Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Lepas.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menikmati Suasana "Car Free Day" Jalan Dago Bandung

1 Oktober 2018   11:43 Diperbarui: 1 Oktober 2018   11:51 1085
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penjual tahu Sumedang di kawasan CFR Jalan Dago, seperti atlet MMA (Dok. Pribadi)

Penulis beruntung tidak perlu jauh-jauh datang untuk melihat suasana CFD di Dago, karena bersama beberapa temen jurnalis menginap di hotel Palais Jl. Dago yang atapnya berbentuk kubah seperti Katedral St. Paul di London.

Ke luar hotel kami sudah melihat suasana CFD. Persis di depan parkiran hotel ada sejumlah anak muda yang sedang menggelar sebuah permainan yang dilombakan. Nampaknya seperti lomba tari modern dan game menarik. Siapa saja boleh ikut.

Di tengah jalan suasana ramai sekali. Ada klub-klub sepeda atau perorangan dengan kostum sepeda mereka yang warna-warni, ada pula pesepeda perorangan yang mengayuh mereka dengan santai sambil mendengarkan musik dari earphone atau headset yang terpasang di telinga mereka. Sesekali mereka harus turun dari sepeda karena jalan penuh oleh pejalan kaki. 

Pesepeda melihtas di Jl. Dago
Pesepeda melihtas di Jl. Dago
Tak ketinggalan ibu-ibu muda mendorong kereta bayi dengan bayi-bayi mereka yang ikut menikmati suasana. Anak-anak muda Bandung yang modis juga memberi pemandagan menarik.

Aparat  negara tak mau ketinggalan. Beberapa petugas dari LLAJR Dishub wanita yang cantik menelusuri jalan menggunakan sepeda angin atau self balancing scooter. Petugas kepolisian menjaga keamanan dengan berjalan kaki. 

Seorang gadis bersepeda beristirahat dengan bersandar di kendaraan pembawa kuda milik Kesatuan Satwa Polri (Dok. Pribadi)
Seorang gadis bersepeda beristirahat dengan bersandar di kendaraan pembawa kuda milik Kesatuan Satwa Polri (Dok. Pribadi)
Adapula dari kesatuan satwa yang menggunakan kuda. Kuda-kuda impor mereka yang tinggi besar dibawa menggunakan mobil khusus yang tertutup.

Jalan juga diramaikan anak-anak muda -- lelaki / perempuan -- yang menjajakan makanan ringan, air mineral, tisu atau membawa kardus kecil untuk mencari sumbangan bagi korban gempa di Palu dan Donggala yang baru saja terjadi.

Ada yang menarik perhatian; seorang lelaki paruh baya bertopi yang hilir-mudik memikul potongan bambu dua petung dan gelas-gelas plastik tersusun di ujungnya. Lelaki itu adalah penjual tuak. 

Penjual tuak sedang menawarkan dagangannya, (Dok. Pribadi)
Penjual tuak sedang menawarkan dagangannya, (Dok. Pribadi)
Tuak adalah minuman tradisional yang terbuat dari air batang aren (enau). Rasanya manis sedikit asam. Minuman tradisional itu sudah ada sejak dulu kala, dan sekarang sudah langka. Air tuak yang disimpan dalam waktu yang lama akan berubah menjadi minuman beralkohol. Semakin lama, semakin tinggi kadar alkhoholnya.

Tuak tentu saja tidak dikenal oleh generasi jaman now. Maka sulitlah bagi lelaki paruh baya itu untuk menjual dagangannya di jalan Dago yang sedang dipenuhi generasi milenial.

Sementara trotoar dan tempat parkir sudah penuh oleh para pedagang makanan, pemusik-pemusik jalanan, kelompok tari yang memperlihatkan keindahan tarian tradisional. Berbagai makanan tradisional dan makanan kekinian dijual saat itu. Para penjualnya pun banyak anak-anak muda berpenampilan modis. Itulah Bandung.

Seorang nenek menyanyi diiringi musik dari para pemusik jalanan. (Dok. Pribadi)
Seorang nenek menyanyi diiringi musik dari para pemusik jalanan. (Dok. Pribadi)
Berbagai jenis musik pun terdengar berebut kuping. Sekelompok pengamen berusaha menarik perhatian dengan memainkan berbagai aliran musik mulai musik pop, rock, country hingga lagu-lagu tradisional. Anak-anak muda masa lalu menyebutnya "Palugada", apa lu perlu gua ada!
Di Taman Cikapayang, ratusan manusia menyemut menenuhi taman berbentuk bulat yang berada si ujung Jalan Ir. H. Juanda dan Jl. Cikapayang. Masyarakat mendapat hiburan gratis dari siswa/siswi Sekolah Musik Purwacaraka, Puwa Caraka Musik Studio (PCMS) yang tengah menyambut hari jadinya yang ke-30. 
Pemusik Purwa Caraka (biru / tengah) di tengah penonton dan siswa SD dari Bandung, di Taman Cikapayang. (Dok. Pribadi)
Pemusik Purwa Caraka (biru / tengah) di tengah penonton dan siswa SD dari Bandung, di Taman Cikapayang. (Dok. Pribadi)
Murid-murid sekolah musik milik seniman musik Purwa Caraka itu mempertunjukkan kemampuan mereka bermusik di hadapan masyaralat yang tengah menikmati CFD di Jalan Dago. Ada band, paduan suara, perkusi, demonstrasi drum, dan angklung yang dimainkan oleh 1000 siswa SD di Bandung yang mendapat bantuan alat musik dari program CSR (corpote social responsibility) dari PCMS.

Taman Cikapayang adalah sebuah taman kecil yang diresmikan oleh Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, Kamis, 17 Agustus 2017. Kini Ridwan Kamil menjadi Gubernur Jawa Barat. Taman itu direvitalisasi menggunakan dana CSR dari Perusahaan jasa ekspedisi JNE.

Rancangan baru dari taman ini adalah dibangunnya amfiteater dengan dasar yang lebih rendah dari permukaan jalan raya. Kapasitasnya hingga 300 orang. Terdapat sejumlah bollard yang menghias bagian dasar amfiteater.

Pemilihan desain amfiteater ini bertujuan untuk menampung kegiatan publik, termasuk aktifitas komunitas kreatif, seni, atau budaya. Fungsi amfiteater ini mirip dengan ruang di Taman Musik Jalan Bali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun