Insiden gambar bendera merah putih terbalik dalam buku souvenir SEA Games 2017 di Kuala Lumpur, memang telah mengusik harga diri Bangsa Indonesia. Meski pun Menteri Olahraga Malaysia secara resmi telah meminta maaf, dan berjanji menarik buku itu, tetapi perasaan sakit tak kunjung hilang dari hati sebagian besar masyarakat Indonesia. Kebencian terhadap Malaysia yang sudah terpendam lama, kembali muncul. Apalagi kemudian disusul berita soal kecurangan dalam ajang Sea Games yang merugikan Indonesia, seperti dalam pertandingan sepak takraw dan pencak silat.
Terkait dengan kekhilafan panitia (menurut Malaysia), ada analisis yang menyebutkan pemuatan gambar bendera merah putih terbalik itu merupakan sebuah kesengajaan untuk memancing emosi Bangsa (kontingen) Indonesia. Pihak Malaysia paham benar bahwa rata-rata orang Indonesia emosional, terlebih bila yang mengusik adalah Malaysia, negara serumpun yang memiliki track record relasinya kurang harmonis dengan Indonesia, sejak jaman Orde Lama. Konon pihak Malaysia paham betul, jika emosi orang Indonesia terpancing, maka tindakan akan ngawur.
Tesis itu seperti menemukan pembenarannya jika melihat posisi Kontingen Indonesia dalam ajang Sea Games 2017 ini. Sampai hari Jum'at (25/8/2017) malam, Indonesia berada di posisi ke-5 di bawah tuan Rumah Malaysia, Vietnam, Singapura dan Thailand. Keseluruhan medali yang diraih Indonesia 102 dari 533 atlit yang dikirim, dengan rincian 22 medali emas, 35 perak dan 45 perunggu. Targetnya 55 medali emas.
Di atas Indonesia ada Malaysia dengan 159 medali (68, 46, 45); Vietnam (106: 43, 29, 34), Singapura (111: 39, 33, 39) dan Thailand (140: 35, 50, 55). Indonesia hanya berada di atas Filipina, Myanmar, Kamboja, Brunei Darussalam, Laos dan Timor Leste.
Indonesia merupakan negara terbesar di Asia Tenggara, baik dalam luas wilayah maupun jumlah penduduk. Tentu sangat memprihatinkan jika negara terbesar ini hanya berada di posisi kelima di ajang SEA Games, bahkan kalah dengan Singapura yang jumlah penduduknya saja kurang dari setengah penduduk Jakarta. Ada apa dengan Indonesia? Apakah karena bangsa yang emosional ini terus-menerus mengumbar emosi sehingga lupa akan prestasi? Ini yang perlu dicari jawabannya oleh para pemimpin bangsa dan semua pemangku kepentingan, dan tentunya juga seluruh rakyat Indonesia.
Indonesia mengikuti Sea Games sejak tahun 1977, dan langsung menjadi Juara Umum. Sejak itu, selama keikutsertaannya di Sea Games, Indonesia sudah sembilan kali menjadi juara umum -- kebanyakan ketika Indonesia menjadi tuan rumah. Terakhir ketika Indonesia menjadi tuan rumah pada tahun 2011.
Sea Games memang pesta olahraga yang unik. Hampir setiap tuan rumah selalu berpeluang menjadi Juara Umum, karena tuan rumah memiliki hak untuk memasukan cabang-cabang olahraga yang menguntungkan, selain faktor tuan rumah yang memiliki dukungan supporter dan factor X lainnya ikut menentukan, terutama dalam bidang olahraga tak terukur.
Yang hebat dari masyarakat kita dalam melihat Sea Games 2017 ini adalah, bisa menerima kedudukan kontingen Indonesia dengan legowo. Jarang terdengar perasaan marah, malu atau terusik karena kita berada di bawah negara-negara kecil di Asia Tenggara. Â Seolah dengan mengumbar kemarahan kepada Malaysia kita sudah puas.
Emosi positif dan negatif
Emosi merupakan hal wajar dalam setiap diri manusia, karena faktor emosi memang sudah ada dalam setiap jiwa dan pikiran manusia. Tetapi bagaimana mengendalikan emosi itu lalu menyalurkannya merupakan hal yang penting. Apakah akan menyalurkan dalam bentuk negatif atau positif. Jika tak mampu menahan diri, mengumbar emosi dengan tindakan destruktif tentu akan berakibat negatif. Tetapi bila kemarahan itu dijadikan cambuk untuk melecut diri agar bisa mengalahkan orang lain dengan sebuah prestasi, itu kemarahan positif.
Nampaknya emosi positif itu yang belum berkembang di dalam masyarakat kita, sehingga bentuk yang muncul adalah kemarahan, dan berakibat destruktif. Bukan melecut diri untuk meningkatkan prestasi, yang banyak terlihat adalah tindakan-tindakah negatif seperti tawuran, balap liar, mengumbar kebencian di media sosial, intoleransi, radikalisme dan sebagainya. Dalam lomba balap motor liar yang tidak dilengkapi dengan pelindung keamanan, banyak anak-anak muda yang berani; tetapi di ajang lomba sesungguhnya malah keok dengan pembalap-pembalap asing.