"Insyaallah, aku akan tetap seperti kawan sebangkumu dulu di madrasah semenjak dari tingkat ibtidaiyah, tsanawiyah hingga aliyah," ikrar Haris sembari melepaskan cengkeraman jari-jari tangannya  pada pergelangan tangan Badrun yang menyisakan warna kemerah-merahan pada pergelangan tangan kawannya itu.
Badrun menyebutkan nomor telepon selulernya yang segera Badrun masukkan ke daftar kontak telepon genggamnya.
"Itu istrimu dan anakmu sudah keluar dari kamar mandi. Aku harus pergi sekarang juga," Badrun segera beranjak menuju sepeda motornya tanpa meminta persetujuan Haris lagi. Dia tergesa-gesa menghidupkan sepeda motornya dan berlalu pergi tanpa menoleh ke belakang untuk kemudian lenyap dari pandangan Haris ditelan tikungan menuju jalan raya.
Selama di atas sepeda motor dalam perjalanan pulang, Badrun tak bisa menghindari kenyataan bahwa pertemuannya dengan Haris barusan membawa dia menelusuri lorong kenangan yang teramat perih yang membawanya membuang diri.
"Telah bapak dapat kabar bahwa kau masih lagi menjalin hubungan dengan gadis itu meskipun sebelumnya kau telah berjanji untuk memutuskan hubungan kalian. Benar demikian, Badrun?
Badrun tersentak mendengar bapaknya membuka percakapan dengan pertanyaan yang teramat pelik untuk dia jawab. Ibunya yang tadi memanggil dia keluar dari kamar, memberitahu bahwa bapaknya ingin bicara di ruang tengah, turut hadir, duduk di sebelah bapaknya, menatapnya dengan pandangan gusar.
"Apa benar demikan, Nak?" Ibunya mengulang pertanyaan bapaknya demi melihat Badrun hanya tertunduk diam tidak menjawab.
"Kami tidak mempermasalahkan siapapun gadis yang kau pilih untuk kau persunting sebagai istri, tetapi dia pilihanmu saat ini memiliki ikatan kekerabatan yang tingkatannya lebih tinggi darimu. Ingatlah, bapakmu seorang imam dan khatib yang selalu memberi pengajaran dan peringatan tentang perbuatan yang boleh dan tidak boleh dikerjakan sesuai tuntunan agama. Lantas apa kata orang jika anak sang imam dan khatib sendiri yang melanggar ajaran agama?" bapaknya menyambung percakapan.
"Hendak kemana kami sembunyikan wajah kami mendengar gunjingan masyarakat setiap harinya. Kau tahu dengan baik bahwa kita tinggal di kampung kecil yang sebagian besar warganya saling kenal satu sama lain. Demikian pula dengan cerita, baik maupun buruk, akan beredar dengan cepat dan menjadi rahasia bersama. Ibarat kata, suara jarum yang jatuh ke tanah di sini turut terdengar oleh mereka yang tinggal di seberang sungai sana," ibunya kembali menimpali melihat Badrun yang sejak tadi tertunduk dan terpaku membisu di atas kursi rotan.
"Sekali lagi bapak dan ibumu meminta kau menghentikan keinginan terlarang kalian. Simpan saja hasrat tak pantas itu di gudang hati terdalam. Hubungan kalian tak akan pernah sampai kemana-mana. Semakin kalian menguatkan diri bertahan melawan, semakin terluka kalian pada penghujungnya!" Bapaknya mengultimatum seraya berdiri dari kursi, meninggalkan ruang tengah menuju kamarnya.
Sepanjang malam Badrun tidak bisa tidur karena terganggu memikirkan anjuran yang lebih dia maknai sebagai ancaman yang telah menjadi kesekian kalinya dari kedua orangtuanya. Dia merasa berada di persimpangan dilema, tak menemukan cara untuk mendapatkan restu dan tiada jalan keluar untuk membebaskan diri. Kebuntuan pikiran berujung pada keputusan melepaskan diri dari belenggu yang mengungkungnya, keputusan yang telah dia rencanakan sejak beberapa hari lalu. Melarikan diri.