Untuk memperlancar komunikasi antara pihak Inggris dengan Republik dalam keseharian, maka dibentuk Biro Kontak beranggotakan perwakilan dari kedua belah pihak.
Namun, apa mau dikata, perjanjian itu dirobek sendiri oleh pasukan Inggris dengan menempatkan infanteri mereka di 20 titik yang artinya lebih dari 800 peter dari pelabuhan. Dan, ternyata pasukan Belanda membonceng Inggris. Rakyat Surabaya pun marah dan menentang hal itu.
Bendera Belanda (merah, putih dan biru) disobek dengan heroik di hotel Yamato menjadi Merah Putih. Seruan perang suci pun menggema dan Resolusi Jihad mendapatkan momentum. Bung Tomo pun meneriakkan takbir "Allahu Akbar" yang menjadi awal pertempuran 10 November 1945.
Perang gerilya dan berlarut membuat Inggris dipermalukan di pentas internasional, karena dua Jenderal mereka, Brigadir Jenderal Aubertin Walther Sother Mallaby dan Brigadir Jenderal Robert Guy Loder Symonds meregang nyawa.
Minggu pagi, 19 Desember 1948, usia kemerdekaan Indonesia baru tiga tahun, namun upaya penjajah Belanda merebut kembali Nusantara tidak berhenti. Ini disebut dalam sejarah sebagai Agresi Militer Belanda II.
Mereka terus mengirim alat-alat perang, namun semangat mempertahankan NKRI membara di setiap sanubari para pahlawan. Jenderal Soedirman menyingkir dari Yogyakarta menghindari penangkapan Belanda. Panglima besar ini memilih ditandu pengawalnya sembari melancarkan perang gerilya.
Mayor Suwondo yang saat itu menjadi dokter pribadi Pak Dirman, mengawasi betul kondisi kesehatannya yang naik turun. Perjalanan menuju Parangtritis terhambat sungai besar karena kendaraan tidak bisa melintas.Â
Dengan penuh semangat perlawanan, Pak Dirman akhirnya dibopong oleh pasukannya di tengah arus sungai yang demikian deras.
Perjalanan gerilya menghabiskan waktu delapan bulan dengan jarak yang ditempuh hampir seribu kilometer. Panglima sendiri ditandu dalam kondisi sakit keras dengan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.