Haris menangkap jawaban Badrun barusan sebagai isyarat bahwa kawannya itu tidak ingin bercerita tentang dirinya, tetapi juga tersirat dia ingin tahu tentang kabar kampung halamannya.
"Aku tengah menjalani cuti tahunan dari perusahan perkebunan kelapa sawit tempatku bekerja sekarang, lokasinya tidak jauh di hulu sungai kampung kita. Hampir sepuluh tahun sudah aku pindah bekerja di sana setelah tempat bekerjaku sebelumnya, sebuah perusahaan kayu di tanah hulu berhenti beroperasi. Aku tetap tinggal di kampung dan pergi-pulang ke tempat kerja setiap hari. Telah banyak dibangun jalan darat di sisi kiri dan kanan sungai yang membelah kampung kita menuju desa-desa di hulu dan hilir sungai yang dulu hanya bisa dijangkau melalui perjalanan sungai."
Haris berhenti sejenak bercerita seraya memperhatikan reaksi Badrun, namun kawannya dengan kulit terlihat lebih gelap dibanding saat dia masih tinggal di kampung mereka dulu tidak menoleh dari pandangannya yang sejak tadi menatap ke arah laut lepas. "Setelah adanya jalan darat, maka transportasi sungai berangsur-angsur sepi, hanya sesekali kapal kelotok pengangkut barang dan perahu ketinting bermuatan beberapa orang penumpang melintas dalam sehari. Hanya tersisa satu-dua lanting, tempat warga mandi dan mencuci pakaian di sungai serta menambatkan kapal serta perahu. Banyak warga tidak lagi berani turun ke sungai karena merebaknya kejadian warga digigit buaya saat tengah berenang. Entah kenapa pula Sungai Telake semakin keruh airnya dan semakin sulit mendapatkan ikannya. Pernah aku memancing di beton bekas dermaga ponton penyeberangan, hampir setengah hari aku duduk di sana tanpa sekalipun umpan pancingku disentuh ikan. Entah kemana raibnya ikan baung dan udang galah yang dulu sering kita lihat menghampiri bibir pantai saat kita tengah mandi berenang di sungai kala sore hari pada masa kecil kita."
Sekali lagi Haris menahan cerita demi mencari reaksi Badrun pada rona wajahnya. Badrun membetulkan letak topi purunnya yang tadi sedikit terangkat ke atas tertiup kencangnya hembusan angin laut. "Lanjutkan saja bercerita." ujar Badrun, masih tanpa menoleh ke arah Haris.
 "Lantaran lalu lintas transportasi air makin sepi, menyebabkan hanya tersisa satu rumah rakit di atas sungai saat ini. Itupun tidak lagi berfungsi sebagai toko kelontongan dan bahan bakar minyak seperti dulu, melainkan hanya sebagai rumah tinggal. Pemiliknya memindahkan barang dagangannya ke kios di daratan yang letaknya berhampiran dengan pantai dimana rumah rakit terakhir itu ditambatkan. Mungkin lantaran kios yang mereka sewa itu ukurannya relatif kecil, sehingga mereka memilih mempertahankan keberadaan rumah rakit sebagai sebagai tempat hunian. Atau mereka terlanjur merasa nyaman menetap di atas sungai setelah terbiasa melakoninya selama belasan tahun lamanya. Penghuni rumah rakit terakhir itu adalah Mat Asap."
"Mat Asap?" Badrun menirukan dalam bentuk kata tanya.
"Ya. Mat Asap. Pemuda flamboyan kampung kita yang jago sepakbola dan catur," Haris menimpali.
Badrun mencoba mengumpulkan kembali ingatannya tentang wajah Mat Asap. Dia sebaya dengan salah satu pemuda paling populer di kampungnya. Pemuda tampan itu terkenal karena jago main sepakbola dan catur sedari kecil. Dia menjadi rebutan beberapa klub sepakbola di ibu kota kecamatan dan sering dipinjam oleh banyak klub sepakbola kecamatan tetangga, bahkan beberapa kali memperkuat klub sepakbola terkuat dari ibu kota kabupaten. Sayangnya, lantaran derita cedera panjang setelah mengalami cedera patah kaki dalam satu pertandingan menghentikan karier gemilang sepakbolanya dalam usia belia yang belum lagi genap 20 tahun. Dia beralih mengasah dan menekuni bakat luar biasa satunya lagi yang dia miliki, yakni catur. Sebentar saja dia menjelma sebagai pecatur kekuatan baru yang berhasil mengalahkan beberapa jago catur senior tingkat kecamatan, langganan juara catur dalam perayaan hari kemerdekaan.
Setiap kali Mat Asap punya waktu luang, dia pasti menyempatkan diri datang ke pangkalan ojek di depan lapangan sepakbola untuk bertanding catur dengan taruhan secangkir kopi susu dan sebungkus rokok. Rutinitas menjadi pemenang taruhan itu menggiring dia menjadi seorang peminum kopi dan penghisap rokok kelas berat. Dia menghisap batang demi batang rokok dengan rakus tanpa henti diselingi menyeruput kopi susu dari satu pertandingan ke pertandingan berikutnya. Sebab itulah dia dijuluki sebagai Mat Asap. Julukan itu semakin lama semakin melekat pada dirinya dan sebagian orang mulai melupakan nama sebenarnya yaitu Ardansyah.
"Bukankah rumah Mat Asap berada di Payo Kali yang jaraknya satu kilometer dari sungai?" Tanya Badrun.
Haris diam sejenak, menarik nafas dalam-dalam, "Mat Asap memperistri Maizurah, anak dari pak Hisyam, pemilik rumah rakit terakhir. Setelah pak Hisyam dan istrinya meninggal dunia karena sakit yang mereka derita, Maizurah beserta suami dan kedua anak mereka menjadi pewaris kepemilikan rumah rakit."