Mohon tunggu...
Matias Rico Adi
Matias Rico Adi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ordinary person

Mahasiswa STFT Widya Sasana Malang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sengkuni Mengkripik

8 Desember 2021   10:50 Diperbarui: 8 Desember 2021   11:03 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Pengecut, minggir, minggir, minggir pendapatmu tak relevan...minggir, minggir, minggir pendapatmu tak relevan..."  

Ku berharap lagu dari Feast mampu menguatkan langkahku, menjadi sengkuni kripik (Kritis berpikir) untuk mencapai hidup yang lebih baik. Sampai keteguhan sirna menjadi duka, ketika ibuku menelpon. Kupinggirkan dan kubanting motor kesayanganku. Aku menangis seperti bayi yang memohon asi. Kutermenung pasrah mengalahkan orang patah asa. Ku mendengar suara bahwa bapak ku telah meninggal sesaat dilindas ban truk yang tak berakal.

            Semestaku hancur, hancur dengan segala stagnasi dan pemikiran koservatif. Kudengar seseorang telah menghancurkan hatinya sehingga ia menerobos maut untuk sekedar meminta maaf. Ya, ternyata ia mengejarku karena enggan aku terluka, enggan aku sedih dan marah dalam kesendirian dalam dunia emosiku. Ternyata ia tak berhasil dan malah membuatku menjadi fosil yang mati dalam kedurhakaan terhadap bapakku.

 Aku pulang menunggu jenazah sang inspirasi hidup ku. Dia yang membuatku menjadi orang tekun dan pintar. Dia yang membuatku mau berkorban dan selalu sabar menghadapi cobaan peradaban. Kuingat kembali saat ia selalu menggendongku, kuingat di saat ia hadir dan mengecup keningku, saat aku hendak menutup hari. Aku sadar, hari, waktu dan masa telah berganti untuk melihatnya berbaring di dalam peti mati. Di saat itu kutukanku bereaksi, ku tak bisa melihatnya untuk terahkir kali. Peti mati telah dipaku dan dibungkus, karena argumentasi protokol kesehatan.

Ku baca diari bapak empat hari silam, dimana kita mulai berseteru yang  tertulis "Maaf anakku aku belum bisa membuatmu bangga dan kaya, maaf anakku aku masih terus membiarkan kita dalam kemiskinan dan lebih memilih membantu mereka yang tersiksa, kamu adalah anak berhargaku, maafkan aku nak."

Lagi-lagi aku hanya mampu meratap dan menangis. Sampai pelukan maut penyesalan menghampiriku dari belakang, ternyata cik Veni memelukku dengan rasa berasalah.

"Seandainya wak..tu itu aku mem..beritahumu alasanku mengutang untuk berobat anakku yang terkena tu..mor, Sean..dainya aku tak bersikeras mengutang pada bapak..mu, seandainya...," kata cik Veni dengan nada terbatah-batah.

Saat itu Sengkuni yang bebal telah mati. Iya aku mati karena penyesalan yang tak ada ujung dan tak ada tebusan untuk memperbaikinya. Aku hanya ingin bapak kembali, aku hanya ingin memeluknya dan ku hanya ingin meminta maaf untuk terahkir kali.

Biarlah aku yang mati saja. Biar aku yang menggantikannya berbaring di peti mati. Hanya aku yang layak mati!!

Hidupku telah mati, mataku tak bisa mengeluarkan tangisan lagi, badanku layaknya kayu yang kaku, dan beku. Sampai kusadar aku hanya mampu memenuhi permintaannya yang terakhir yang tercatat dalam diarinya. Aku hanya mampu bertekad untuk menjadi sengkuni Kripik (kritis berpikir) dan harus jadi garda terdepan untuk membantu orang lain. Itulah satu-satunya cara membuat bapakku bangga di alam nirvana. Tuhan... matikanlah Aku, matikanlah Sengkuni Mahabarat dalam diriku yang penuh keegoisan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun