Bisa jadi keputusannya sudah dipikirkan masak-masak, menimbang untung-rugi. Seperti tokoh Bang Jack, penjaga mushala yang diperankannya dalam sinetron "Para Pencari Tuhan", dia menunjukkan sebagai tokoh yang naif tapi keras kepala, namun tahu untung dan ruginya dalam mengambil keputusan.
Keputusannya bisa jadi tidak bisa dilepaskan dengan konstelasi politik yang terjadi di Pilkada Jabar, beberapa waktu lalu. Deddy Mizwar yang pada Pilkada sebelumnya didukung PKS, kemarin ditinggal PKS, karena PKS mendukung pasangan Sudrajat -Ahmad Saikhu yang juga kalah. Dengan demikian, tak mungkin Deddy Mizwar bergandengan tangan lagi dengan PKS yang mendukung Prabowo - Sandi.
Mendukung Jokowi - KH Ma'ruf Amin berarti melawan Partai Demokrat, karena PD mendukung Prabowo - Sandi. Itupun bisa jadi sudah dipikirkan masak-masak oleh Bang Jack. Dalam politik tidak ada sahabat abadi, juga tidak ada musuh abadi. Yang ada adalah kepentingan abadi.
Bagi Bang Jack, PD memang telah mendukungnya dalam Pilkada Jabar 2018, tetapi untuk karier politik ke depan, PD tidak menjanjikan. Selama ini konsentrasi PD adalah bagaimana mengusung Agus Harimurti Yudohoyono (AHY). Seolah tidak ada kepentingan lebih besar dalam PD selain membawa AHY menjadi pemimpin di negeri ini, baik Pemimpin Daerah maupun Pemimpin Nasional.
Begitu besar ambisi SBY untuk mencarikan kursi bagi AHY, sehingga semua kader harus bekerja keras, dan banyak kepentingan lain terabaikan. Dukungan terhadap kader yang mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah, tidak sebesar yang diberikan kepada AHY. Bisa dimaklumi, Â karena AHY adalah anak Ketua Umum PD, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Meskipun AHY (Partai Demokrat) telah gagal dalam Pilkada DKI tahun 2017 lalu, PD (SBY) tidak patah semangat. AHY coba dibawa ke panggung nasional, dan diharapkan pada tahun 2019 ini sudah berada di barisan calon Presiden / Wapres.
Safari dilakukan oleh SBY. Ia mencoba melakukan penjajakan ke Jokowi, tetapi respon Jokowi dan partai pendukungnya, dingin. SBY lalu melakukan lobi intensif dengan Prabowo, seraya menyodorkan AHY sebagai calon pendamping Prabowo.
Namun tidak mudah bagi Prabowo untuk memutuskan, karena pada saat bersamaan dua partai pendukungnya, PAN dan PKS, menginginkan kader-kader mereka menjadi pendamping Prabowo. Keinginan itu juga diiringi desakan dan ancaman. Belum lagi Ijtimak Ulama yang meminta Prabowo menggandeng ulama menjadi pendampingnya, dengan menyebut Ustad Abdul Somad (UAS) atau Segaf Al Juffri sebagai calonnya.
Tanpa diduga, Prabowo malah memilih kadernya sendiri, Sandiaga Uno, yang sedang menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI, menjadi Capresnya.
Pilihan Prabowo karuan membuat PD (SBY) gundah. Sehingga salah seorang kader PD, Andi Arief, menyebut Prabowo sebagai Jenderal Kardus, dan menuding ada  mahar sebesar Rp. 1 trilyun untuk PAN dan PKS, masing-masing dapat Rp 500 miliar.
PD sempat mutung. Tapi karena ada peraturan KPU, partai politik harus mendukung salah satu calon dalam Pilpres 2019 mendatang, PD dengan sangat terpaksa mendukung Prabowo -Sandi. Keputusan itu menyakitkan, tapi gengsinya masih ada sedikit ketimbang mendukung Jokowi - MA.