Mohon tunggu...
Matawam
Matawam Mohon Tunggu... Seniman - Medioker Profesional

Penikmat musik, pecinta film, penggemar seni, penggila sepakbola.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kesempatan

13 Mei 2014   23:17 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:32 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

intensitas pertemuanku dengannya pun terganggu. tapi aku tidak bisa mengeluh tentang hal itu. siapa aku? menggenggam tangannya saja pun aku belum pernah. untuk apa aku mengeluh tentang kesibukannya itu?

aku dan dia yang biasanya dalam satu bulan bisa bertemu 6 sampai 8 kali, kini dengan kesibukannya segudang dan mempersiapkan album, katanya, bertemu 2 kali pun sudah waktu maksimal yang dia bisa berikan untuk sekedar bicara mengenai hal-hal tidak penting di dunia itu.

dalam setiap pertemuanku dengannya pun sudah tidak seperti dulu. senyumnya yang dulu selalu aku lihat, kini sudah jarang terlihat. kantung matanya pun mulai terlihat. matanya terlihat lebih sayu dari sebelumnya.

"aku capek kemarin rekaman sampai jam dua pagi.", itu alasannya.

rutinitasku dengannya pun hanya mengantar dan menjemput dia di studio rekaman. tapi aku tidak bisa mengeluh tentang hal itu. siapa aku? membelai rambutnya saja pun aku belum pernah. untuk apa aku mengeluh tentang kesibukannya itu?

***

wajahnya kini terpampang di seluruh stasiun televisi, suaranya kini berkumandang di setiap stasiun radio. dan kemanapun aku melangkah, aku seakan selalu diperhatikan oleh tatapannya. dia sudah terkenal sekarang.

komunikasi aku dengannya pun sekarang sudah bisa dihitung dengan jari. aku yang paling setia mengantar dan menjemputnya dimana dan kapanpun dia butuhkan kini digantikan oleh  sebuah tim manajemen yang kemampuannya berkali-kali lipat dari aku.

apa pun yang dia mau, kini bisa didapatkannya dengan mudah. dia tinggal bilang mau apa, dan dalam sekejap, orang-orang yang ada di sekitarnya pun akan berusaha keras untuk mewujudkannya.

dunia kami kini sebatas twitter dan instagram. path? bahkan dia tidak menerima aku sebagai temannya di path. cerita-cerita kami kini hanya sebatas 140 karakter. beberapa kali aku melihat kicauan dari akun twitter-nya, aku merasa asing. kata-katanya seperti penuh dengan kesopanan sekaligus kebohongan. aku seperti tidak mengenalnya.

perlahan, aku mulai meninggalkannya. bukan pilihannya meninggalkan aku, tapi aku yang meninggalkannya. karena sekarang semuanya sudah berubah. aku harap dia bahagia dengan segala yang ia miliki sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun