baik antara pemerintah dengan pihak swasta   atau yang dikenal sebagai istilah Good Corporate Governance (GCG).Â
Pelaksanaan privatisasi di Indonesia diatur pada UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, dimana privatisasi merupakan aktivitas penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam mencapai upaya untuk meningkatkan kinerja serta nilai perusahaan, memperbesar manfaat yang didapatkan oleh negara dan masyarakat serta memberikan kesempatan kepada publik melalui perluasan kepemilikan saham.Â
Pengaturan privatisasi dibuat secara ketat melalui berbagai seleksi melalui kriteria yang sudah diterapkan serta perundingan para pemangku kebijakan serta para ahli dengan tujuan tercapainya manfaat yang besar serta peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat.
Maro'ah (2008) menjabarkan bahwa privatisasi di Indonesia dimulai pada tahun 1991 dengan dijualnya 27 % saham negara yang dimiliki oleh PT. Semen Gresik yang kemudian disusul oleh dijualnya 10 % saham negara yang dimiliki oleh PT. Indosat dan terus berlanjut hingga tahun 2004 dengan berbagai penjualan kepemilikan saham BUMN lainnya. Pelaksanaan privatisasi BUMN pada masa itu dinilai kurang tepat sasaran dikarenakan pelaksanaannya terkesan tidak teratur, memakan waktu yang cukup lama serta kurangnya transparansi. Ketidakteraturan pelaksanaan privatisasi terjadi dikarenakan tidak adanya kejelasan terhadap aturan yang menjelaskan tentang tata cara serta prosedur privatisasi.Â
Tidak adanya aturan yang tetap membuat prosedur dan perlakuan privatisasi di setiap BUMN menjadi berbeda-beda. Dengan begitu, aktivitas privatisasi terkesan berjalan dengan memakan waktu yang cukup panjang, berbagai alasan muncul ketika banyaknya keputusan yang sudah diambil pemerintah yang tidak bisa dilaksanakan. Keputusan pemerintah yang terhambat terutama pada penentuan pemenang tender privatisasi dikarenakan tidak adanya aturan yang jelas, hal tersebut membuat kesan bahwa transparansi pemerintah dinilai kurang dalam aktivitas privatisasi.Â
Di sisi lain, kegagalan privatisasi dapat disebabkan oleh penolakan yang terjadi di ruang publik. Demo-demo besar terjadi ditujukan untuk menjadi penolakan atas keputusan pemerintah terhadap privatisasi BUMN, dimana demo tersebut diikuti oleh masyarakat maupun karyawan BUMN. Penolakan privatisasi BUMN juga hadir dari elemen-elemen masyarakat tertentu seperti Direksi BUMN, DPR, Pemerintah Daerah, dan elemen masyarakat lainnya.Â
Penolakan-penolakan tersebut membawa argumen bahwa privatisasi BUMN yang telah dilakukan belum terbukti memberi manfaat kepada masyarakat, privatisasi dianggap sebagai keputusan yang tidak nasionalis karena memberikan pihak asing kewenangan untuk mengatur perekonomian negara dan privatisasi dianggap merugikan negara.
Indosat merupakan salah satu BUMN yang mengalami privatisasi dalam pengelolaan perekonomiannya. Namun, hal yang membedakan pada privatisasi BUMN yang satu ini adalah, penjualan kepemilikan saham negara dilakukan dalam jumlah besar yang menyisakan Indonesia hanya memegang 9,6 % kepemilikan saham (Idris, 2021). Terjadinya privatisasi dikarenakan pada masa pemerintahan Megawati, negara diwariskan oleh hutang yang menumpuk sehingga pemerintah membuat keputusan untuk membuka kepemilikan saham kepada publik, keterbukaan terhadap kepemilikan saham tersebut bertujuan untuk menutup defisit APBN serta meringankan beban hutang negara.Â
Dengan privatisasi Indosat, negara pada waktu itu mendapatkan pemasukan anggaran sebesar Rp 4,6 triliun dari BUMN Singapura, Temasek Holding Company. Walaupun dengan menjual kepemilikan saham Indonesia mampu meraih nominal mencapai triliunan rupiah, pemerintah kehilangan perannya dikarenakan pemegang saham mayoritas berada di pihak swasta sehingga peran pemerintah tidak lagi terlalu mempengaruhi kebijakan terkait perihal pengelolaan Indosat. Tak hanya itu, privatisasi yang terjadi mendapatkan respon publik yang cukup membuat legitimasi rezim pada masa itu mengalami penurunan.Â
Sebagai pembuat keputusan privatisasi, Megawati harus menanggung konsekuensi dari lawan politiknya yang kerapkali melontarkan label 'penjual aset negara'
Beralih ke kasus selanjutnya, privatisasi juga terjadi pada maskapai penerbangan pelat merah yang dimiliki Indonesia, yaitu PT. Garuda Indonesia. Dimulai pada tahun 2011 dengan keyakinan pemerintah bahwa badan usaha milik negara ini merupakan bisnis yang menjanjikan dikarenakan kondisi geografis di Indonesia yang berupa kepulauan, maka pemerintah meyakini salah satu cara untuk mendobrak keberhasilan adalah dengan melakukan privatisasi (Widyastuti, Irianto, & Achsin, 2015).Â
Namun, asumsi dasar itu tidak terealisasikan dikarenakan krisisnya kondisi perekonomian yang dialami Garuda Indonesia. Sebelum mengalami privatisasi, kondisi keuangan Garuda Indonesia mengalami krisis yang cukup hebat hingga akhirnya Garuda Indonesia dapat bangkit lagi dan memberanikan diri untuk membuka kepemilikan saham kepada publik melalui Bursa Efek Indonesia.Â
Masih berdasarkan data yang dipaparkan Widyastuti, Irianto, & Achsin (2015) menunjukkan bahwa pada 3 (tiga) periode pengelolaan pada tahun 2008 hingga 2014 Garuda Indonesia yang meliputi pra privatisasi, privatisasi hingga pasca privatisasi nyatanya badan usaha milik negara tersebut tidak kunjung memberikan keuntungan bagi negara melainkan terkesan hanya menjadi 'gali lubang, tutup lubang' pada hutang yang dimilikinya. Tak sampai di situ saja, Garuda Indonesia pun mengalami krisis yang cukup hebat pada awal 2020 yang tercatat kerugiannya hingga USD 713,73 juta yang diakibatkan oleh penurunan pendapatan yang drastis hingga terlilit hutang dalam nominal yang fantastis (Nugraha, 2021).
Melihat kondisi perusahaan negara yang berada diambang kehancuran, maka pemerintah berupaya untuk memberikan suntikan dana untuk menyelamatkan keberadaan Garuda Indonesia. Pemerintah membutuhkan langkah lebih lanjut dari sekedar privatisasi saja dengan membuka diskusi dengan pihak swasta atas pengelolaan perusahaan tersebut, dengan catatan bahwa Indonesia harus tetap memegang 51 % kepemilikan saham atas perusahaan agar pengaruhnya bersifat mayoritas di meja perumusan kebijakan.
Dampak dan konklusi
Berbicara tentang dampak yang diberikan atas aktivitas privatisasi terhadap perekonomian suatu negara, tentunya sudah terlihat jelas bagaimana sebuah perusahaan negara terdongkrak dari segi ekonomi. Di sisi lain, privatisasi dinilai lebih dari sekedar kegiatan ekonomi saja, melainkan privatisasi merupakan kegiatan politis (Savas, 1988).Â
Maka dari itu, privatisasi harus dipenuhi dari 4 (empat) syarat, yaitu dengan (1) dorongan serta dukungan pemerintah terhadap pasar dan peningkatan kebutuhan barang-barang dan pelayanan yang telah ada, maka dengan bertahap meninggalkan perannya pada kegiatan sektoral secara sebagian hingga sepenuhnya, (2) peranan negara harus dikurangi dengan memanfaatkan keberadaan pihak swasta yang lebih besar serta memperkenalkan kegiatan privatisasi melalui pemerintah daerah untuk disosialisasikan ke masyarakat.
(3) transparansi pembelanjaan pemerintah untuk biaya publik, wajib terlaksana agar didapatkan alternatif penggantinya dan (4) penghilangan monopoli oleh pemerintah segera dilakukan melalui deregulasi agar sistem kompetisi terlaksana.
Berdasarkan gagasan-gagasan privatisasi yang sudah dipaparkan, kegiatan privatisasi yang dilakukan di BUMN masih belum memenuhi kriteria yang ideal sebagaimana proses privatisasi layak dilakukan. Walaupun keterbukaan kepemilikan saham perusahaan terhadap publik sudah terealisasikan, namun pemerintah kerap kali menjadikan privatisasi sebagai instrumen 'penyelamat' perusahaan negara. Tak hanya itu, di setiap pergantian kepemimpinan di Indonesia selalu menjadikan pelunasan hutang negara sebagai prioritas agenda pemerintahan.Â
Berbanding terbalik dengan asumsi dasar manfaat privatisasi pada sebuah perusahaan negara, privatisasi di Indonesia hanya dijadikan 'jalan pintas' saja oleh para pemangku jabatan dikarenakan negara terkesan bergantung dengan pihak swasta pada pengelolaan perusahaannya dan ketika pihak swasta sudah lagi tidak campur tangan pada pengelolaan, maka negara kembali kewalahan dalam mengatur roda perekonomian perusahaan.
Privatisasi pada akhirnya memiliki dampak yang cukup besar tidak hanya dari segi ekonomi, melainkan juga dari segi politis. Dengan melakukan privatisasi, negara dapat mempertahankan legitimasi kekuasaannya dengan meraih atensi publik dengan keberhasilannya atas mempertahankan hingga mengembangkan badan usaha milik negara. Keadaan sebaliknya pun tidak dapat dipungkiri terjadi, apabila usaha negara untuk menyelamatkan perekonomian negara gagal maka pandangan masyarakat terhadap rezim yang memimpin akan ikut gagal dikarenakan privatisasi merupakan kegiatan yang sensitif berkaitan dengan pengelolaan sumber daya negara yang diintervensi oleh pihak swasta.Â
Maka dari itu, privatisasi memang salah satu cara untuk memperbaiki roda ekonomi suatu negara, akan tetapi determinasi terhadap swasta harus menjadi hal yang dihindari dikarenakan legitimasi kekuasaan akan dipertanyakan jika negara bergantung dengan pihak swasta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H