Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kenapa Dosen Indonesia Malas Menulis?

29 September 2024   08:31 Diperbarui: 29 September 2024   08:39 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dosen malas|ilustrasi freepik.com

Dosen di Indonesia disibukkan oleh perkara administratif. Bobot KUM yang dipakai sebagai standar pengukuran kinerja layaknya sebuah perangkap.

Seorang teman yang merupakan seorang dosen pernah beberapa kali mengajak saya membahas tentang buku ajar. Di kampus lain, saya melihat status teman-teman dosen yang rajin mengejar artikel ilmiah. 

Jurnal-jurnal berbobot dikejar dengan satu tujuan, yakni nilai KUM yang besar. Tentu saja mereka memerlukannya untuk naik jabatan. Satu artikel saja tembus di jurnal internasional terindex Scopus, maka rasa bahagia bisa berlipat ganda. 

Namun, dari sekian banyak teman dosen ini, hanya segelintir yang menghasilkan karya berupa buku ajar. Entah mereka kurang tertarik menulis buku berwujud bahan ajar atau mungkin bobot nilainya tidak besar. 

Anggaplah jumlah dosen di satu jurusan sekitar 15 orang, adakah 5 dari mereka menulis buku ajar?

Dari pengalaman di lapangan, saya tidak menemukannya. Artikel ilmiah untuk publikasi lebih diutamakan dan menjadi target paling dikejar bagi sebagian besar dosen. 

Tidak mengherankan jika hari ini banyak jurnal abal-abal muncul. Bahkan, buruknya lagi istilah 'nebeng' santer menyemat pada dunia akademisi. Frasa 'nebeng artikel' atau 'numpang nama' pun bukan hal baru lagi. 

Adakah ini sebuah fenomena dosen malas menulis?

Kalau saja kita mencermati lebih dalam, kebijakan publikasi artikel di jurnal terindex Scopus tidak membawa dampak signifikan dalam dunia akademisi. 

Sebaliknya, buku bahan ajar yang idealnya dihasilkan oleh dosen internal malah sangat minim. Lantas, kenapa mengejar sesuatu yang kecil demi hal besar?

Bagaimana jika kebijakannya dirubah? standar nilai KUM lebih besar poinnya pada penulisan buku ajar berkualitas setara dengan standar jurnal terindex Scopus.

Menulis artikel ilmiah bersandar pada hasil penelitian atau review jurnal berbentuk metaanalisis jelas tidak mudah. Makanya, banyak dosen yang sebenarnya ikut nebeng menjadi penulis kedua, ketiga, dan seterusnya.

Hanya saja, fenomena ini lebih tepatnya diibaratkan seperti gunung es yang mencair perlahan. Jangankan dosen, beberapa profesor ada yang mencapai karir dengan cara nebeng artikel. Media ternama menyorot isu ini beberapa kali, namun tenggelam dalam pusaran air bah. 

Tempo mempublikasi artikel berjudul 'Gila Gelar Skandal Guru Besar' [7/07/2024]. Bahkan, lebih mencengangkan lagi skandal guru besar melibatkan asesor. Banyangkan betapa bahayanya profesor ecek-ecek ini dikala memegang jabatan struktural di kampus. 

Seharusnya dunia akademisi berputar pada poros yang benar. Kebijakan pemerolehan poin untuk naik jabatan akhirnya mudah dimanipulasi dan melahirkan generasi lemah daya pikir dan antikritik. 

Kembali ke pertanyaan awal, KENAPA DOSEN MALAS MENULIS?

Sulit dipungkiri bahwa minimnya minat baca pada mayoritas orang Indonesia berimbas pada kuantitas buku dengan penulis lokal. Universitas setiap tahunnya menelurkan ribuan sarjana dan ratusan mahasiswa paska sarjana. 

Namun, seberapa besar persentase dari lulusan yang mau menulis ? SANGAT KECIL!

Mirisnya lagi, dosen yang sudah mengajar puluhan tahun belum tentu menulis buku berwujud bahan ajar. Bukankah mahasiswa membutuhkan pegangan (handout) bermutu. Sebagian besar materi rujukan berasal dari buku penulis luar dibanding akademisi kampus tempat mahasiswa menuntut ilmu. 

Hal ini menimpulkan tanda tanya besar tentang kualitas sumber daya manusia di dunia kampus. Apakah dosen-dosen di universitas adalah hasil seleksi alam atau kebijakan yang salah?

Sudah semestinya pengajar menulis bahan ajar untuk memudahkan proses transfer ilmu. Banyak manfaat yang diperoleh dosen ketika menulis buku. Tidak semata-mata sebagai landasan nilai KUM untuk naik jabatan. 

Toh, pada kenyataannya dosen dengan jabatan struktural tertinggi tidak terbukti produktif dalam dunia akademik. Misalnya dinilai dari jumlah buku yang sudah ditulis atau kontribusi pada masyarakat secara langsung. 

Dunia perkampusan memang unik. Seminar datang silih berganti, tapi kualitas terus dinanti-nanti. Sertifikat selalu dijadikan tujuan akhir. Ya, lagi-lagi untuk syarat administratif. Naik jabatan lah, naik gaji lah, atau naik tangga.

Bagaimana caranya agar dosen Indonesia rajin menulis?

Menurut saya pribadi, rubah kebijakan dan cara berpikir. Termasuk sistem seleksi dosen harus dirubah total. Calon dosen mesti memiliki kualifikasi tinggi: menguasai bidang keilmuan, memiliki kemauan menulis, dan pedagogi.

Lalu, dosen ditargetkan untuk menulis buku, seminimalnya buku bahan ajar. Setiap tahun dosen wajib menelurkan karya dibidangnya. Apakah dengan cara menulis sendiri, berkolaborasi, atau menggabungkan referensi. Intinya, WAJIB MENULIS!

Dosen-dosen yang tidak menulis sebaiknya dikirim ke pulau terpencil selama satu tahun untuk merenungkan nasib. Disana mereka diberi fasilitas berupa pustaka dengan ruang menulis dan akses internet. Kalau dalam satu tahun mereka tidak bisa menghasilkan karya berbentuk buku, segera cabut status dosen!

Status pendidik tidak boleh berstandar asal-asalan. Pun demikian, standar penilaian juga berorientasi pada kualitas, bukan kuantitas. Buat apa dosen bertambah banyak tapi kualitas tidak ada. Bukankah lebih baik 100 dosen penulis daripada 1000 dosen yang tidak menulis. 

Pola pikir jelas menentukan kualitas. Untuk itu, asesmen sewajarnya bukan dibuat untuk memperlambat kinerja dosen di universitas. Jika tidak, profesor abal-abal semakin banyak dan dosen berstatus 'penumpang' kian bertambah. 

Butuh pemimpin yang benar untuk mewarisi dosen berkualitas. Dimulai dari kebijakan dengan orientasi yang tepat. Sudah saatnya pola pikir sertifikat dibuang jauh-jauh. Hadir ke seminar bukan untuk dapat sertifikat dan publikasi artikel ilmiah bukan untuk syarat naik pangkat.

Hapus aturan yang tidak punya landasan berpikir logis dan sistematis. Kembalikan fungsi dosen pada ranah dan relnya masing-masing. Dosen wajib memiliki kemampuan menulis, berpikir kritis dan bernalar logis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun