Mohon tunggu...
MATTHEW ELIANSYAH
MATTHEW ELIANSYAH Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Dian Nusantara

Mahasiswa S1 Prodi Akuntansi - Universitas Dian Nusantara - NIM 121221126 - Mata kuliah Akuntansi Perpajakan - dosen pengampu Prof. Apollo Daito, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Rekonsiliasi

20 Juli 2024   13:19 Diperbarui: 20 Juli 2024   13:30 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pajak Penghasilan Badan adalah pajak yang dikenakan pada penghasilan yang diperoleh badan atau perusahaan dalam satu tahun pajak, sesuai dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 yang telah diubah dengan UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Penghasilan yang dimaksud adalah setiap penambahan kemampuan ekonomis yang diterima oleh Wajib Pajak Badan, baik dari dalam maupun luar negeri, dengan tujuan apapun seperti menambah kekayaan, konsumsi, atau investasi.

Pajak penghasilan badan dikenakan pada subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh badan/perusahaan dan bentuk usaha tetap (BUT) dalam satu tahun pajak. BUT diperlakukan sama dengan subjek pajak badan.

Beberapa peraturan yang terkait dengan pajak badan antara lain:

1. UU No. 36 Tahun 2008 tentang perubahan keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

2. PP No. 23 Tahun 2018 yang telah dicabut oleh PP No. 55/2022 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha bagi wajib pajak dengan peredaran bruto tertentu.

3. UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

4. UU No. 2/2020 tentang penetapan Perpu No. 1/2020 menjadi undang-undang mengenai kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi COVID-19 dan ancaman ekonomi nasional.

5. UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

6. Peraturan Menteri Keuangan No. 40 Tahun 2023 tentang bentuk dan tata cara penyampaian laporan serta daftar WP untuk memenuhi syarat penurunan tarif PPh bagi WP dalam negeri berbentuk perseroan terbuka.

Ada juga beberapa peraturan turunan dalam bentuk PMK, Perdirjen, dan regulasi pelaksana lainnya.

Pajak Penghasilan Badan ini terbagi menjadi dua jenis berdasarkan sifatnya, yakni:

PPh Badan Final

Pajak Penghasilan atau PPh Final adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak Badan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto tertentu. Beleid ini telah dicabut dan digantikan dengan PP No. 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan.

Ciri-ciri penghasilan yang dikenakan PPh Final antara lain:

- PPh Final (dibayar sendiri atau dipotong pihak lain) tidak dapat dikreditkan.

- Biaya yang digunakan untuk menghasilkan, menagih, dan memelihara (3M) penghasilan yang dikenakan PPh Final tidak dapat dikurangkan dalam memperhitungkan PPh terutang pada akhir tahun (dalam SPT Tahunan PPh).

- Penghasilan yang dikenakan PPh Final tidak digabungkan dalam penghitungan pajak akhir tahun, namun cukup dilaporkan saja.

Merujuk Pasal 4 ayat (2) UU PPh, jenis penghasilan yang dikenakan pajak bersifat final di antaranya:

- Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, bunga atau diskonto surat berharga jangka pendek yang diperdagangkan di pasar uang, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi.

- Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura.

- Penghasilan berupa hadiah undian.

- Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan.

- Penghasilan tertentu lainnya, termasuk penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.

Prof. Dr. Apollo Daito, M. Si. Ak
Prof. Dr. Apollo Daito, M. Si. Ak

PPh Badan Tidak Final

Pajak Penghasilan atau PPh Tidak Final adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak Badan berdasarkan Pasal 17 dan Pasal 31E UU PPh. Objek PPh Badan adalah semua penghasilan yang diterima atau diperoleh badan. Untuk subjek pajak badan dalam negeri, objek pajaknya mencakup seluruh penghasilan dari dalam maupun luar negeri.

Menurut Pasal 4 Ayat (1) UU HPP No. 7 Tahun 2021, penghasilan yang menjadi objek pajak badan meliputi:

- Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa, seperti gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya termasuk natura dan/atau kenikmatan, kecuali ditentukan lain dalam UU ini;

- Hadiah dari undian, pekerjaan, kegiatan, dan penghargaan;

- Laba usaha;

- Keuntungan dari penjualan atau pengalihan harta, termasuk:

  - Keuntungan dari pengalihan harta sebagai pengganti saham

  - Keuntungan dari pengalihan harta kepada pemegang saham

  - Keuntungan dari likuidasi, penggabungan, dan sejenisnya

  - Keuntungan dari pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan

  - Keuntungan dari penjualan atau pengalihan hak

- Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;

- Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;

- Dividen dalam bentuk apapun, termasuk dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis;

- Royalti atau imbalan atas penggunaan hak;

- Sewa dan penghasilan lain dari penggunaan harta;

- Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;

- Keuntungan dari pembebasan utang, kecuali sampai jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;

- Keuntungan selisih kurs mata uang asing;

- Selisih lebih dari penilaian kembali aktiva;

- Premi asuransi;

- Iuran yang diterima/diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari WP yang menjalankan usaha/pekerjaan bebas;

- Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;

- Penghasilan dari usaha berbasis syariah;

- Imbalan bunga sesuai UU KUP;

- Surplus Bank Indonesia.

Prof. Dr. Apollo Daito, M. Si. Ak
Prof. Dr. Apollo Daito, M. Si. Ak

Fasilitas PPh Badan 0,5%

Wajib Pajak Badan juga dapat memanfaatkan tarif pajak penghasilan badan sebesar 0,5% dari peredaran bruto untuk jangka waktu tertentu. Ketentuan ini diatur dalam PP No. 23 Tahun 2018, yang kemudian diperbarui dengan PP No. 55 Tahun 2022.

Tarif pajak ini merupakan bentuk keringanan pajak bagi WP Badan dengan peredaran bruto tertentu, bertujuan untuk meringankan beban pajak dan mendukung pertumbuhan usaha kecil dan menengah (UKM). Dengan adanya tarif ini, WP Badan dapat membayar pajak berdasarkan peredaran bruto yang mereka peroleh, tanpa perlu menghitung laba bersih yang dikenakan tarif pajak normal.

Beberapa syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh WP Badan untuk memanfaatkan tarif ini adalah:

- WP Badan harus memenuhi kriteria peredaran bruto tertentu sesuai dengan peraturan yang berlaku.

- Fasilitas ini hanya berlaku untuk jangka waktu tertentu, setelah itu WP Badan harus kembali menggunakan tarif pajak normal.

- WP Badan harus melaporkan peredaran bruto mereka kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.

Dengan fasilitas tarif pajak penghasilan 0,5%, WP Badan diharapkan dapat lebih fokus pada pengembangan usaha mereka tanpa terbebani oleh pajak yang tinggi, sehingga dapat meningkatkan kontribusi mereka terhadap perekonomian nasional.

Contoh Hitung Pajak Penghasilan Badan

Pada tahun 2023, dalam laporan keuangan PT Maju Jaya memperoleh penghasilan kena pajak sebesar Rp 1.000.000.000 dan dapat memanfaatkan fasilitas pengurang pajak sesuai Pasal 31E.

Maka, pajak yang harus dibayar sebesar: 50% x 22% x Rp 1.000.000.000 = Rp 110.000.000.

Namun, perlu dibuat catatan bahwa selama periode tahun 2023, PT Maju Jaya telah menyetor pajak penghasilan karyawan ke kas negara sebesar Rp 20.000.000 dan pajak PPh Pasal 23 sebesar Rp 60.000.000.

Maka, pajak penghasilan terutang PT Maju Jaya adalah: Rp 110.000.000 - Rp 20.000.000 - Rp 60.000.000 = Rp 30.000.000.

Rp 30.000.000 adalah angka yang bisa dicicil oleh PT Maju Jaya ke kas negara atas penghasilan Badan Usaha di tahun 2024.

Maka, cicilan pembayaran PPh terutang PT Maju Jaya sebesar:

= Jumlah PPh Terutang : 12 bulan

= Rp 30.000.000 : 12

= Rp 2.500.000

Prof. Dr. Apollo Daito, M. Si. Ak
Prof. Dr. Apollo Daito, M. Si. Ak

REKONSILIASI FISKAL

Laporan keuangan perusahaan biasanya perlu disesuaikan dengan peraturan fiskal saat laporan tersebut dijadikan dasar untuk membuat SPT PPh yang disampaikan ke kantor pajak. Hal ini terjadi karena laporan keuangan perusahaan mengacu pada Standar Akuntansi Keuangan (SAK), yang tidak selalu sejalan dengan ketentuan perpajakan.

Secara umum, rekonsiliasi fiskal dilakukan oleh wajib pajak (WP) karena terdapat perbedaan perhitungan antara laba menurut akuntansi komersial dan laba menurut perpajakan. Laporan keuangan komersial digunakan untuk menilai kinerja ekonomi dan kondisi finansial perusahaan, sedangkan laporan keuangan fiskal lebih difokuskan pada penghitungan pajak.

Perbedaan antara laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal, berdasarkan pembebanannya, dibedakan menjadi dua jenis: Beda Tetap (Permanent Differences) dan Beda Waktu (Timing Differences).

- Beda Tetap adalah perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dan ketentuan Undang-Undang PPh yang bersifat permanen, artinya koreksi fiskal yang dilakukan tidak akan diperhitungkan dalam laba kena pajak. Contohnya termasuk sumbangan, entertain (tanpa daftar nominatif), pengeluaran yang tidak terkait dengan kegiatan perusahaan, dan penghasilan bunga deposito.

- Beda Waktu adalah perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dan ketentuan Undang-Undang PPh yang bersifat sementara, artinya koreksi fiskal yang dilakukan akan diperhitungkan dalam laba kena pajak. Contohnya termasuk biaya penyusutan, biaya sewa, dan pendapatan dari selisih kurs.

Dengan demikian, rekonsiliasi fiskal adalah proses mencocokkan perbedaan antara laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal yang disusun berdasarkan ketentuan perpajakan.

Proses rekonsiliasi fiskal ini biasanya dilakukan oleh WP yang berbentuk perusahaan. Rekonsiliasi dilakukan terhadap pos-pos biaya dan pos-pos penghasilan dalam laporan keuangan komersial, termasuk:

- Rekonsiliasi terhadap penghasilan yang dikenakan PPh Final.

- Rekonsiliasi terhadap penghasilan yang bukan merupakan objek pajak.

- Mengeluarkan biaya-biaya yang tidak boleh menjadi pengurang penghasilan bruto.

- Menggunakan metode pencatatan yang berbeda dengan ketentuan pajak.

- Mengeluarkan biaya-biaya untuk mendapatkan pendapatan yang telah dikenakan PPh Final dan pendapatan yang dikenakan PPh non-Final.

Koreksi fiskal adalah koreksi perhitungan pajak yang disebabkan oleh perbedaan pengakuan metode, manfaat, dan umur dalam menghitung laba secara komersial dan fiskal. Koreksi fiskal dibedakan menjadi dua: koreksi fiskal positif dan koreksi fiskal negatif. Koreksi fiskal positif akan menyebabkan laba kena pajak bertambah, sedangkan koreksi negatif akan menyebabkan laba kena pajak berkurang.

Untuk keperluan perpajakan, wajib pajak tidak perlu membuat pembukuan ganda, tetapi cukup membuat satu pembukuan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Saat mengisi SPT Tahunan PPh, wajib terlebih dahulu melakukan koreksi-koreksi fiskal yang diperlukan.

Prof. Dr. Apollo Daito, M. Si. Ak
Prof. Dr. Apollo Daito, M. Si. Ak

Teknik rekonsiliasi fiskal dilakukan dengan beberapa cara untuk mencocokkan perbedaan antara pengakuan akuntansi dan fiskal. Jika suatu penghasilan diakui menurut akuntansi tetapi tidak diakui menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan mengurangkan penghasilan tersebut dari penghasilan menurut akuntansi, yang berarti mengurangi laba menurut akuntansi. Sebaliknya, jika suatu penghasilan tidak diakui menurut akuntansi tetapi diakui menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan menambahkan penghasilan tersebut pada penghasilan menurut akuntansi, yang berarti menambah laba menurut akuntansi. Dalam hal biaya atau pengeluaran, jika biaya diakui menurut akuntansi tetapi tidak diakui sebagai pengurang penghasilan bruto menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan mengurangkan biaya tersebut dari biaya menurut akuntansi, yang berarti menambah laba menurut akuntansi. Sebaliknya, jika suatu biaya atau pengeluaran tidak diakui menurut akuntansi tetapi diakui sebagai pengurang penghasilan bruto menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan menambahkan biaya tersebut pada biaya menurut akuntansi, yang berarti mengurangi laba menurut akuntansi.

Laporan keuangan fiskal adalah laporan keuangan yang disusun berdasarkan peraturan perpajakan dan digunakan untuk menghitung pajak, seperti Pajak Penghasilan (PPh) dan pajak lainnya. Meskipun undang-undang tidak secara khusus mengatur pembuatan laporan keuangan, undang-undang tersebut memberikan batasan tertentu dalam pengakuan biaya dan penghasilan. Perbedaan dalam pengakuan ini dapat menyebabkan adanya perbedaan antara laba akuntansi dan laba fiskal.

Tujuan dari pembuatan laporan keuangan fiskal adalah untuk menyajikan informasi yang diperlukan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak. Hal ini terutama penting dalam sistem self-assessment, di mana wajib pajak memiliki wewenang untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya. Dengan demikian, laporan keuangan fiskal berfungsi sebagai bentuk tanggung jawab wajib pajak dalam menghitung pajak terutang secara akurat.

Sifat dan Keterbatasan Laporan Keuangan Fiskal:

Laporan keuangan fiskal memiliki beberapa karakteristik dan keterbatasan yang penting untuk dipahami. Pertama, laporan ini bersifat historis, artinya data yang disajikan berdasarkan transaksi yang telah terjadi di masa lalu. Proses penyusunannya tidak lepas dari penggunaan estimasi dan berbagai pertimbangan, yang berarti sering kali ada elemen subjektivitas dalam laporan tersebut.

Selanjutnya, laporan keuangan fiskal lebih mengutamakan bagian yang material, tanpa mengabaikan kelengkapan materi. Ini berarti bahwa elemen-elemen yang dianggap signifikan atau berdampak besar pada laporan akan diberikan perhatian lebih, meskipun detail-detail kecil juga tetap harus lengkap.

Laporan keuangan fiskal juga lebih menekankan pada makna ekonomis dari setiap transaksi, baik dalam kondisi normal maupun dalam situasi tertentu. Ini berarti bahwa fokus utama adalah pada dampak ekonomi yang dihasilkan oleh transaksi tersebut.

Selain itu, laporan keuangan fiskal memiliki alternatif-alternatif pengukuran yang dapat mempengaruhi variasi dalam penilaian sumber ekonomis dan tingkat kesuksesan antar wajib pajak. Hal ini menunjukkan bahwa metode yang berbeda dapat digunakan untuk mencapai hasil yang berbeda pula.

Terakhir, informasi yang diberikan dalam laporan keuangan fiskal bersifat kualitatif. Meskipun fakta-fakta yang disajikan penting, tidak semuanya dapat dikuantifikasikan dengan tepat. Ini berarti bahwa beberapa informasi mungkin disampaikan dalam bentuk deskriptif daripada numerik, yang dapat membatasi seberapa rinci dan akurat laporan tersebut dalam hal kuantifikasi.

Setiap perusahaan memiliki kewajiban untuk menyusun laporan keuangan, baik secara komersial yang mengacu pada Standar Akuntansi Keuangan (SAK), maupun secara fiskal yang mengikuti sistem perpajakan di Indonesia. Meskipun keduanya memiliki konsep dasar yang sama, seperti basis akrual (pengakuan dan pelaporan transaksi yang terjadi dalam periode tersebut) dan going concern (asumsi bahwa aktivitas perusahaan akan terus berlangsung), terdapat perbedaan signifikan antara keduanya.

Laporan keuangan komersial disusun berdasarkan SAK, yang dirancang untuk memberikan informasi yang netral dan tidak memihak. Prinsip-prinsip akuntansi yang digunakan dalam laporan ini bertujuan untuk menilai kinerja ekonomi dan kondisi finansial perusahaan secara umum. Laporan komersial lebih fokus pada memberikan gambaran yang akurat tentang posisi keuangan, kinerja, dan arus kas perusahaan kepada para pemangku kepentingan, seperti investor, kreditur, dan manajemen perusahaan.

Di sisi lain, laporan keuangan fiskal disusun dengan tujuan utama untuk memenuhi kewajiban perpajakan perusahaan. Laporan ini mengikuti peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia dan digunakan untuk menghitung pajak terutang. Dalam proses penyusunan laporan keuangan fiskal, perusahaan harus melakukan koreksi fiskal terhadap laporan keuangan komersial. Koreksi fiskal ini dilakukan untuk menyesuaikan laporan komersial dengan ketentuan perpajakan, sehingga dapat mencerminkan penghasilan kena pajak yang benar.

Untuk menyusun laporan keuangan fiskal, perusahaan perlu melalui beberapa langkah penting, termasuk menyusun neraca fiskal, perhitungan laba rugi, memberikan penjelasan mengenai laporan keuangan fiskal, melakukan rekonsiliasi dengan laporan keuangan komersial, dan memastikan pemenuhan kewajiban perpajakan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Proses ini melibatkan penyesuaian atas perbedaan pengakuan pendapatan dan biaya antara akuntansi komersial dan perpajakan, yang dapat berupa perbedaan permanen atau sementara.

Perbedaan permanen, seperti pengeluaran yang tidak diakui secara fiskal (contohnya sumbangan yang tidak memenuhi syarat tertentu), menyebabkan laba kena pajak berbeda secara tetap dari laba komersial. Sedangkan perbedaan sementara, seperti penyusutan aset yang diakui berbeda antara akuntansi komersial dan fiskal, hanya menyebabkan perbedaan dalam periode tertentu dan akan diakui kembali di periode mendatang.

Dengan demikian, meskipun laporan keuangan komersial dan fiskal memiliki dasar yang sama, tujuan dan proses penyusunannya berbeda. Laporan keuangan komersial lebih berfokus pada penyajian informasi yang objektif dan netral sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku, sedangkan laporan keuangan fiskal lebih diarahkan untuk memenuhi kewajiban perpajakan perusahaan sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia.

Dalam konteks akuntansi dan perpajakan, pengertian penghasilan dan pendapatan memiliki perbedaan yang signifikan. Dalam akuntansi komersial, pendapatan (revenue) dan penghasilan adalah dua komponen yang berbeda. Namun, dalam konteks perpajakan, penghasilan dianggap sama dengan pendapatan.

Menurut IFRS dalam IAS 18, pendapatan (revenue) didefinisikan sebagai arus masuk bruto dari manfaat ekonomi selama periode tertentu, yang berasal dari aktivitas entitas perusahaan dan meningkatkan ekuitas pemilik modal melalui kontribusinya.

Sementara itu, dalam UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 4 tentang Pajak Penghasilan, pengertian penghasilan dalam laporan keuangan fiskal tidak jauh berbeda dengan konsep akuntansi. Penghasilan didefinisikan sebagai penambahan kemampuan ekonomi yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, yang dapat digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak. Konsep ini kemudian dikategorikan menjadi tiga jenis:

  • Penghasilan yang merupakan objek pajak penghasilan.
  • Penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan (final).
  • Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak penghasilan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam konteks perpajakan, penghasilan yang bukan objek pajak adalah penghasilan yang tidak menyebabkan kenaikan pada laba fiskal.

Dalam laporan keuangan komersial, beban diartikan sebagai penurunan manfaat ekonomi dalam periode tertentu, yang dapat berupa arus keluar, penurunan aset, atau peningkatan kewajiban. Hal ini menyebabkan penurunan ekuitas yang tidak terkait dengan distribusi kepada pemegang saham (IAI, 2007:13). Dalam konteks ini, beban tidak dapat disamakan dengan biaya.

Sementara itu, dalam laporan keuangan fiskal atau perpajakan, beban diartikan sebagai biaya, yang terkait dengan operasional perusahaan. Biaya ini dibagi menjadi dua kategori: deductible expense atau biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, dan non-deductible expense atau biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

Metode yang digunakan dalam laporan keuangan komersial berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) 12;2007 mencakup tiga rumus biaya: FIFO (First In First Out), di mana biaya yang masuk pertama keluar pertama; metode rata-rata tertimbang (Weighted Average Cost Method); dan LIFO (Last In First Out), di mana biaya yang masuk terakhir keluar pertama.

Sementara itu, untuk laporan keuangan fiskal berdasarkan UU Pajak Penghasilan Indonesia, perhitungan metode hanya menggunakan dua metode: FIFO (First In First Out) dan metode rata-rata tertimbang (Weighted Average Cost Method). Metode LIFO tidak diperbolehkan karena dapat mengurangi nilai pajak terutang.

Dalam laporan keuangan komersial, terdapat beberapa metode penyusutan yang dapat digunakan:

1. Metode Garis Lurus (Straight Line Method): Metode ini memberikan beban penyusutan yang tetap sepanjang umur manfaat aset, tanpa mengubah nilai residu.

2. Metode Garis Menurun (Diminishing Balance Method): Metode ini menghasilkan beban penyusutan yang menurun seiring dengan berjalannya waktu selama umur manfaat aset.

3. Metode Jumlah Unit (Sum of The Units Method): Metode ini menghitung beban penyusutan berdasarkan penggunaan atau output dari aset selama umur manfaatnya.

Sementara itu, dalam laporan keuangan fiskal yang mengacu pada ketentuan perpajakan di bawah UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, hanya dua metode penyusutan yang diperbolehkan: Metode Garis Lurus dan Metode Garis Menurun, dan keduanya harus diterapkan secara konsisten. Ketentuan ini juga diatur dalam PMK No. 96/PMK.03/2009 dan UU HPP terkait tarif penyusutan untuk Kelompok 2 sesuai Pasal 11 ayat (6).

Prof. Dr. Apollo Daito, M. Si. Ak
Prof. Dr. Apollo Daito, M. Si. Ak

Prof. Dr. Apollo Daito, M. Si. Ak
Prof. Dr. Apollo Daito, M. Si. Ak

Prof. Dr. Apollo Daito, M. Si. Ak
Prof. Dr. Apollo Daito, M. Si. Ak

Prof. Dr. Apollo Daito, M. Si. Ak
Prof. Dr. Apollo Daito, M. Si. Ak
Contoh koreksi fiskal atas penyusutan asset

Perusahaan A memiliki sebuah aset berupa peralatan pabrik dengan nilai perolehan Rp120.000.000. Masa manfaat aset diperkirakan selama 4 tahun tanpa nilai sisa. Perusahaan mengakui metode penyusutan saldo menurun ganda. Pada saat pelaporan pajak, peraturan pajak mengharuskan perhitungan penyusutan berdasarkan metode garis lurus.


1. Menghitung penyusutan secara komersial dan secara fiskal

  • Metode Saldo Menurun Ganda (Komersial)

Tarif penyusutan garis lurus = 1 / masa manfaat

Tarif penyusutan garis lurus = 1 / 4 = 25%

Tarif penyusutan saldo menurun ganda = 2 * 25% = 50%

Tahun 1:

Nilai Buku Awal = Rp120.000.000

Penyusutan Tahun 1 = 50% * Rp120.000.000 = Rp60.000.000

Nilai Buku Akhir Tahun 1 = Rp120.000.000 - Rp60.000.000 = Rp60.000.000

Tahun 2:

Nilai Buku Awal = Rp60.000.000

Penyusutan Tahun 2 = 50% * Rp60.000.000 = Rp30.000.000

Nilai Buku Akhir Tahun 2 = Rp60.000.000 - Rp30.000.000 = Rp30.000.000

Tahun 3:

Nilai Buku Awal = Rp30.000.000

Penyusutan Tahun 3 = 50% * Rp30.000.000 = Rp15.000.000

Nilai Buku Akhir Tahun 3 = Rp30.000.000 - Rp15.000.000 = Rp15.000.000

Tahun 4:

Nilai Buku Awal = Rp15.000.000

Penyusutan Tahun 4 = 50% * Rp15.000.000 = Rp7.500.000

Nilai Buku Akhir Tahun 4 = Rp15.000.000 - Rp7.500.000 = Rp7.500.000

  • Metode Garis Lurus (fiskal)

Penyusutan Tahunan = Nilai Perolehan / Masa Manfaat

Penyusutan Tahunan = Rp120.000.000 / 4 = Rp30.000.000

2. Koreksi Fiskal

Berikut adalah tabel yang menunjukkan perhitungan penyusutan dengan kedua metode dan koreksi fiskal:

Contoh koreksi fiskal
Contoh koreksi fiskal

Koreksi Fiskal

- Tahun 1: Koreksi fiskal sebesar Rp30.000.000 (penyusutan saldo menurun ganda lebih besar)

- Tahun 2: Tidak ada koreksi fiskal (penyusutan sama)

- Tahun 3: Koreksi fiskal sebesar -Rp15.000.000 (penyusutan garis lurus lebih besar)

- Tahun 4: Koreksi fiskal sebesar -Rp22.500.000 (penyusutan garis lurus lebih besar)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun