Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Declutter Your Mind, Peran Orangtua Membatasi Konsumsi Digital pada Anak

6 Juli 2024   11:45 Diperbarui: 13 Juli 2024   16:15 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Konsumsi digital pada anak|freepik.com

S.J Scoot & Barrie Davenport menulis sebuah buku dengan judul Declutter your mind. How to stop worrying, Relieve anxiety, and eliminate negative thinking. 

Buku ini sangat cocok dibaca untuk memahami cara kerja pikiran manusia. Declutter dalam bahasa Indonesia bermakna membuang segala hal yang tidak diperlukan. 

Dalam konteks rumah, declutter merujuk pada pola hidup minimalis dengan hanya menyimpan barang sesuai fungsinya.

Nah, apa hubungan declutter dengan pikiran?

Pikiran terbentuk dari dua hal, segala sesuatu yang kita lihat dan dengar. Semenjak lahir, setiap kita sudah mengisi otak dengan berbagai informasi. Semua informasi yang kita peroleh dari orang terdekat dan lingkungan sekitar menjadi database pikiran.

Pikiran manusia memiliki dua kecenderungan, positif dan negatif. Pikiran posiif terbentuk dari sumber positif. Sebaliknya, pikiran negatif relatif berbanding lurus dengan database negatif.

Nah, kedua pikiran ini menjadi 'sampah' yang perlu dibersihkan secara berkala. Ibarat rumah dengan banyak barang, membuang sebagian barang yang tidak diperlukan memberi ruang cukup untuk keperluan lain. 

Mengolah pikiran dengan memilah mana yang perlu dan mana tidak bukan perkara mudah. Konsumsi digital beberapa tahun belakangan begitu besar. Anak-anak, remaja, dan orang dewasa 'dipaksa' untuk menyimpan informasi yang tidak dibutuhkan otak.

Konsumsi digital datang dari sumber bervariasi, termasuk media sosial, berita dan tontonan. Ketiga hal ini tanpa kita sadari menjadi wadah terbentuknya pikiran negatif. 

Penumpukan informasi yang terus menerus menjadi sampah pikiran. Jika tidak dibersihkan, maka otak kehilangan kemampuan fokus dan membuat keputusan akurat dengan tepat.

Konsumsi Digital 

Remaja mana yang tidak terhubung dengan media sosial. Rasanya, hampir mayoritas remaja Indonesia merasa hampa jika tidak terkoneksi dengan WA, Instagram, Youtube, dan beberapa lainnya. 

Mereka takut tertinggal dan tidak up to date. Istilah keren saat ini adalah Fear of Missing Out (FOMO). Ya, rasa takut berlebihan jika tidak mengikuti tren yang sedang berlangsung. 

Konsumsi digital membentuk pola pikir yang terikat. Artinya, informasi berlebihan yang diserap mata atau telinga tidak selamanya perlu disimpan otak. Namun, algoritma yang tertanam pada media sosial memang ditujukan untuk mengikat pengguna dalam waktu lama. 

Akhirnya, remaja sulit untuk melepas diri dari konsumsi digital. Mereka merasa senang ketika terhubung dengan teman dan mengikuti tren-tren yang ada dengan menonton video singkat yang mengikuti kebiasaan mereka.

Salah satu alasan kenapa anak-anak tidak dianjurkan untuk mengakses smartphone yaitu karena filter di otak mereka belum terbentuk. Semua informasi yang masuk ke otak disimpan tanpa kecuali. Baik itu informasi positif, atau negatif. 

Informasi yang menumpuk menyebabkan otak berkembang tidak sehat. Maknanya, otak membentuk rangkaian informasi yang boleh jadi tidak bermanfaat untuk diproses. 

Adapun remaja berada di fase terbentuknya filter. Peran orang tua untuk mengarahkan anak pada konsumsi digital yang baik menentukan database otak anak. 

Pada saat anak sudah mengerti apa yang seharusnya ditonton, mereka dapat menyaring informasi yang relevan. Alhasil, otak mereka tidak dipenuhi dengan informasi sampah yang merugikan otak. 

Anak-anak dengan konsumsi digital berlebih biasanya kehilangan fokus dan sulit belajar. Bagian otak Prefrontal cortex yang berfungsi untuk membuat keputusan dan Hippocampus yang berguna untuk menyimpan informasi terganggu. 

Kok bisa?

Jawabannya sederhana. Ketika mengakses media sosial, otak mengeluarkan hormon endorfin yang menciptakan rasa bahagia. Idealnya, hormon endorfin dipicu secara alami dengan interaksi fisik melalui aktivitas yang menyenangkan.

Membiasakan anak bermain di luar |freepik.com
Membiasakan anak bermain di luar |freepik.com

Sayangnya, kehadiran smartphone telah mencuri waktu anak. Pola interaksi dan komunikasi anak berubah, diikuti dengan reaksi otak terhadap rangsangan.

Akibatnya, otak cendrung terpancing mengeluarkan hormon endorfin karena konsumsi digital berlebih. Padahal, aktivitas outdoor jauh lebih berguna untuk memicu hormon kebahagiaan secara alami.  

Bersebab interaksi dengan smartphone dan konsumsi digital, perlahan namun pasti, anak merasa candu dan sulit melepas diri dari akses media sosial. 

Interaksi fisik dengan bermain dan bersosialisasi di luar rumah tidak lagi menjadi pilihan menarik bagi anak. Hal ini disebabkan sifat candu yang kerapkali muncul ketika mengakkses smartphone. 

Otak dipenuhi dengan informasi berilmpah. Pada kenyataannya, hanya sedikit dari informasi ini bermanfaat bagi otak. Sisanya adalah sampah yang wajib dibersihkan.

Menghapus sebagian informasi dalam otak seharusnya dilakukan secara berkala. Seperti membersihkan sampah dalam rumah. Jika dibiarkan menumpuk dan tidak dibuang, bau busuk dan penyakit mudah muncul dalam rumah. 

Pikiran manusia juga perlu dibersihkan setiap harinya. Konsumsi digital berjam-jam juga berdampak negatif. Untuk itu, pembatasan konsumsi konten digital sepatutnya dijadikan rutinitas. 

Aktivitas yang menantang baik untuk perkembangan otak anak | freepik.com
Aktivitas yang menantang baik untuk perkembangan otak anak | freepik.com

Bagaimana caranya?

Men-declutter otak tanpa memahami strategi yang tepat sama halnya seperti membersihkan rumah dengan terus menimbun barang ke dalamnya. 

Pahami terlebih dahulu kenapa kita harus membuka media sosial dan manfaat apa yang mungkin kita dapat. Jika kita tahu dan sadar 90% waktu terbuang tanpa manfaat, maka batasi penggunaan media sosial.

Selanjutnya, pelajari hal apa yang memberi manfaat melalui konsumsi digital. Misalnya, menonton video tentang hal-hal yang ingin kita pelajari dan dalami. Membatasi jenis konten yang kita akses membuat otak lebih selektif akan database mana yang layak disimpan sebagai memori.

Dengan menerapkan prinsip pembatasan konsumsi media sosial, otak jauh lebih sehat dan pikiran juga jernih. Otak anak adalah aset berharga yang perlu dijaga. Membiarkan anak mengkonsumsi konten digital tanpa batas adalah sebuah kecorobohan fatal orang tua. 

Orang tua jangan membiarkan anak terlelap di depan smartphone tanpa tahu apa yang mereka konsumsi. Ajarkan batasan dan beri panduan untuk memilih informasi positif layak dikonsumsi.

 ***

By: Masykur

[Banda Aceh, 6 Juli, 2024]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun