Mohon tunggu...
Matias Rico Adi
Matias Rico Adi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ordinary person

Mahasiswa STFT Widya Sasana Malang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sengkuni Mengkripik

8 Desember 2021   10:50 Diperbarui: 8 Desember 2021   11:03 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lagi-lagi aku hanya mampu meratap dan menangis. Sampai pelukan maut penyesalan menghampiriku dari belakang, ternyata cik Veni memelukku dengan rasa berasalah.

"Seandainya wak..tu itu aku mem..beritahumu alasanku mengutang untuk berobat anakku yang terkena tu..mor, Sean..dainya aku tak bersikeras mengutang pada bapak..mu, seandainya...," kata cik Veni dengan nada terbatah-batah.

Saat itu Sengkuni yang bebal telah mati. Iya aku mati karena penyesalan yang tak ada ujung dan tak ada tebusan untuk memperbaikinya. Aku hanya ingin bapak kembali, aku hanya ingin memeluknya dan ku hanya ingin meminta maaf untuk terahkir kali.

Biarlah aku yang mati saja. Biar aku yang menggantikannya berbaring di peti mati. Hanya aku yang layak mati!!

Hidupku telah mati, mataku tak bisa mengeluarkan tangisan lagi, badanku layaknya kayu yang kaku, dan beku. Sampai kusadar aku hanya mampu memenuhi permintaannya yang terakhir yang tercatat dalam diarinya. Aku hanya mampu bertekad untuk menjadi sengkuni Kripik (kritis berpikir) dan harus jadi garda terdepan untuk membantu orang lain. Itulah satu-satunya cara membuat bapakku bangga di alam nirvana. Tuhan... matikanlah Aku, matikanlah Sengkuni Mahabarat dalam diriku yang penuh keegoisan.

Siang ini terasa pilu, keriuhan jalan membuatku ngilu dan pandanganku disajikan perbuatan keliru. Sejak berkenalan dengan kota ini, aku sudah mulai terbiasa dengan segala watak dan sifatnya. Namanya Semarang yang ku artikan asem dan arang, tak heran semua terasa pahit getir pandemi di kota ini, melebihi pahit getir hidup ku yang merana ini.

Bim,bim,bim... klakson truk pantura menghentikan keluhanku dan memaksaku meninggalkan tempatku berhenti. Batinku berkata, beginilah nasib orang kecil, tak pernah dihargai dan selalu disalahkan, tanpa mikir orang kecil ini memiliki otak setajam parang. Dalam keheningan batin aku mencoba mengencangkan motor legenda yang kutunggangi dan menghantarku tiba di warung cik Veni yang suka mengutang kripik buatan bapak. Warung Cik Veni sangat jadi idola di tembalang barat. Dasar cina pelit celetuk ku dalam hati, ia orang yang licik, punya uang tapi tidak mau membayar.

"Mas seng paling ganteng, aku mengutang lagi ya.", kata cik Veni yang tersenyum manis sambil mempersilakanku duduk.

            "Waduh.., cik jangan dong yang kemarin saja belum dibayar loh, klo tambah  ini berarti 500K, kalau begini terus bisa bangkrut bapak," sanggah ku..

Ku terpaksa duduk di sudut kanan warung itu, tepat di hadapan laki-laki paruh baya. Aku memandang kondisi sekitar dengan rasa heran dan bertanya-tanya, bagaimana bisa di kondisi pandemi seperti ini warung cik Veni masih ramai dikunjungi banyak pelanggan? bagaimana bangsa ini mau sembuh jika antek-antek di dalamnya seperti ini? Lagi-lagi teriakanku dalam hati buyar karena cik Veni tiba-tiba menyodorkan handphone kepadaku.

"Mas Kun, ini ada telpon dari bapak." celetuk cik Veni

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun