Mana yang lebih penting untuk diperhatikan ketika belajar bahasa Inggris, fluency atau accuracy?
Let's get into it!
Sebelum itu, mari kita lihat perbedaan antara keduanya.
Fluency mengarah pada kelancaran, sementara accuracy merujuk pada ketepatan. Orang yang pandai berbicara bahasa Inggris boleh saja lancar, namun belum tentu tepat secara aturan (grammar).
Nah, model pembelajaran di sekolah kebanyakan lebih condong mengacu pada accuracy dan mengenyampingkan fluency.Â
Sebenarnya, untuk memperoleh output yang baik, fluency dan accuracy perlu diseimbangkan. Tes Speaking pada TOEFL dan IELTS menitikberatkan pada kelancaran berbahasa Inggris dengan lancar dan benar.
Jika seseorang terlalu kaku dan menghabiskan banyak waktu belajar grammar, maka boleh jadi ia tidak terlalu lancar ketika berbicara dalam bahasa Inggris.Â
Ini yang sering terjadi pada proses pembelajaran di sekolah. Guru terlalu fokus pada aturan dengan pola hafalan rumus, sehingga siswa kurang mendapat kesempatan untuk mempratikkan teori yang dipelajari.
Padahal, kunci belajar bahasa bagi pemula sebaiknya mulai dari tahapan fluency. Mengapa harus begitu?
Baik, mari kita bahas lebih detil di bawah ini:
Kelancaran (fluency) berbahasa didapat melalui praktik. Input berupa aturan berbentuk Grammar dan Listening tidak berbekas pada otak jika tidak diproses melalui praktik.
Bagaimana dengan ketepatan (accuracy)? Berbeda dengan fluency, accuracy akan mudah diterapkan jika siswa mampu memenuhi tiga aspek ini.
- Anxiety
- Confidence
- Motivation
Anxiety bermakna kecemasan. Ketika seseorang cemas, ia menarik diri untuk berbicara. Artinya, manakala siswa masih mengalami kecemasan, guru sebaiknya tidak fokus pada accuracy lebih dulu.
Confidence adalah percaya diri. Seberapa besar rasa percaya diri siswa ketika berbicara dalam bahasa Inggris?
Kalau level percaya dirinya masih rendah, kemauan untuk berkomunikasi dalam bahasa Inggris juga minim.Â
Yang terakhir adalah motivation. Apakah siswa termotivasi untuk bejalar bahasa Inggris atau acuh tak acuh ketika berinteraksi dengan siswa lain.
Kalau ketiga aspek ini masih melekat pada siswa, maka mengedepankan fluency ketimbang accuracy jauh lebih bermakna.
Fluency dan accuracy saling terkait satu sama lain dan sama-sama penting. Untuk itu, tahapan belajar bahasa mestilah benar secara urutan.
Kita ambil contoh sederhana. Saya kerap menemukan siswa dari boarding school atau sekolah asrama yang lancar berbahasa Inggris namun grammarnya amburadul.Â
Di sisi lain, ada yang menguasai bahasa Inggris dengan level accuracy sangat baik tapi tidak percaya diri ketika berbicara.
Kalau kita menelusuri lebih lanjut, mudah saja menemukan benang merah antar kedua contoh di atas.Â
Sekolah berasrama terbiasa mengarahkan siswa untuk memakai bahasa Inggris. Dibalik itu, mereka tidak terlalu fokus pada benar salahnya (grammar).
Dengan begitu, siswa mendapat porsi fluency lebih besar dibandingkan accuracy. Hal seperti ini bermanfaat untuk melatih percaya diri dan menumbuhkan motivasi pada siswa.
Sayangnya, pada kasus tertentu, pola pembelajaran menjadi tidak efektif karena kurangnya akses accuracy dalam bentuk pemahaman melalui sumber audio atau bacaan yang bervariasi.
Apa yang kemudian terbentuk pada siswa?
Mereka terbiasa memakai pola bahasa yang tidak benar atau tidak tepat. Ada juga yang menempatkan kosakata dalam konteks salah serta pengucapan tidak benar.
Alhasil, output bahasa Inggris pada tipe siswa seperti ini cenderung mengarah ke broken language. Maknanya, mereka bisa berbicara tapi salah secara aturan.
Contoh kedua, ketika sekolah memakai kurikulum bagus seperti Cambridge, siswa mendapat porsi lebih besar pada accuracy.
Tapi ini tidak serta merta bermakna bahwa sekolah dengan kurikulum bagus menelurkan siswa dengan output bahasa Inggris yang baik.
Faktor penentu adalah guru yang mengajarkan bahasa Inggris. Kalau saja guru terlalu dini 'memaksakan' siswa pada accuracy, maka siswa belum tentu mampu memakai apa yang sudah dipelajarinya.
Untuk itu, guru perlu paham tipe murid seperti apa yang mereka ajarkan. Apakah tingkat percaya dirinya baik, kecemasannya rendah, dan motivasi tinggi.
Ketiga indikator ini mesti dipertimbangkan sebelum memutuskan porsi fluency dan accuracy dalam ruang kelas.
Misalnya, siswa dengan tingkat percaya diri rendah dan rawan cemas, sebaiknya dibiarkan berbicara tanpa harus fokus padagrammar lebih dulu.
Sebaliknya, siswa yang memiliki motivasi tinggi disatukan satu kelompok untuk diarahkan pada accuracy. Metode pembelajaran dalam kelas bahasa sebaiknya terukur dan terstruktur.Â
Siswa mendapat waktu yang cukup untuk berkomunikasi dalam bahasa Inggris, sehingga level confidence meningkat bertahap. Selanjutnya, siswa tinggal diarahkan untuk memahami grammar secara kontekstual.Â
Kemampuan berbahasa akan jauh lebih mudah terbentuk manakala rasa percaya diri lebih tinggi. Pola pembelajaran dalam kelas sudah semestinya didesain mengarah pada jenis aktivitas menyenangkan dan mudah untuk diikuti.
Guru bahasa Inggris wajib mengusai teknik pengajaran, pedagogi, dan aturan berbahasa yang benar. Tidak sedikit guru bahasa Inggris yang mengajar seadanya karena pengetahuan berbahasa Inggris belum maksimal.Â
Siswa akhirnya mewarisi pola belajar yang tidak efektif dan membutuhkan waktu lebih lama untuk menguasai bahasa Inggris.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H