Mohon tunggu...
Mathilda AMW Birowo
Mathilda AMW Birowo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Konsultan PR

Lebih dari 35 tahun menggeluti bidang Corporate Communication. Organisasi: Ketua Umum Alumni Katolik Universitas Indonesia (Alumnika UI) Dewan Pengurus Pusat Wanita Katolik Republik Indonesia Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) Dosen Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara Dosen Komunikasi Vokasi Universitas Indonesia Konsultan Public Relations Anyes Bestari Komunika Penulis Buku Gramedia (terdaftar) Trainer Gramedia Akademi Trainer Pusdiklat KOMINFO Pendidikan: Deakin University - STA Multifaith Leadership for Women Organization London School of Public Relations - M.Si FISIP UI - Sarjana Komunikasi Fakultas Sastra Belanda UI - D3 Cambridge University / LSPR - Managing Information Certification Lemhannas RI, PPRA 64 Penerbitan Buku: Becermin Lewat Tulisan (Gramedia Pustaka Utama) 1001 Virus Cinta Keluarga (Gramedia Widiasarana Indonesia) Brand Yourself (Gramedia Widiasarana Indonesia) Mengembangkan Kompetensi Etis di Lingkungan Kita (Gramedia Widiasarana Indonesia) Melati di Taman Keberagaman Praktik Kepemimpinan Perempuan di Indonesia dan Australia (Gramedia Widiasarana Indonesia) Pencapaian/Penghargaan: Australia Awards Indonesia, STA Scholarship Indonesia Wonder Women, Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Original vs Krispi, Ketika Brand adalah Janji tetapi Reputasi adalah Kenyataan

29 Mei 2024   17:54 Diperbarui: 30 Mei 2024   00:42 1195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertanyaannya, sedemikian pentingnyakah apa yang kita gunakan dan label yang berada dibalik benda-benda tersebut?

David Ogilvy seorang pakar Advertising mengatakan bahwa setiap merek yang sukses mewujudkan kepribadian yang berbeda, seperti stereotip yang juga mewakil tipe-tipe orang. Disebutkan pula, "People buy many products or services not only for what they can do, but also for what they mean to people and reference groups". 

Artinya, tak seperti dahulu orang membeli suatu produk karena mereka memang membutuhkan atau dilihat dari sisi manfaatnya.

Misalnya pasta gigi saya habis, maka saya perlu membelinya karena setiap hari paling tidak menyikat gigi 2 atau 3 kali. Atau saya perlu membeli obat jerawat karena saat ini muka seringkali bemrunculan jerawat. Namun, perkembangan jaman mengalihkan orang untuk membeli sebuah produk berdasarkan apa yang ia ingin terlihat di mata orang lain paling tidak dalam komunitasnya. 

Apakah ia ingin tampak lebih menawan, lebih berkelas atau berwibawa. Hal inilah juga yang dapat menjawab pertanyaan mengapa mewabah produk-produk aspal (asli tapi palsu, mirip bentuknya tetapi berbeda merek dan harga).

Stephen King dalam Development New Brands menekankan bahwa, "A product is something that is made, in factory. A Brand is something that is bought by customers." Orang bisa saja meniru bentuk sebuah produk seperti aslinya, namun sebuah brand adalah unik tak dapat serta merta dicuri atau ditiru oleh pihak lain. Berdasarkan nilai dari brand itu maka yang dibeli konsumen tak melulu barang itu sendiri tetapi arti psikologis dibaliknya.

Brand atau sering disebut dengan merek atau label tidak sekedar nama yang dapat membedakan seseorang dengan lainnya atau sebuah produk dengan produk lain.

Seorang anak saat lahir bahkan sebelum dilahirkan, orangtua telah mempersiapkan nama indah untuknya. Nama yang diberikan kepada sang anak pastilah memiliki arti tertentu, mengandung harapan dari orangtua untuk anaknya kelak.

Katakanlah itu 'Melati' ayah ibu berharap puterinya kelak akan dapat mengharumkan nama keluarga, nusa dan bangsa. Atau 'Perkasa', orangtua menginginkan puteranya bertumbuh menjadi sosok yang kuat, berani dan ulet. Tak sedikit pula orangtua mengambil nama dari tokoh-tokoh agama atau orang suci untuk anak-anak mereka agar dapat meneladani kesucian mereka. 

Demikian halnya dengan sebuah produk, nama sebuah produk tidaklah tertanam sebagai suatu benda 'mati' atau tidak bergerak, tetapi memiliki 'jiwa'. Di jaman dulu di Scandinavia, para peternak di sana memberi cap untuk setiap sapi miliknya agar tidak tertukar dengan sapi-sapi milik peternak lain. 

Dalam perkembangannya ada atribut psikologis dari sebuah brand menyangkut kesan terhadap produk, pengalaman yang diperoleh ketika menggunakannya, keuntungan baik materi maupun non materi setelah menggunakannya dan hubungan yang terjalin dengan komunitas produk tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun