Mohon tunggu...
Matias Rico Adi
Matias Rico Adi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ordinary person

Mahasiswa STFT Widya Sasana Malang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sengkuni Mengkripik

8 Desember 2021   10:50 Diperbarui: 8 Desember 2021   11:03 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Gak bisa begitu dong! kita kan juga butuh banyak uang untuk beli kebutuhan, buat menambah usaha bapak, buat bayar utang, buat bayar kuliah Kuni dan sekolah adek-adek, belum lagi buat bayar kuota internet, buat makan juga pak... masak sekarang kita makan cuma tahu tempe." Kata ku dengan nada mulai meninggi.

"Gak papa, nak. Masih banyak orang yang lebih sulit diandingkan dengan kita," celetuk Bapakku.

"Banyak... Tapi Bukan Cik Veni, asal bapak tau... Warung cik Veni ramai pembeli, pastilah dia mampu bayar," kata ku dengan nada marah.

"Aku capek pak harus hidup miskin dan terus dililit utang.. kalau begini terus gimana kita mau kaya..,"  kataku penuh penyesalan.

"Bapak bodoh, bapak gak usah lagi nasihati Sengkuni karena jelas Kuni jauh lebih Pintar dari bapak soal mencari uang. Bapak hanya tamat SMA, jadi Bapak gak tau apa-apa tentang mencari uang. Bapak gak tau apa-apa untuk menghidupi keluarga kita," kataku sambil membanting gelas, sontak semua orang kaget dan memperhatikanku.

Aku matikan telepon, dengan muka memerah dan mengepal tanganku meninju pintu warung. Kubuang keranjang kripik dari jok motor, bungkam dan kecewa dengan bapakku yang bodoh. Aku menaikkan gas motor legendaku  diriingi seruan lagu mp3 yang sangat menggugah hati.

"Pengecut, minggir, minggir, minggir pendapatmu tak relevan...minggir, minggir, minggir pendapatmu tak relevan..."  

Ku berharap lagu dari Feast mampu menguatkan langkahku, menjadi sengkuni kripik (Kritis berpikir) untuk mencapai hidup yang lebih baik. Sampai keteguhan sirna menjadi duka, ketika ibuku menelpon. Kupinggirkan dan kubanting motor kesayanganku. Aku menangis seperti bayi yang memohon asi. Kutermenung pasrah mengalahkan orang patah asa. Ku mendengar suara bahwa bapak ku telah meninggal sesaat dilindas ban truk yang tak berakal.

            Semestaku hancur, hancur dengan segala stagnasi dan pemikiran koservatif. Kudengar seseorang telah menghancurkan hatinya sehingga ia menerobos maut untuk sekedar meminta maaf. Ya, ternyata ia mengejarku karena enggan aku terluka, enggan aku sedih dan marah dalam kesendirian dalam dunia emosiku. Ternyata ia tak berhasil dan malah membuatku menjadi fosil yang mati dalam kedurhakaan terhadap bapakku.

 Aku pulang menunggu jenazah sang inspirasi hidup ku. Dia yang membuatku menjadi orang tekun dan pintar. Dia yang membuatku mau berkorban dan selalu sabar menghadapi cobaan peradaban. Kuingat kembali saat ia selalu menggendongku, kuingat di saat ia hadir dan mengecup keningku, saat aku hendak menutup hari. Aku sadar, hari, waktu dan masa telah berganti untuk melihatnya berbaring di dalam peti mati. Di saat itu kutukanku bereaksi, ku tak bisa melihatnya untuk terahkir kali. Peti mati telah dipaku dan dibungkus, karena argumentasi protokol kesehatan.

Ku baca diari bapak empat hari silam, dimana kita mulai berseteru yang  tertulis "Maaf anakku aku belum bisa membuatmu bangga dan kaya, maaf anakku aku masih terus membiarkan kita dalam kemiskinan dan lebih memilih membantu mereka yang tersiksa, kamu adalah anak berhargaku, maafkan aku nak."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun