Car Free Day (CFD) atau hari bebas kendaraan merupakan upaya pemerintah kota untuk menekan polusi, memberi kesempatan bagi warganya untuk menikmati ruang publik sambil berekreasi dan menunjukkan ekspresi mereka.
Untuk keperluan CFD itu Pemkot akan menutup ruas jalan tertentu bagi seluruh kendaraan bermotor atau hanya kendaraan pribadi saja, pada hari  Minggu pagi. CFD sudah dilaksankan di beberapa kota besar di Indonesia.
Di Jakarta Hari Bebas Kendaraan Bermotor pertama kali digelar pada 23 Mei 2002 . kegiatan tersebut dilaksanakan oleh Koalisi LSM Lingkungan sebagai wadah untuk menampung aspirasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan pemerintah.
Setiap tahun pada tanggal 22 September diperingati sebagai hari CFD sedunia. awal mula gerakan ini dicetuskan oleh Carbuster pada tahun 1997.
Bandung adalah salah satu kota di Indonesia yang memiliki agenda CFD. Tempatnya di kawasan Dago. Â CFD Dago diadakan di hari minggu sepanjang jalan Ir. H. Juanda dari Dago bawah, persis dibawah jalan layang Pasopati sampai Dago atas pertigaan Jl. Ir.H. Juanda dan Jl. Dayang Sumbi, dimulai dari jam 06.00 sampai 10.00 WIB.
Kawasan Dago, atau Jl. Dago merupakan kawasan yang sangat terkenal di Bandung. Nama Jl. Dago sebenarnya sudah dirubah sejak lama menjadi jalan Ir. H. Juanda -- mengambil nama pahlawan merupakan pahlawan nasionaldari Jawa Barat, Ir. H. R. Djoeanda Kartawidjaja (Juanda Kartawijaya)  yang  terkenal dengan Deklarasi Juanda.
Sampai saat ini masyarakat masih menyebut jalan itu sebagai Jalan Dago. Mungkin agar lebih simpel dan gampang diingat.
Jalan Dago dikenal sebagai kawasan bisnis, entertainmen dan kuliner di Bandung. Di sini banyak terdapat fashion outlet namun banyak juga distro yang bisa anda temukan di sekitar Jalan Dago. Â Beragam restoran dan cafe nampak memenuhi sepanjang sisi jalan ini. Di jalan ini juga terdapat tempat kediaman Wakil Gubernur Jawa Barat.Â
Minggu (30/9/2018) kemarin, penulis mendapat kesempatan untuk menikmati suasana CFD di Jalan Dago. Ini adalah CFD di  kota ketiga bagi penulis untuk menikmati suasana CFD di kota berbeda, setelah Jakarta dan Surabaya.
Jalan Dago memang tidak sebesar Jl Thamrin - Sudirman tempat diadakannya CFD di Jakarta, atau di Jl. Darmo Surabaya yang pernah penulis datangi. Jalan Dago kecil saja, satun jalurnya hanya bisa memuat dua kendaraan sejajar, dan satu kendaraan roda dua. Itu pun kalau ada mobil berbadan besar, kendaraan roda dua harus mepet-mepet.
Yang tidak sabar biasanya mengambil jalan pintas dengan melewati trotoar yang lebar, seperti penulis saksikan setelah jam CFD berakhir.
Penulis beruntung tidak perlu jauh-jauh datang untuk melihat suasana CFD di Dago, karena bersama beberapa temen jurnalis menginap di hotel Palais Jl. Dago yang atapnya berbentuk kubah seperti Katedral St. Paul di London.
Ke luar hotel kami sudah melihat suasana CFD. Persis di depan parkiran hotel ada sejumlah anak muda yang sedang menggelar sebuah permainan yang dilombakan. Nampaknya seperti lomba tari modern dan game menarik. Siapa saja boleh ikut.
Di tengah jalan suasana ramai sekali. Ada klub-klub sepeda atau perorangan dengan kostum sepeda mereka yang warna-warni, ada pula pesepeda perorangan yang mengayuh mereka dengan santai sambil mendengarkan musik dari earphone atau headset yang terpasang di telinga mereka. Sesekali mereka harus turun dari sepeda karena jalan penuh oleh pejalan kaki.Â
Aparat  negara tak mau ketinggalan. Beberapa petugas dari LLAJR Dishub wanita yang cantik menelusuri jalan menggunakan sepeda angin atau self balancing scooter. Petugas kepolisian menjaga keamanan dengan berjalan kaki.Â
Jalan juga diramaikan anak-anak muda -- lelaki / perempuan -- yang menjajakan makanan ringan, air mineral, tisu atau membawa kardus kecil untuk mencari sumbangan bagi korban gempa di Palu dan Donggala yang baru saja terjadi.
Ada yang menarik perhatian; seorang lelaki paruh baya bertopi yang hilir-mudik memikul potongan bambu dua petung dan gelas-gelas plastik tersusun di ujungnya. Lelaki itu adalah penjual tuak.Â
Tuak tentu saja tidak dikenal oleh generasi jaman now. Maka sulitlah bagi lelaki paruh baya itu untuk menjual dagangannya di jalan Dago yang sedang dipenuhi generasi milenial.
Sementara trotoar dan tempat parkir sudah penuh oleh para pedagang makanan, pemusik-pemusik jalanan, kelompok tari yang memperlihatkan keindahan tarian tradisional. Berbagai makanan tradisional dan makanan kekinian dijual saat itu. Para penjualnya pun banyak anak-anak muda berpenampilan modis. Itulah Bandung.
Di Taman Cikapayang, ratusan manusia menyemut menenuhi taman berbentuk bulat yang berada si ujung Jalan Ir. H. Juanda dan Jl. Cikapayang. Masyarakat mendapat hiburan gratis dari siswa/siswi Sekolah Musik Purwacaraka, Puwa Caraka Musik Studio (PCMS) yang tengah menyambut hari jadinya yang ke-30.Â
Taman Cikapayang adalah sebuah taman kecil yang diresmikan oleh Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, Kamis, 17 Agustus 2017. Kini Ridwan Kamil menjadi Gubernur Jawa Barat. Taman itu direvitalisasi menggunakan dana CSR dari Perusahaan jasa ekspedisi JNE.
Rancangan baru dari taman ini adalah dibangunnya amfiteater dengan dasar yang lebih rendah dari permukaan jalan raya. Kapasitasnya hingga 300 orang. Terdapat sejumlah bollard yang menghias bagian dasar amfiteater.
Pemilihan desain amfiteater ini bertujuan untuk menampung kegiatan publik, termasuk aktifitas komunitas kreatif, seni, atau budaya. Fungsi amfiteater ini mirip dengan ruang di Taman Musik Jalan Bali.
Menurut asal-usulnya, Cikapayang berasal dari nama pohon Kapayang (Sunda). Sejak zaman pendudukan Belanda di Dago, menurut cerita, pohon kapayang berdiri di sekitar taman yang  ada kini.
Buah kapayang muda disebut picung atau pucung, dan buah tuanya dikenal dengan kluwek, bahan untuk membuat kuah rawon, gabus pucung atau sop konro.
Namun, sebelum bisa dimakan dengan aman, kapayang perlu direndam tiga hari agar racunnya hilang. Jika tidak direndam, atau masa perendamannya kurang tidak hari, pemakannya bisa pusing-pusing. Itulah sebabnya orang yang tergila-gila dengan lawan jenisnya / jatuh cinta disebut mabuk kepayang (seharusnya mabuk kapayang).
Kembali ke suasana Jalan Dago saat CFR, semua orang yang datang beraktivitas di sana Minggu kemarin terlihat senang. Kalau pun ada yang terlihat menderita adalah mereka yang harus menahan buang air kecil dan besar, karena sulit menemukan WC umum di sana.
Ketiadaan WC umum merupakan masalah klasik  yang bisa kita temui di berbagai tempat di Indonesia. Maka jangan heran jika kita sering mencium bau pesing di berbagai sudut ruang publik. Entah kenapa persoalan mendasar itu sering luput dari perhatian pengambil keputusan di negeri ini.
Usai menlihat-lihat suasana car free day, kami makan siang di rumah makan Hj. Widodo di Jl. Trunojoyo, untuk makan siang. Menu di rumah makan itu adalah soto ayam, soto daging sapi, tengkleng, dan berbagai lauk lain yang ditusuk seperti sate. Baik orang-orang yang makan maupun yang sedang membayar, antri.
Tidak terkesan bahwa masyarakat tengah menghadapi tekanan hidup yang berat karena melemahnya nilai rupiah, seperti kerap didengungkan oleh para politisi di Senayan, atau suasana sedih karena saudara-saudara kita di Donggala dan Palu, setelah Lombok, sedang menderita akibat gempa bumi dan tsunami.
Masyarakat tentu perduli, masyarakat juga berbagi. Tetapi the show must go on. Hidup harus terus berjalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H