Mohon tunggu...
Matara Sibuta
Matara Sibuta Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Argumentasi Perang Seribu Tahun

4 Februari 2019   08:15 Diperbarui: 4 Februari 2019   08:43 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana Surabaya pada November 1945 mencekam karena pasukan NICA mengultimatum warga untuk menyerah dan tidak melakukan perlawanan. 

NICA yang membawa pasukan elit Gurkha akan melakukan serangan mematikan kepada siapa pun yang keluar rumah pada saat itu. Siapa tak kenal Gurkha?  Pasukan yang memang dikenal sebagai petarung berpengalaman yang sulit ditaklukkan.

Begitu ditakutinya Gurkha, tiada seorang pun yang berani membuka pintu rumah. Selepas maghrib, gelap gulita melanda desa yang hanya disibukkan nyanyian binatang malam. Sorotan cahaya bermain di pos-pos militer untuk mengawasi gerakan mencurigakan yang berujung tembak di tempat.

Tak jauh dari pusat kota, laskar Hizbullah dan Sabilillah pimpinan KH Hasyim Ashari dan KH Masykur, mengumpulkan pasukan pada 21 Oktober 1945 di kantor ANO (Anshor Nahdhatul Oelama). 

Mereka mengecam kembalinya pasukan Belanda yang membonceng Inggris (NICA) untuk menguasai NKRI. Ulama kharismatik memimpin perlawanan dengan sangat sengit dan menghadapi alat-alat tempur modern saat itu.

Untuk membangkitkan semangat jihad, KH Hasyim Asyh'ari yang sangat dihormati, menuliskan secarik kertas yang diberi nama "Resolusi Jihad". 

Isinya adalah kewajiban bagi umat Islam dengan jarak tertentu untuk bertempur hingga titik darah penghabisan menghadapi pasukan elit Inggris dan Belanda. Resolusi ini adalah alasan untuk mempertahankan NKRI bagi rakyat Surabaya di tengah kondisi sosial politik saat itu yang tidak menentu.

KH Hasyim Asyari pencetus Resolusi Jihad (kompas.com)
KH Hasyim Asyari pencetus Resolusi Jihad (kompas.com)
Elit nasional di Surabaya sebenarnya telah menahan diri dengan menunggu kepastian Inggris dan Belanda dalam memenuhi perjanjian. Jumat, 26 Oktober 1945, Gubernur R.M.T.A. Soerjo menandatangani kesepakatan dengan Brigadir A.W.S. Mallaby. Pertemuan yang terbilang sukses itu melahirkan empat kesepakatan:

Pihak Inggris (baca:Sekutu) mengakui keberadaan Republik Indonesia sebatas distrik Surabaya.

Pihak Inggris tidak akan membawa masuk pasukan Belanda dan tidak ada pasukan Belanda yang disusupkan pada pasukan Inggris yang mendarat di Surabaya.

Pasukan Inggris hanya dibolehkan berada pada radius 800 meter dari pelabuhan.

Untuk memperlancar komunikasi antara pihak Inggris dengan Republik dalam keseharian, maka dibentuk Biro Kontak beranggotakan perwakilan dari kedua belah pihak.

Namun, apa mau dikata, perjanjian itu dirobek sendiri oleh pasukan Inggris dengan menempatkan infanteri mereka di 20 titik yang artinya lebih dari 800 peter dari pelabuhan. Dan, ternyata pasukan Belanda membonceng Inggris. Rakyat Surabaya pun marah dan menentang hal itu.

Bendera Belanda (merah, putih dan biru) disobek dengan heroik di hotel Yamato menjadi Merah Putih. Seruan perang suci pun menggema dan Resolusi Jihad mendapatkan momentum. Bung Tomo pun meneriakkan takbir "Allahu Akbar" yang menjadi awal pertempuran 10 November 1945.

Sumber : bpad.jogjaprov.go.id Bung Tomo meneriakkan Takbir untuk membangkitkan perlawanan 10 November 1945
Sumber : bpad.jogjaprov.go.id Bung Tomo meneriakkan Takbir untuk membangkitkan perlawanan 10 November 1945
Arek-arek Suroboyo menggila membuat pasukan Gurkha tercekat. Pengalaman tempur mereka tak berarti ketika menghadapi Jancuk-jancuk Jawa Timur. 

Perang gerilya dan berlarut membuat Inggris dipermalukan di pentas internasional, karena dua Jenderal mereka, Brigadir Jenderal Aubertin Walther Sother Mallaby dan Brigadir Jenderal Robert Guy Loder Symonds meregang nyawa.

Minggu pagi, 19 Desember 1948, usia kemerdekaan Indonesia baru tiga tahun, namun upaya penjajah Belanda merebut kembali Nusantara tidak berhenti. Ini disebut dalam sejarah sebagai Agresi Militer Belanda II.

Mereka terus mengirim alat-alat perang, namun semangat mempertahankan NKRI membara di setiap sanubari para pahlawan. Jenderal Soedirman menyingkir dari Yogyakarta menghindari penangkapan Belanda. Panglima besar ini memilih ditandu pengawalnya sembari melancarkan perang gerilya.

Mayor Suwondo yang saat itu menjadi dokter pribadi Pak Dirman, mengawasi betul kondisi kesehatannya yang naik turun. Perjalanan menuju Parangtritis terhambat sungai besar karena kendaraan tidak bisa melintas. 

Dengan penuh semangat perlawanan, Pak Dirman akhirnya dibopong oleh pasukannya di tengah arus sungai yang demikian deras.

Jenderal Soedirman ditandu oleh pengawal setianya (historia.id)
Jenderal Soedirman ditandu oleh pengawal setianya (historia.id)
Belanda memang hanya menguasai kota-kota besar dan jalan raya. Hal ini ditangkap dengan cerdas oleh Panglima Besar Soedirman dengan menguasai wilayah di luar kota. 

Perjalanan gerilya menghabiskan waktu delapan bulan dengan jarak yang ditempuh hampir seribu kilometer. Panglima sendiri ditandu dalam kondisi sakit keras dengan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.

Divisi Siliwangi adalah pasukan infanteri terhebat yang memberikan contoh bagaimana perang gerilya bisa menghancurkan pertahanan lawan. Jenderal AH Nasution selama dua tahun menjadi Komandan Divisi Siliwangi yang menemani Jenderal Soedirman selama gerilya.

Yogyakarta dan Surabaya menjadi contoh bagaimana perang berlarut bisa memenangkan pertempuran. Dua wilayah ini menginspirasi perlawanan hebat dan heroik. 

Di Sumatera Barat, Sjafruddin Prawiranegara pun menjalankan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan berpindah-pindah tempat guna menghindari gempuran Belanda. Di daerah lain pun begitu, perang gerilya dan berlarut menjadi strategi ampuh menghadapi musuh.

Sejatinya, sejarah perang Republik Indonesia adalah perlawanan gerilya. Dengan cara ini, Indonesia mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya. 

Gerilya melahirkan pertempuran asimetris dan kerugian besar di pihak yang memiliki persenjataan modern. Ongkos perang yang mahal akan membuat kerugian besar di pihak lawan.

Indonesia akan mampu bertempur selama seribu tahun dengan cara gerilya dan berlarut. Namun, Indonesia tidak akan mampu bertahan tiga hari, jika tidak ada persatuan, lahirnya pengkhianat, orang-orang yang mementingkan kelompoknya sendiri dan mereka yang tidak mau berkorban. (*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun