Pertanyaannya, sedemikian pentingnyakah apa yang kita gunakan dan label yang berada dibalik benda-benda tersebut?
David Ogilvy seorang pakar Advertising mengatakan bahwa setiap merek yang sukses mewujudkan kepribadian yang berbeda, seperti stereotip yang juga mewakil tipe-tipe orang. Disebutkan pula, "People buy many products or services not only for what they can do, but also for what they mean to people and reference groups".Â
Artinya, tak seperti dahulu orang membeli suatu produk karena mereka memang membutuhkan atau dilihat dari sisi manfaatnya.
Misalnya pasta gigi saya habis, maka saya perlu membelinya karena setiap hari paling tidak menyikat gigi 2 atau 3 kali. Atau saya perlu membeli obat jerawat karena saat ini muka seringkali bemrunculan jerawat. Namun, perkembangan jaman mengalihkan orang untuk membeli sebuah produk berdasarkan apa yang ia ingin terlihat di mata orang lain paling tidak dalam komunitasnya.Â
Apakah ia ingin tampak lebih menawan, lebih berkelas atau berwibawa. Hal inilah juga yang dapat menjawab pertanyaan mengapa mewabah produk-produk aspal (asli tapi palsu, mirip bentuknya tetapi berbeda merek dan harga).
Stephen King dalam Development New Brands menekankan bahwa, "A product is something that is made, in factory. A Brand is something that is bought by customers." Orang bisa saja meniru bentuk sebuah produk seperti aslinya, namun sebuah brand adalah unik tak dapat serta merta dicuri atau ditiru oleh pihak lain. Berdasarkan nilai dari brand itu maka yang dibeli konsumen tak melulu barang itu sendiri tetapi arti psikologis dibaliknya.
Brand atau sering disebut dengan merek atau label tidak sekedar nama yang dapat membedakan seseorang dengan lainnya atau sebuah produk dengan produk lain.
Seorang anak saat lahir bahkan sebelum dilahirkan, orangtua telah mempersiapkan nama indah untuknya. Nama yang diberikan kepada sang anak pastilah memiliki arti tertentu, mengandung harapan dari orangtua untuk anaknya kelak.
Katakanlah itu 'Melati' ayah ibu berharap puterinya kelak akan dapat mengharumkan nama keluarga, nusa dan bangsa. Atau 'Perkasa', orangtua menginginkan puteranya bertumbuh menjadi sosok yang kuat, berani dan ulet. Tak sedikit pula orangtua mengambil nama dari tokoh-tokoh agama atau orang suci untuk anak-anak mereka agar dapat meneladani kesucian mereka.Â
Demikian halnya dengan sebuah produk, nama sebuah produk tidaklah tertanam sebagai suatu benda 'mati' atau tidak bergerak, tetapi memiliki 'jiwa'. Di jaman dulu di Scandinavia, para peternak di sana memberi cap untuk setiap sapi miliknya agar tidak tertukar dengan sapi-sapi milik peternak lain.Â
Dalam perkembangannya ada atribut psikologis dari sebuah brand menyangkut kesan terhadap produk, pengalaman yang diperoleh ketika menggunakannya, keuntungan baik materi maupun non materi setelah menggunakannya dan hubungan yang terjalin dengan komunitas produk tersebut.Â