Apa kabar, Badrun?
Aku harap kamu baik-baik saja hidup dalam lingkaran dunia kecilmu.
Tadi pagi Haris bertandang ke rumahku untuk menceritakan pertemuan kalian beberapa bulan lalu. Aku sangat terkejut mendengarnya. Aku tidak tahu reaksi macam apa yang kutunjukkan pada Haris kala itu. Dia berpesan agar aku menyampaikan permintaan maafnya karena berkhianat pada perjanjian kalian. Dia terpaksa melakukannya lantaran merasa kau memperlakukannya dengan buruk dan menjulukimu sebagai kerabat dan sahabat yang tak lagi ingin bicara. Namun sesuatu yang lebih penting, ini dia lakukan demi kebahagianmu beserta kedua orangtuamu.
Meskipun telah belasan tahun berlalu dan aku telah berjanji meneguhkan hati untuk bersikap wajar apabila kelak aku mendapatkan kabar tentang dirimu, namun ternyata tidak semudah itu. Aku terguncang.
Aku teringat kembali ketika menjelang pukul 3 dini hari, dengan penuh hati-hati aku membuka pintu rumah agar tidak menimbulkan suara berdecit. Dengan mengendap-endap aku meniti titian bambu menuju daratan, aku palingkan wajah sejenak dengan maksud menatap rumah kami untuk terakhir kalinya, bergegas menuju jalan raya dan berharap segera menemukan bus yang akan membawa kita pergi meninggalkan kampung. Aku berharap segera menemuimu di sana seperti janjimu kau akan tiba lebih awal dari aku, tetapi ternyata engkau belum datang dan tidak pernah datang hingga menjelang matahari terbit dan alam berangsur-angsur menjadi terang. Aku berbaik sangka engkau mendapat kendala sehingga tidak bisa datang dan kita bisa merencanakannya pada lain hari. Pada siang hari, aku terkejut bukan kepalang mendengar kegemparan bahwa engkau telah menghilang dari rumah melaui selembar surat yang engkau tinggalkan tergeletak di atas meja dalam kamarmu. Mata semua orang tertuju ke arahku, seolah kepadaku letak segala salah dan menjadi sebab lenyapnya dirimu. Aku diinterogasi oleh banyak pihak, tetapi aku jawab bahwa aku tidak tahu lantaran kau memang tidak pernah memberi tahu tempat yang akan kita tuju. Engkau hanya pernah mengatakan bahwa kau akan membawaku ke rumah seorang kenalanmu di kota.
Berhari-hari, berbulan-bulan, tahun berganti tahun aku melalui kesedihan yang panjang dan melelahkan, menelan bisa dalam ratapan. Berjalan dengan kepala tertunduk guna menghindari tatapan sinis beserta kilatan mata penuh kebencian warga yang menudingku sebagai sosok yang paling bertanggung jawab memisahkan seorang anak dari orangtuanya, mengusir seorang warga dari kampung halaman yang teramat dia cintai. Pernah aku terpuruk pada kondisi moral terendah dan berpikir untuk tidak peduli lagi pada dunia dan mengakhiri hidup. Untunglah kedua orangtuaku berada di pihakku dan tidak turut menyerangku. Aku teguhkan semangat dan membiarkan waktu merawat segalanya. Tenggelam bersama arus masa.
Kini, kabar tentang keberadaamu dibawa lagi ke hadapanku. Entah bagaimana aku harus bersikap lantaran keadaanku sudah berbeda jauh seiring bergulirnya waktu yang memutar roda nasib manusia. Haris tentunya sudah bercerita banyak tentang keadaanku saat ini. Aku berharap kita memaknai ini semua sebagai suratan tangan yang tak mungkin dihindari. Aku telah berhenti melakukan perlawanan untuk bersandar pada kepasrahan atas apa yang telah berlaku.
Seminggu lagi lebaran akan tiba. Persiapkan dirimu untuk pulang kampung merayakan hari kemenangan atas keteguhan iman melawan hawa nafsu. Engkau tahu ibumu tidak pernah putus harapan bahwa satu hari nanti dia akan berkumpul lagi dengan anak satu-satunya. Pulanglah menjawab harapan dan doa yang ibumu panjatkan siang dan malam.
Wassalamualaikum,
Maizurah
Badrun termangu beberapa saat selepas membaca pesan yang tidak dia sangka-sangka datangnya. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana. Bermacam perasaan hadir dan bermain dipikirannya. Perasaan serba salah jelas terlihat pada riak wajahnya. Ada rasa perih menghimpit dada. Tidak mungkin dia menempuh jalan pulang sedangkan dia masih lagi setia memelihara impian semusim silam dan lebih memilih tersisih karenanya. Dia meletakan meletakan kembali telpon genggamnya ke tempat semula tanpa membalas pesan meskipun dia mengerti Maizurah tahu bahwa dia telah membacanya melalu dua tanda centang biru di samping pesan yang Maizurah kirim.