Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Memahami Skema Beasiswa dan Kontribusi bagi Bangsa

8 November 2024   22:32 Diperbarui: 9 November 2024   00:29 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi aplikasi beasiswa|freepik.com

Pernyataan "boleh tidak pulang ke Indonesia" memicu banyak pendapat yang tidak menghasilkan pendapatan. Uang negara yang dikeluarkan untuk membiayai individu memang sebaiknya dipertanggungjawabkan dengan benar.

Bagi saya pribadi, pernyataan ini seperti mata uang dengan dua sisi. Ketika melamar beasiswa, syarat esai wajib dipenuhi. Para pelamar beasiswa merangkai kalimat untuk menulis kontribusi bagi Indonesia. 

Lalu, mereka yang mampu mempertahankan esai dan memberi penjelasan berhak untuk melanjutkan bidang studi yang dipilih. Untuk kuliah keluar negeri, ratusan juta harus digelontorkan dan sebagian ada yang mencapai angka milyaran.

Bukankah menyerahkan uang ratusan juta ke satu orang tanpa pertanggungjawaban adalah sebuah kerugian bagi negara? atau, jika mereka tidak harus pulang, lantas apa kontribusi nyata lainnya yang bisa dibuktikan?

Beasiswa LPDP memiliki pilihan kampus lebih banyak dibanding beasiswa sejenis, sebut saja AAS ke australia, DAAD ke Belanda, atau Fulbright ke Amerika. 

Sekilas melihat, beasiswa yang diberikan mencukupi semua kebutuhan selama kuliah. Baik itu iuran SPP, biaya tiket pulang-pergi, dan dana riset, bahkan tambahan biaya hidup untuk keluarga bagi pelamar S-3.

Jadi, uang yang dikeluarkan negara cukup besar dan layak untuk diminta pertanggungjawaban dari penerima beasiswa. Apakah banyak alumni lpdp yang tidak kembali ke Indonesia? yang jelas, sebagiannya memilih untuk bekerja di luar negeri.

Alasan mereka bervariasi, ada yang sudah membangun jaringan (network) saat kuliah dan mendapatkan tawaran kerja dengan gaji jauh lebih besar ketimbang bekerja di Indonesia. Ada juga yang ingin membangun jaringan terlebih dahulu sebelum akhirnya memutuskan pulang.

Intinya, polemik alumni lpdp yang tidak kembali ke Indonesia setelah selesai studi bukanlah isu baru. Banyak yang sudah mempermasalahkannya beberapa tahun yang lalu, namun kemudian reda seiring berkembangnya isu lain.

Tak disangka, isu ini kembali muncul ke permukaan karena sebuah pernyataan dari pejabat. Ya, namanya juga Indonesia, kalau sudah disoroti kamera, jadilah bahan obrolan publik dan tak lupa netizen.

Kenapa Harus Pulang?

Pertanyaan mendasar bagi penerima beasiswa adalah, kenapa mereka harus pulang?

Nah, saat melamar beasiswa, setiap pelamar diminta untuk menuliskan esai, bukan? lalu, di dalam esai tertulis kontribusi yang hendak dilakukan saat kembali ke Indonesia. 

Berapa persentase penerima beasiswa yang sungguh-sungguh membuktikan kontribusi yang mereka tulis? 

Penerima beasiswa seringkali menabur bunga di esai agar bisa diterima. Itu wajar! siapa yang tidak ingin dipertimbangkan dengan esai yang menarik. Makanya, untuk menulis esai yang to the point, calon pelamar tidak sekedar berhalusinasi.

Mereka berpikir keras untuk menuangkan ide dan kemudian mencari benang merah permasalahan , lalu mengaitkan dengan bidang studi dan kontribusi yang kelak ingin diberikan.

Faktanya, seberapa relevankah kontribusi yang diberikan sepulangnya dari negara tempat menuntut ilmu? atau, mereka tenggelam dalam arus birokrasi yang lama. 

Itulah yang sering dikeluhkan oleh penerima beasiswa. Mereka tidak sepenuhnya mampu membuktikan kontribusi yang sudah ditulis saat melamar beasiswa karena terbentur dengan banyak hal. 

Contohnya, mereka yang kuliah di bidang sains boleh jadi terhalang laboratorium untuk melakukan penelitian. Lalu, jalan keluarnya adalah melamar pekerjaan yang tersedia, semisal pegawai negeri atau pegawai swasta. 

Kalaupun laboratorium tersedia, dana risetnya tidak mencukupi. Bahkan, ide risetnya bagus, namun tidak tertutup kemungkinan harus melawan arus birokrasi. Antara mempertahankan tekad kuat yang ada, atau bertahan dalam sistem yang sama. 

Lupakan ilmu kuliah yang dulu sempat dipelajari di luar negeri. Ikuti arus dengan melakukan tugas pokok dan tenggelam dalam rutinitas. Jika peluang ada, mereka kemudian kembali melamar beasiswa ke jenjang berikutnya. 

Apakah ini bermakna ilmu mereka tidak terserap? jawabannya sangat tergantung! jika mereka kreatif, maka banyak kesempatan untuk berbagi ilmu, mungkin tidak 100% ideal dengan apa yang diharapkan sepulang dari luar negeri. 

Sementara itu, tidak sedikit alumni lpdp yang mungkin terbawa mimpi untuk bekerja di luar negeri. Mereka ingin belajar lebih banyak dan menyerap ilmu dari para ahli, sekaligus merasakan gaji yang besar. 

Jika demikian, kemana arah kontribusi yang dulu mereka buburi pemanis pada esai?

Tentu tidak fair kalau uang dari pajak rakyat dinikmati tanpa dikembalikan dalam wujud kontribusi nyata. Pun demikian, jikapun alumni lpdp kembali untuk bekerja di Indonesia, kontribusi seperti apa yang bisa mereka wujudkan?

Intinya, kontribusi wajib diberikan terlepas dimana penerima beasiswa berada. Terkhusus pada mereka yang dana beasiswa disponsori oleh negara Indonesia. 

Jangan sampai ijazah dari luar negeri hanya sekedar bukti fisik saja. Sungguh itu tidak menepati janji suci ketika melamar beasiswa. 

Ikat Erat Penerima Beasiswa

Saya tidak menyalahkan keputusan penerima beasiswa untuk menetap di luar negeri. Dari pengalaman kuliah di luar negeri, saya memahami alasan kenapa sebagian memilih untuk berkarir di luar negeri.

Kontrak antara sponsor beasiswa dan penerima seringkali tidak mengikat. Maknanya, sekalipun mereka diharap pulang ke dalam negeri, itu sekedar pilihan yang boleh saja tidak ditaati.

Selama tidak terikat dengan institusi tempat bekerja, maka sah-sah saja 'melarikan diri' ke luar negeri. Toh, makna kontribusi masih sulit diterawang.

Kecuali, pihak sponsor mensyaratkan kontribusi nyata. Dalam hal ini, penerima beasiswa harus diikat dengan perjanjian. Tidak hanya diharuskan pulang dengan konsep kontribusi yang abstrak dan tidak mengikat dalam sebuah kewajiban nyata.

Kenapa tidak, misalnya pemerintah mengikat penerima beasiswa dengan perjanjian yang jelas sedari awal saat menandatangani kontrak. Caranya adalah dengan memberi pilihan bentuk kontribusi yang memungkinkan.

Salah satu contoh yaitu opsi kontribusi sejalur dengan jurusan yang dipilih. Apakah itu berbentuk individu atau grup. Intinya, harus ada sesuatu yang wajib dibuktikan. 

Jika memilih melakukan penelitian, maka fasilitasi mereka dengan laboratorium yang memadai. Lalu, arahkan pada sebuah penemuan baru yang bertujuan untuk menghasilkan teknologi mutakhir untuk bangsa.

Sebaliknya, jika memang penerima beasiswa boleh tidak pulang atau menetap di luar negeri, berikan opsi lain yang masih mungkin dilakukan dari luar Indonesia. 

Tentu saja banyak alternatif yang masih relevan. Meskipun demikian, perlu diperjelas sejak awal bagaimana bentuk kontribusi yang diharapkan oleh pemerintah dan yang ingin dilakukan oleh si penerima beasiswa. 

Manakala esai mereka ingin berkontribusi di dalam negeri, lalu saat selesai kuliah memilih bekerja di luar negeri, bukankah itu sebuah penipuan di balik karangan bunga esai?

Untuk itu, pemerintah jangan sekedar mendengar janji manis penerima beasiswa, tapi ikat mereka dengan perjanjian tertulis dan mesti dibuktikan. 

Fasilitas pendukung juga perlu dibangun untuk menjembatani kontribusi penerima beasiswa. Jangan sampai, isi esai ingin melakukan penelitian ini dan itu, lantas laboratorium tidak ada, dana riset tidak tersedia, gagasan riset tidak diterima. 

Hambatan-hambatan seperti menjadi tolak ukur sejauh mana sebuah kontribusi terdengar mustahil atau mungkin untuk diterapkan. Kesimpulannya, baik pemerintah ataupun penerima beasiswa harus seiya dan sekata serta terikat dalam kerjasama. 

Jangan saling menyalahkan, mengkambingputihkan, atau menuntut terlalu banyak. Sebelum berangkat ke luar negeri, luruskan niat terlebih dahulu dan tentukan kemana kontribusi akan berlabuh. 

Janji yang diucapkan mesti ditepati. Kontribusi yang dituliskan sepatutnya dipertanggungjawabkan dengan penuh kesadaran. Uang negara berasal dari kontribusi rakyat. Apa tidak malu sekolah dibiayai uang rakyat, lalu berkeliaran tanpa rasa bersalah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun