Mohon tunggu...
Matawam
Matawam Mohon Tunggu... Seniman - Medioker Profesional

Penikmat musik, pecinta film, penggemar seni, penggila sepakbola.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Wajah Rinduku

16 September 2015   18:14 Diperbarui: 16 September 2015   18:14 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, Guntur sampai di kantornya tepat pukul delapan pagi. Dan sama seperti tahun-tahun sebelumnya, ritual menyeduh kopi moka arabika favoritnya tidak pernah ia tinggalkan. Satu sendok kopi, dua sendok gula dan satu sendok krim agar kopinya tidak pekat adalah takaran favoritnya.

Meminum kopi sebelum mulai bekerja biasanya selalu berhasil membuatnya terjaga dan semangat untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaannya di kantor. Namun hari ini tampaknya hal itu tidak akan berhasil. Suasana hatinya berantakan entah kenapa. Ia seperti sulit menemukan penyebab dari gundahnya hari itu. Guntur merasa..

.. Hampa.

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Jam menunjukkan pukul 12 siang waktunya untuk istirahat makan. Dito, rekan kerjanya mengetuk pintu ruangannya dan mengajaknya makan siang. Guntur pun bersiap makan dengan Dito. Tapi tak lama telepon genggam Guntur berbunyi. Guntur melihat siapa yang menelponnya.

BAPAK
calling..”

Guntur sedikit kaget melihat kontak yang muncul di layar telepon genggamnya. Bapaknya yang telah kehilangan kontak dengan dirinya untuk beberapa saat, kini secara tiba-tiba menghubunginya. Guntur lalu meminta Dito untuk pergi makan lebih dulu karena ia ingin mengangkat telepon dari salah satu sosok yang masih dianggapnya cukup penting dalam hidupnya.

“Halo?” tanya Guntur.

“Assalamualaikum Guntur,” salam si bapak seperti yang biasa ia ucapkan ke anak pertamanya setiap menelpon.

“Waalaikumsalam.. Pak.”

“Apa kabar nak?”

“Baik pak.”

Perbincangan sempat terhenti beberapa detik. Canggung.

“Ibu bagaimana kabarnya?” tanya bapak balik ingin tahu tentang belahan jiwanya yang pernah menemaninya selama lebih dari 30 tahun.

“Baik pak.”

“Alhamdulillah. Pesan bapak ternyata tidak kamu lupakan. Ibumu masih suka nangis?” tanya bapak.

“Masih pak. Tapi gak sesering dulu.”

Bapak diam saja. Tidak berkata apa-apa.

“Bagaimana kabar Yusuf?” tanya bapak mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

Guntur mulai bercerita mengenai anaknya yang baru berumur 9 bulan. Bagaimana Yusuf sekarang sudah bisa berdiri sendiri, mengoceh sendiri, memanggil Guntur dengan sebutan ‘bapak’.

“Dia masih suka manggil abah?” tanya bapak.

“Masih pak.”

Meski tidak melihat, namun Guntur dapat merasakan bapaknya tengah tersenyum senang dengan hal itu.

“Bapak apa kabar disana?”

“Alhamdulillah baik. Enak disini. Semuanya mudah. Mau ini ada, mau itu ada.”

“Syukurlah.”

“Adik-adik kamu gimana?”

Guntur perlahan mulai menceritakan tentang ketiga adiknya. Salman, Pras dan Gemintang, perempuan satu-satunya. Guntur memberitahu kalau Salman sekarang telah bekerja di sebuah perusahaan media besar. Jabatannya pun cukup baik. Sementara karier Pras sebagai wirausaha perlahan mulai menanjak. Begitu juga dengan Gemintang yang sekarang sibuk sebagai penata rias ternama.

“Alhamdulillah,” kata bapak.

Perbincangan kembali terhenti beberapa detik.

“Kerja keras bapak selama ini ada hasilnya,” lanjut bapak. “Yang penting kalian jangan sampai meninggalkan shalat dan mengaji. Karena tidak ada yang bisa menyelamatkan kita selain itu.”

“iya pak, insya Allah. Bapak ngapain aja disana?”

“Ya gitu-gitu aja Tur. Makan, mancing, melakukan yang bapak mau saja.”

Bapak lalu mulai cerita tentang band barunya. Guntur sempat tidak percaya kalau bapaknya kembali bermusik mengingat umur bapak yang sudah tidak lagi muda. Tapi kata bapak umur bukanlah halangan untuk bermusik. Bapak juga cerita bagaimana ia sesekali memainkan lagu yang sering ia dengarkan dulu bersama Guntur waktu ia kecil. Tanpa sadar, sebuah senyuman tersungging dari bibir Guntur.

Suasana perlahan mulai cair. Hampa yang sebelumnya sempat mendera Guntur perlahan hilang. Guntur mulai bercerita mengenai pekerjaannya, mengenai hidup dengan antusias. Sang bapak mendengarkan dengan seksama sambil sesekali memberikan nasihat mengenai hidup. Sesuatu yang sangat Guntur rindukan dari sosok bapaknya itu, yang membuat Guntur terdiam beberapa saat.

“Halo? Tur..”

“Pak, Guntur kangen sama bapak.”

“Halo? Tur.., Guntur. Halo?”

“Pak, halo pak.., halo?”

“Tur? Halo? Guntur..”

“Iya pak, Guntur masih disini.”

Tiba-tiba sambungan telepon ayah dan anak itu terputus. Guntur menatap telepon genggamnya. Ia berusaha menelpon bapaknya lagi tapi tidak berhasil. Air mata menetes di layar telepon genggam Guntur.

Perlahan, Guntur mulai menangis tersedu-sedu. Air matanya jatuh deras. Telepon genggamnya kembali berbunyi. Guntur dengan sigap mengangkatnya.

“Assalamualaikum,” kata Guntur.

“Waalaikumsalam. Tur, ini ibu.”

Mendengar suara ibunya, tangisan Guntur semakin menjadi. Ibunya Guntur bingung dan bertanya ada apa dengannya. Guntur mengatakan dirinya tidak kenapa-kenapa, alasan yang selalu ia ucapkan agar ibunya tetap tenang.

“Ini hampir 1000 hari bapak Tur. Kapan kita mau ke makam?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun