Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kenapa Dosen Indonesia Malas Menulis?

29 September 2024   08:31 Diperbarui: 29 September 2024   08:39 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Toh, pada kenyataannya dosen dengan jabatan struktural tertinggi tidak terbukti produktif dalam dunia akademik. Misalnya dinilai dari jumlah buku yang sudah ditulis atau kontribusi pada masyarakat secara langsung. 

Dunia perkampusan memang unik. Seminar datang silih berganti, tapi kualitas terus dinanti-nanti. Sertifikat selalu dijadikan tujuan akhir. Ya, lagi-lagi untuk syarat administratif. Naik jabatan lah, naik gaji lah, atau naik tangga.

Bagaimana caranya agar dosen Indonesia rajin menulis?

Menurut saya pribadi, rubah kebijakan dan cara berpikir. Termasuk sistem seleksi dosen harus dirubah total. Calon dosen mesti memiliki kualifikasi tinggi: menguasai bidang keilmuan, memiliki kemauan menulis, dan pedagogi.

Lalu, dosen ditargetkan untuk menulis buku, seminimalnya buku bahan ajar. Setiap tahun dosen wajib menelurkan karya dibidangnya. Apakah dengan cara menulis sendiri, berkolaborasi, atau menggabungkan referensi. Intinya, WAJIB MENULIS!

Dosen-dosen yang tidak menulis sebaiknya dikirim ke pulau terpencil selama satu tahun untuk merenungkan nasib. Disana mereka diberi fasilitas berupa pustaka dengan ruang menulis dan akses internet. Kalau dalam satu tahun mereka tidak bisa menghasilkan karya berbentuk buku, segera cabut status dosen!

Status pendidik tidak boleh berstandar asal-asalan. Pun demikian, standar penilaian juga berorientasi pada kualitas, bukan kuantitas. Buat apa dosen bertambah banyak tapi kualitas tidak ada. Bukankah lebih baik 100 dosen penulis daripada 1000 dosen yang tidak menulis. 

Pola pikir jelas menentukan kualitas. Untuk itu, asesmen sewajarnya bukan dibuat untuk memperlambat kinerja dosen di universitas. Jika tidak, profesor abal-abal semakin banyak dan dosen berstatus 'penumpang' kian bertambah. 

Butuh pemimpin yang benar untuk mewarisi dosen berkualitas. Dimulai dari kebijakan dengan orientasi yang tepat. Sudah saatnya pola pikir sertifikat dibuang jauh-jauh. Hadir ke seminar bukan untuk dapat sertifikat dan publikasi artikel ilmiah bukan untuk syarat naik pangkat.

Hapus aturan yang tidak punya landasan berpikir logis dan sistematis. Kembalikan fungsi dosen pada ranah dan relnya masing-masing. Dosen wajib memiliki kemampuan menulis, berpikir kritis dan bernalar logis. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun