Mohon tunggu...
MATTHEW ELIANSYAH
MATTHEW ELIANSYAH Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Dian Nusantara

Mahasiswa S1 Prodi Akuntansi - Universitas Dian Nusantara - NIM 121221126 - Mata kuliah Akuntansi Perpajakan - dosen pengampu Prof. Apollo Daito, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Aplikasi SPT pada Kompensasi Kerugian dan Fasilitas Perpajakan

24 Juni 2024   11:36 Diperbarui: 24 Juni 2024   11:45 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SPT atau Surat Pemberitahuan Tahunan adalah suatu instrumen perpajakan yang wajib dilakukan oleh seluruh wajib pajak, baik itu orang pribadi maupun wajib pajak badan. SPT menyajikan informasi mengenai keuangan wajib pajak dan memastikan agar kegiatan yang dilakukan wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakan. 

Salah satu hal yang paling utama di dalam pelaporan SPT adalah pelaporan jumlah penghasilan neto fiskal yang menjadi dasar dalam pengenaan PPh terutang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 

Penghasilan neto fiskal berasal dari penghasilan komersial wajib pajak berdasarkan ketentuan pembukuan/akuntansi yang kemudian disesuaikan Kembali sesuai dengan pengakuan perpajakan. Sehingga disebut dengan penghasilan neto fiskal. Namun, bagaimana penerapan jika suatu wajib pajak khususnya wajib pajak badan ternyata mengalami kerugian neto fiskal?


Kompensasi kerugian

Ketentuan mengenai kompensasi kerugian di dalam perpajakan Indonesia diatur dalam UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 6 ayat 2 tentang Pajak Penghasilan (PPh) yaitu Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 tahun.

Berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2018, kerugian yang dialami di luar negeri tidak dapat digabungkan dengan pendapatan yang diperoleh di Indonesia untuk tujuan perhitungan pajak. Kerugian fiskal yang dihasilkan dari kegiatan bisnis di luar negeri, baik yang dioperasikan dalam bentuk Bentuk Usaha Tetap (BUT) maupun yang bukan BUT, tidak diakui dalam perhitungan kompensasi kerugian fiskal di Indonesia. Dengan kata lain, kerugian tersebut tidak dapat digunakan untuk mengurangi penghasilan kena pajak di dalam negeri.

Namun, terdapat pengecualian dalam peraturan ini. Jika kerugian yang terjadi di luar negeri berasal dari aktivitas atau aset yang secara langsung terkait dengan cabang atau perwakilan di luar negeri, maka wajib pajak dapat memperhitungkan kerugian tersebut terhadap penghasilan neto dari cabang atau perwakilan luar negeri yang bersangkutan. 

Artinya, jika kerugian tersebut memiliki hubungan yang kuat dan relevan dengan operasi cabang atau perwakilan di luar negeri, kerugian tersebut dapat diakui dan dikompensasi terhadap pendapatan yang dihasilkan oleh cabang atau perwakilan tersebut di luar negeri.

Jenis-jenis Kompensasi Kerugian Fiskal :


1. Kompensasi Horizontal

Kompensasi horizontal adalah jenis kompensasi di mana kerugian dari satu unit usaha (divisi) dikompensasikan dengan keuntungan dari unit usaha (divisi) lainnya dalam tahun pajak yang sama. Namun, terdapat beberapa pengecualian: kerugian yang berasal dari unit usaha di luar negeri, yang dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Final, serta penghasilan yang bukan objek PPh, tidak termasuk dalam kompensasi horizontal. Jika setelah proses kompensasi horizontal masih ada sisa kerugian, sisa kerugian tersebut dapat dikompensasikan secara vertikal.


2. Kompensasi Vertikal

Kompensasi vertikal adalah proses mengkompensasikan kerugian fiskal dari satu tahun pajak ke tahun pajak berikutnya, dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi:

  • Kerugian fiskal harus berdasarkan ketetapan pajak yang telah diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau berdasarkan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak (self-assessment) jika belum ada ketetapan pajak yang diterbitkan. Ini berarti bahwa kerugian fiskal dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan dan langsung dilaporkan oleh wajib pajak.
  • Kompensasi kerugian fiskal dapat dilakukan jika pada tahun pajak sebelumnya terdapat kerugian fiskal, yang ditunjukkan dengan SPT Tahunan yang dilaporkan Nihil atau Lebih Bayar tetapi menyatakan ada kerugian fiskal.
  • Kerugian fiskal terjadi karena penghasilan bruto yang dikurangi dengan biaya yang diperbolehkan menurut ketentuan fiskal, menghasilkan kerugian.
  • Kerugian fiskal tersebut kemudian dikompensasikan dengan laba neto fiskal mulai dari tahun pajak berikutnya dan seterusnya selama lima tahun berturut-turut.
  • Jika setelah kompensasi dilakukan, ternyata ketetapan pajak hasil pemeriksaan menunjukkan jumlah kerugian fiskal yang berbeda dari yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh atau jika hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada kerugian, maka kompensasi kerugian fiskal tersebut harus segera diperbaiki sesuai dengan ketentuan dan prosedur pembetulan SPT sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan.

Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), terdapat beberapa aspek penting yang harus diperhatikan terkait kompensasi kerugian fiskal. Kerugian fiskal yang diakui adalah kerugian yang ditetapkan berdasarkan ketetapan pajak yang telah diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). 

Selain itu, kerugian fiskal juga dapat didasarkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak, yang dilakukan melalui penilaian sendiri (self-assessment), jika belum ada ketetapan pajak yang diterbitkan oleh DJP. Dengan kata lain, kerugian fiskal dapat diidentifikasi baik melalui pemeriksaan oleh DJP maupun melalui pelaporan sendiri oleh wajib pajak.

Apabila di kemudian hari hasil pemeriksaan pajak menunjukkan bahwa jumlah kerugian fiskal berbeda dari yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh, atau jika hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa tidak ada kerugian, maka kompensasi kerugian fiskal tersebut harus segera direvisi. 

Revisi ini harus dilakukan sesuai dengan ketentuan dan prosedur pembetulan SPT yang diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan. Hal ini memastikan bahwa pelaporan pajak tetap akurat dan sesuai dengan hasil pemeriksaan yang sebenarnya.

Kompensasi kerugian fiskal tidak berlaku bagi wajib pajak yang seluruh penghasilannya dikenakan pajak final atau yang penghasilannya bukan merupakan objek pajak. Selain itu, kerugian yang diperoleh dari kegiatan bisnis di luar negeri juga tidak dapat dimasukkan dalam perhitungan kompensasi kerugian fiskal. Ini berarti bahwa hanya kerugian yang berasal dari penghasilan yang dikenakan pajak di Indonesia yang dapat digunakan untuk kompensasi.

Dengan demikian, UU PPh memberikan panduan yang jelas mengenai bagaimana kerugian fiskal dapat diakui dan dikompensasikan. Wajib pajak harus memastikan bahwa kerugian yang dilaporkan sesuai dengan ketetapan DJP atau berdasarkan self-assessment yang akurat. Jika ada perbedaan hasil pemeriksaan, wajib pajak harus melakukan revisi sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Aplikasi SPT pada Kompensasi Kerugian

Di dalam pengisian SPT Tahunan, kompensasi kerugian menjadi dapat menjadi pengurang atas penghasilan yang akan dikenakan PPh terutang. Kompensasi kerugian ini dapat diakumulasi hingga 5 tahun pajak berturut-turut. Rincian mengenai kompensasi kerugian ini diisi pada SPT Badan Lampiran Khusus 2A seperti pada gambar berikut ini :

Contoh pengisian Lampiran Khusus 2A

PT Global Makmur Semesta memiliki ringkasan laporan Laba Rugi tahun 2017-2023 yang telah dikoreksi fiskal sebagai berikut :

2017 -- Rugi fiskal Rp. 250.000.000

2018 -- Rugi fiskal Rp. 100.000.000

2019 -- Untung fiskal Rp. 300.000.000

2020 -- Rugi fiskal Rp. 10.000.000

2021 -- Rugi fiskal Rp. 200.000.000

2022 -- Untung fiskal Rp. 400.000.000

2023 -- Rugi fiskal Rp. 50.000.000

Kerugian fiskal pada tahun 2017 sebesar Rp. 250.000.000 dapat dikompensasikan sampai dengan paling lama hingga tahun 2022. Sedangkan kerugian fiskal pada tahun 2018 sebesar Rp. 100.000.000 dapat dikompensasikan hingga tahun 2023. Oleh karena itu, pada tahun 2019 pada saat terjadi keuntungan, akumulasi kompensasi tahun 2017-2018 dapat digunakan sebagai pengurang penghasilan tahun 2019. 

Sisa kerugian tahun 2018 yang belum dikompensasi sebesar Rp 50.000.000 dapat dikompensasikan pada saat terjadi keuntungan di tahun 2022 bersamaan dengan kerugian fiskal yang terjadi di tahun 2020 dan 2021. Dan pada saat terjadi kerugian di tahun 2023 sebesar Rp. 50.000.000, kerugian tersebut dapat dikompensasi ke tahun pajak 2024 dan seterusnya. Perhitungan tersebut dapat dijabarkan ke dalam lampiran khusus 2A. Berikut adalah contoh pengisian lampiran khusus 2A pada tahun pajak 2023.

Contoh pengisian Lampiran Khusus 2A/dokpri
Contoh pengisian Lampiran Khusus 2A/dokpri

Sesuai dengan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), wajib pajak memiliki hak untuk mengajukan permohonan pembetulan Surat Ketetapan Pajak (SKP) agar tetap dapat memanfaatkan kerugian fiskal yang tercatat.

Ketentuan ini memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk memperbaiki kesalahan yang mungkin terjadi dalam laporan perpajakan mereka. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memiliki kewenangan untuk membetulkan SKP serta produk hukum lainnya jika ditemukan kesalahan tulis, kesalahan hitung, atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan perpajakan.

Namun, dalam praktik sehari-hari, DJP sering kali menolak permohonan pembetulan tersebut jika SPT Tahunan yang diperiksa sudah dianggap benar dan sesuai dengan prosedur yang berlaku. 

DJP beranggapan bahwa proses pemeriksaan yang dilakukan telah melalui tahapan yang cermat dan teliti, sehingga laporan yang dihasilkan cenderung akurat dan bebas dari kesalahan yang signifikan. Dengan demikian, kecil kemungkinan adanya kekeliruan besar yang memerlukan pembetulan.

Permohonan pembetulan SKP biasanya diajukan oleh wajib pajak yang merasa bahwa ada kesalahan dalam perhitungan atau pencatatan yang merugikan mereka. 

Namun, untuk memastikan bahwa permohonan tersebut dapat diterima, wajib pajak harus menyertakan bukti yang kuat dan mendetail mengenai kesalahan yang dimaksud. DJP kemudian akan menilai bukti-bukti tersebut sebelum memutuskan apakah pembetulan dapat dilakukan.

Meskipun demikian, keengganan DJP untuk menerima permohonan pembetulan ini bisa jadi disebabkan oleh keyakinan bahwa mekanisme dan prosedur yang ada telah cukup ketat dan memadai untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya kesalahan. Oleh karena itu, wajib pajak disarankan untuk memastikan keakuratan dan kelengkapan laporan mereka sejak awal untuk menghindari masalah di kemudian hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun