Mohon tunggu...
Mathilda AMW Birowo
Mathilda AMW Birowo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Konsultan PR

Lebih dari 35 tahun menggeluti bidang Corporate Communication. Organisasi: Ketua Umum Alumni Katolik Universitas Indonesia (Alumnika UI) Dewan Pengurus Pusat Wanita Katolik Republik Indonesia Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) Dosen Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara Dosen Komunikasi Vokasi Universitas Indonesia Konsultan Public Relations Anyes Bestari Komunika Penulis Buku Gramedia (terdaftar) Trainer Gramedia Akademi Trainer Pusdiklat KOMINFO Pendidikan: Deakin University - STA Multifaith Leadership for Women Organization London School of Public Relations - M.Si FISIP UI - Sarjana Komunikasi Fakultas Sastra Belanda UI - D3 Cambridge University / LSPR - Managing Information Certification Lemhannas RI, PPRA 64 Penerbitan Buku: Becermin Lewat Tulisan (Gramedia Pustaka Utama) 1001 Virus Cinta Keluarga (Gramedia Widiasarana Indonesia) Brand Yourself (Gramedia Widiasarana Indonesia) Mengembangkan Kompetensi Etis di Lingkungan Kita (Gramedia Widiasarana Indonesia) Melati di Taman Keberagaman Praktik Kepemimpinan Perempuan di Indonesia dan Australia (Gramedia Widiasarana Indonesia) Pencapaian/Penghargaan: Australia Awards Indonesia, STA Scholarship Indonesia Wonder Women, Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Original vs Krispi, Ketika Brand adalah Janji tetapi Reputasi adalah Kenyataan

29 Mei 2024   17:54 Diperbarui: 30 Mei 2024   00:42 1198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: blog.reputationx.com

BRAND ADALAH JANJI, REPUTASI ADALAH KENYATAAN

Suatu saat ketika memberi kuliah tentang Corporate Branding & Reputation, seorang mahasiswa saya mengajukan pertanyaan cantik, "Bu, bagaimana membedakan barang (maksudnya merek, red) asli dan palsu?"

Lalu saya bertanya balik kepadanya, "kalau tiba-tiba di jalan kamu kehujanan dan tidak membawa payung, apa yang kamu lakukan?"

Dia jawab lagi, "biasanya tas yang saya tenteng buat nutup kepala, bu."

Pertanyaan berikut, "Apakah jika tas yang kamu bawa itu harganya puluhan juta, masih rela buat tutup kepalamu?" ..."ha..ha...gak lah, mending rambut saya kuyup daripada tas mahal saya kena air," jawabnya.

Ada saja orang yang rela kakinya lecet hanya untuk menggunakan sepasang sepatu ber-merk meski ukurannya terlalu kecil atau bahkan sedikit kebesaran. 

Seorang kawan pernah menenteng sepatunya dan berjalan tanpa sepatu, hanya karena jalanannya berbatu, tidak rata. Katanya, sayang sepatunya mahal dan sudah tidak keluar lagi model seperti itu. 

Tak sedikit pula orang mengeluarkan sekian puluh juta bahkan ratusan juta hanya untuk memiliki sebuah produk branded. Menyedihkan lagi jika untuk memiliki produk tersebut harus meminjam uang atau membayar dengan kartu kredit.

Sebegitu bernilainya sehingga barang-barang branded berlabel internasional ini tetap memiliki nilai tinggi meski dalam kondisi bekas pakai (second).

Seorang kerabat asal Indonesia yang berdomisili di luar negeri pernah menitipkan kepada saya untuk dibelikan sebuah tas yang model dan warnanya sangat mirip dengan tas branded ternama keluaran Perancis.

Untuk mempermudah saya membelikannya, dia mengirim photo dari tas tersebut, lengkap dengan nama kios di sebuah pusat perbelanjaan terkenal daerah kota. 

Sampai di kios yang dituju, ternyata mereka memang memiliki koleksi tas yang sangat mirip dengan jumlah terbatas, dan yang mengagetkan saya harganya juga fantastis nyaris 3 juta rupiah.

Sebetulnya layak, karena untuk saya yang memang tidak gemar (tepatnya sayang mengeluarkan uang jutaan rupiah) mengoleksi barang branded, produk tiruan alias 'krispi' itu nyaris tak ada bedanya dengan yang original. 

Tetapi yakinlah mereka yang memproduksinya pasti tahu setiap titik yang membedakan apakah itu asli atau tidak. Hal ini dibuktikan melalui beberapa pemberitaan tentang (mohon maaf) orang Indonesia yang tertangkap menggunakan tas palsu ketika memasuki toko aslinya di Paris.

Kendala juga akan dialami bagi mereka yang menggunakan label dengan barang palsu saat pemeriksanaan di Bandara. (Perlu Tahu, Bahayanya Jalan-jalan Pakai Produk Branded KW Kompas.com - 21/05/2023)

Sumber: blog.reputationx.com
Sumber: blog.reputationx.com

Brand & Gaya Hidup

Produk dengan brand internasional terkenal saat ini kembali banyak diangkat melalui berita-berita khususnya di media sosial.

Mulai dari kalangan selebriti hingga tokoh-tokoh terkenal di Indonesia tak luput dari sasaran berita. Hampir setiap hari ketika membuka media sosial wajah-wajah kaum ternama bermunculan, termasuk juga keluarga dari RI 1 apakah itu sang puteri atau menantunya. 

Herannya, yang disorot itu adalah benda-benda dan asesoris yang mereka gunakan, mulai dari gaun, kacamata, anting, tas hingga alas kaki. Para juru berita bahkan menginformasikan persis tipe barang yang dikenakan plus kisaran harganya. (baca: Semuanya Branded, 4 Koleksi Tas Selvi Ananda ke Mall Tembus Puluhan Juta, Suara.Com Minggu, 24 Maret 2024). 

Tentu saja hal ini tak sulit diketahui karena rekam jejak dan informasi dengan mudah dapat diperoleh melalui media digital. Bisa jadi pula karena masyarakat teringat akan berita viral jauh sebelumnya, saat Presiden Joko Widodo justru mempromosikan penggunaan sepatu produk dalam negeri. (baca: Presiden Jokowi beli sepatu buatan dalam negeri, produk Greysia Polii, Antaranews.com, Jumat, 13 Agustus 2021).

Pertanyaannya, sedemikian pentingnyakah apa yang kita gunakan dan label yang berada dibalik benda-benda tersebut?

David Ogilvy seorang pakar Advertising mengatakan bahwa setiap merek yang sukses mewujudkan kepribadian yang berbeda, seperti stereotip yang juga mewakil tipe-tipe orang. Disebutkan pula, "People buy many products or services not only for what they can do, but also for what they mean to people and reference groups". 

Artinya, tak seperti dahulu orang membeli suatu produk karena mereka memang membutuhkan atau dilihat dari sisi manfaatnya.

Misalnya pasta gigi saya habis, maka saya perlu membelinya karena setiap hari paling tidak menyikat gigi 2 atau 3 kali. Atau saya perlu membeli obat jerawat karena saat ini muka seringkali bemrunculan jerawat. Namun, perkembangan jaman mengalihkan orang untuk membeli sebuah produk berdasarkan apa yang ia ingin terlihat di mata orang lain paling tidak dalam komunitasnya. 

Apakah ia ingin tampak lebih menawan, lebih berkelas atau berwibawa. Hal inilah juga yang dapat menjawab pertanyaan mengapa mewabah produk-produk aspal (asli tapi palsu, mirip bentuknya tetapi berbeda merek dan harga).

Stephen King dalam Development New Brands menekankan bahwa, "A product is something that is made, in factory. A Brand is something that is bought by customers." Orang bisa saja meniru bentuk sebuah produk seperti aslinya, namun sebuah brand adalah unik tak dapat serta merta dicuri atau ditiru oleh pihak lain. Berdasarkan nilai dari brand itu maka yang dibeli konsumen tak melulu barang itu sendiri tetapi arti psikologis dibaliknya.

Brand atau sering disebut dengan merek atau label tidak sekedar nama yang dapat membedakan seseorang dengan lainnya atau sebuah produk dengan produk lain.

Seorang anak saat lahir bahkan sebelum dilahirkan, orangtua telah mempersiapkan nama indah untuknya. Nama yang diberikan kepada sang anak pastilah memiliki arti tertentu, mengandung harapan dari orangtua untuk anaknya kelak.

Katakanlah itu 'Melati' ayah ibu berharap puterinya kelak akan dapat mengharumkan nama keluarga, nusa dan bangsa. Atau 'Perkasa', orangtua menginginkan puteranya bertumbuh menjadi sosok yang kuat, berani dan ulet. Tak sedikit pula orangtua mengambil nama dari tokoh-tokoh agama atau orang suci untuk anak-anak mereka agar dapat meneladani kesucian mereka. 

Demikian halnya dengan sebuah produk, nama sebuah produk tidaklah tertanam sebagai suatu benda 'mati' atau tidak bergerak, tetapi memiliki 'jiwa'. Di jaman dulu di Scandinavia, para peternak di sana memberi cap untuk setiap sapi miliknya agar tidak tertukar dengan sapi-sapi milik peternak lain. 

Dalam perkembangannya ada atribut psikologis dari sebuah brand menyangkut kesan terhadap produk, pengalaman yang diperoleh ketika menggunakannya, keuntungan baik materi maupun non materi setelah menggunakannya dan hubungan yang terjalin dengan komunitas produk tersebut. 

Sehingga ketika seseorang memilih untuk menggunakan merek tertentu, ia sedang menyesuaikan pada lingkungan atau pangkat yang sekarang dimiliki. Jika sebelumnya ia tak tertarik dengan merk terkenal atau hanya mampu membeli produk lokal, maka saat ini ia perlu membiasakan dengan menggunakan merek-merek internasional.

Sebuah Janji

Brand juga memiliki kaitan dengan perolehan kepercayaan dari masyarakat atau reputasi terhadap produk dan perusahaan yang memproduksinya. Strategi sebuah brand dikembangkan secara sistimatis melalui proses pembentukan serta pemeliharaan reputasi yang baik (Van Riel dan Bruggen, 2022). 

Untuk itu sebuah brand memiliki aspek intangible didalam sebuah produk, maka kita bicara soal nilai yang terkandung dalam sebuah brand.

Philip Kotler (2003) menyebutkan Brand Value adalah nilai ekonomis yang terkait dengan merek. Misalnya, seseorang menggunakan mobil merk X karena selain tampak elegan tetapi irit bensin atau karena kendaraan tersebut dapat memuat penumpang lebih banyak. 

Bagaimana brand itu dijiwai adalah melalui komunikasi yang strategis, diantaranya lewat slogan atau tagline yang menghubungkan antara brand produk dengan company brand. Sebagai contoh Revlon mencetus pesan "We are not in the business of selling cosmetics. We are in the business of selling Hope".

Maksudnya adalah, ibarat seseorang membeli produk dari Revlon maka ia juga membeli aura kecantikan yang diharapkan. Sementara Nike memberikan deskripsi sebagai "It is not in the business of marketing sports shoes and accessories: the brands want to get athletes and ordinary people get the best out of themselves". 

Asosiasinya adalah ketika orang mengenakan sepatu atau produk berlabel Nike, meski mereka bukanlah seorang atlit tetapi mereka dapat memiliki spirit seorang atlit.

Lebih jauh lagi, Nestle meng-claim sebagai produk makanan sehat yang kemudian turut menciptakan kehidupan yang berkualitas, "We are Nestl. The Good food, Good life company. We believe in the power of food to enhance lives."

Jiwa sebuah brand juga ditanam melalui apa yang dikenal sebagai Brand Equity yakni segala aspek yang membentuk persepsi tersendiri di benak konsumen. 

Sebagai contoh pengguna Apple dipahami sebagai mereka yang berusia relatif matang dari kalangan professional dilihat dari harga maupun ketersediaan produk computer, laptop, gadget ini di pasaran.

Rata-rata orang di usia tersebut dianggap sudah mampu dan bijak untuk membeli produk yang mendukung profesinya. Lebih dari itu Brand juga dikenal sebagai sebuah janji yang seringkali digunakan untuk membentuk citra baru yang sebelumnya kurang baik di mata publik. 

Misalnya, Teh Sari Wangi melalui pesan iklan memberi kesan bahwa salah pengertian dapat diluruskan dengan menikmati secangkir teh sari wangi dengan tagline "Mari Bicara".

Sementara itu perusahaan penerbangan Air Asia memberi janji sekaligus bukti bahwa sekarang transportasi udara tak hanya dimiliki oleh orang-orang berpunya. Air Asia memberi kesempatan orang terbang dengan biaya murah, "Now everyone can fly".

Kemurahan harga bukan dikarenakan kualitas pelayanan atau pesawatnya yang pas-pasan, tetapi dikompensasi dengan fasilitas di pesawat yang tanpa televisi dan makanan gratis.

Lebih jauh lagi, Pertamina bermaksud menghapus kesan 'buram' terdahulu dengan komunikasinya "Pasti Prima". Hal ini didukung dengan ucapan baku bagi seluruh petugas di pom bensin, menyapa konsumen dengan "Mulai dari nol ya pak/bu". Seakan ingin meyakinkan konsumen bahwa Pertamina memberi layanan yang akurat, apa yang diperoleh sesuai dengan yang dibayar.

Reputasi

Reputasi tak dapat dibeli. Sumber: smithersbot.ucdavisedu 
Reputasi tak dapat dibeli. Sumber: smithersbot.ucdavisedu 

Melalui pemaparan di atas, maka dapat dipahami betapa brand sangat 'bernilai' dan tak dapat dengan mudah dihitung secara finansial seperti menilai asset fisiknya. Meski demikian, brand juga sangat rentan dalam arti begitu tersandung dengan isu yang negatif maka sulit untuk membangunnya kembali.

Garuda Indonesia misalnya pernah terjegal dengan kasus korupsi Direktur Utamanya (Baca: Kejagung Tetapkan Eks Dirut Garuda Jadi Tersangka Korupsi, Tempo.co, Senin, 27 Juni 2022). Meski ini perbuatan personal, namun kedudukan yang bersangkutan telah turut mencemarkan nama baik Perusahaan. Terkait dengan personal branding ini, apakah kepercayaan terhadap seseorang dapat berubah? Tentu, karena people change. 

Pertama, penilaian orang terhadap kita bisa berubah karena orang tersebut juga berubah baik dari cara dia memandang kita, pengetahuan dan pengalamannya bertambah, relasinya juga semakin luas. Semua itu memberi pengaruh terhadap persepsi seseorang.

Sebaliknya kita sebagai individu juga dapat berubah berdasarkan macam-macam sebab seperti karena kedudukan dan status kita berubah dari orang biasa kemudian menduduki posisi penting, ekspektasi kitapun semakin tinggi, mungkin juga tuntutan dan prioritas hidup kita berubah sehingga kita menjadi orang yang berbeda dari sebelumnya. Itulah sebabnya kita tak dapat mengkultuskan atau mendewa-dewakan seseorang.

Seperti juga brand dari sebuah produk maka nama baik seseorang perlu terus dirawat dan ditingkatkan. Sebuah brand menjadi 'terisi' maknanya pertama karena perusahaan terlebih dulu membangun identitas produk melalui nama, logo, corporate color serta atribut-atribut lain yaitu teknik pemasaran dan promosi, pelayanan sebelum dan setelah pembelian, termasuk tampilan counter dimana produk dijual. Melalui identitas produk yang kuat ini akan terbentuk citra yang diharapkan. 

Contohnya, jika perusahaan kita ingin dikenal sebagai perusahaan yang ramah lingkungan, maka mulai dari kemasan produk dan bahan baku hingga pembuangan limbah pabrik perlu mengacu pada peraturan yang berlaku. Materi yang digunakan dapat didaur ulang atau tidak merusak lingkungan, pengeluaran limbah tidak melebihi ambang batas yang ditentukan Pemeintah. 

Tentunya setiap kelompok pemangku kepentingan (stakeholders) memiliki ekspektasi yang berbeda yang kesemuanya kemudian dapat membentuk citra menyeluruh terhadap produk dan perusahaan.

Semisal, karyawan memiliki harapan terhadap kenaikan pangkat yang adil (menyangkut aspek transparansi); konsumen berharap agar produk tersedia di setiap pasar swalayan (menyangkut efisiensi); dan para investor menginginkan agar perusahaan memiliki program community development yang berkesinambungan (menyangkut tanggung jawab sosial). Jika hal ini sudah dapat dilakukan oleh perusahaan, maka kepercayaan publik akan lebih mudah diperoleh. 

Demikian halnya dengan nama baik seseorang, dibentuk pertama kali dari identitas diri yaitu bagaimana orang dapat mengenal kita. Misalnya, Bapak Jono seorang pengusaha Indonesia yang badannya tambun atau Bapak Jono yang serorang guru asal Jawa Tengah yang murah senyum, plus embel-embelnya "pengusaha yang berjiwa sosial karena seringkali menyumbang untuk kegiatan-kegiatan amal" atau "guru yang memiliki prinsip kuat karena tak kena disogok".

Selanjutnya identitas diri kita perlu ditopang dengan tindakan nyata yang dapat dilihat atau dirasakan oleh orang lain. Identitas diri itu dibangun dan dikembangkan, bukan diciptakan karena diciptakan dapat secepat membalik tangan.

Sebagai contoh, orang akan mengenal kita sebagai orang yang sederhana melalui apa yang kita kenakan pada umumnya, bagaimana gaya hidup kita, dimana kita tinggal, bahkan juga melalui kehidupan anggota keluarga kita lainnya yang selaras. 

Namun, kita dapat saja menciptakan sesuatu seperti yang kita inginkan dalam sekejap seperti membagi nasi bungkus gratis kepada para tunawisma. 

Kemudian masyarakat mengetahui bahwa itu sifatnya hanya sementara, sebab sebelumnya kita tidak pernah bagi-bagi makanan gratis, apalagi kemudian orang paham jika tindakan itu sekedar membangun citra baik karena tujuan personal tertentu.

Apakah kaitannya semua di atas dengan brand? Kekuatan sebuah brand tak dapat dibangun hanya dalam waktu sekejap, perlu proses, perencanaan, tujuan yang matang dan strategi komunikasi yang berkesinambungan.

Ketika seseorang menggunakan merek tertentu hanya karena ingin sekedar tampak berkelas tetapi tidak didukung dengan sikap dan perbuatan yang menunjang, ibaratnya seperti barang yang palsu, tidak original. 

Kita tak dapat membeli kepercayaan atau sebuah reputasi, karena semua itu datangnya dari orang lain, mereka yang menilai kita. Meskipun kita memiliki dana lebih dengan menghujani masyarakat dengan iklan-iklan tentang 'produk saya paling berkualitas' atau 'saya orang yang paling bersih', kesemua itu tak berarti karena orang tahu kita membayar space untuk dapat mengatakan apapun yang kita inginkan. Itulah yang membedakan antara yang original dan krispi. (Mathilda AMW Birowo)

Acuan:

Mathilda AMW Birowo & Indah Soekotjo, "Brand Yourself", Gramedia Widiasarana Indonesia

Mathilda AMW Birowo, "Mengembangkan Kompetensi Etis di Lingkungan Kita", Gramedia Widiasarana Indonesia

Buku-buku dan materi lain yang relevan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun