Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Lepas.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menikmati Suasana "Car Free Day" Jalan Dago Bandung

1 Oktober 2018   11:43 Diperbarui: 1 Oktober 2018   11:51 1085
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang gadis bersepeda beristirahat dengan bersandar di kendaraan pembawa kuda milik Kesatuan Satwa Polri (Dok. Pribadi)

Menurut asal-usulnya, Cikapayang berasal dari nama pohon Kapayang (Sunda). Sejak zaman pendudukan Belanda di Dago, menurut cerita, pohon kapayang berdiri di sekitar taman yang  ada kini.

Buah kapayang muda disebut picung atau pucung, dan buah tuanya dikenal dengan kluwek, bahan untuk membuat kuah rawon, gabus pucung atau sop konro.

Namun, sebelum bisa dimakan dengan aman, kapayang perlu direndam tiga hari agar racunnya hilang. Jika tidak direndam, atau masa perendamannya kurang tidak hari, pemakannya bisa pusing-pusing. Itulah sebabnya orang yang tergila-gila dengan lawan jenisnya / jatuh cinta disebut mabuk kepayang (seharusnya mabuk kapayang).

Kembali ke suasana Jalan Dago saat CFR, semua orang yang datang beraktivitas di sana Minggu kemarin terlihat senang. Kalau pun ada yang terlihat menderita adalah mereka yang harus menahan buang air kecil dan besar, karena sulit menemukan WC umum di sana.

Ketiadaan WC umum merupakan masalah klasik  yang bisa kita temui di berbagai tempat di Indonesia. Maka jangan heran jika kita sering mencium bau pesing di berbagai sudut ruang publik. Entah kenapa persoalan mendasar itu sering luput dari perhatian pengambil keputusan di negeri ini.

Usai menlihat-lihat suasana car free day, kami makan siang di rumah makan Hj. Widodo di Jl. Trunojoyo, untuk makan siang. Menu di rumah makan itu adalah soto ayam, soto daging sapi, tengkleng, dan berbagai lauk lain yang ditusuk seperti sate. Baik orang-orang yang makan maupun yang sedang membayar, antri.

Tidak terkesan bahwa masyarakat tengah menghadapi tekanan hidup yang berat karena melemahnya nilai rupiah, seperti kerap didengungkan oleh para politisi di Senayan, atau suasana sedih karena saudara-saudara kita di Donggala dan Palu, setelah Lombok, sedang menderita akibat gempa bumi dan tsunami.

Masyarakat tentu perduli, masyarakat juga berbagi. Tetapi the show must go on. Hidup harus terus berjalan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun