Remaja mana yang tidak terhubung dengan media sosial. Rasanya, hampir mayoritas remaja Indonesia merasa hampa jika tidak terkoneksi dengan WA, Instagram, Youtube, dan beberapa lainnya.Â
Mereka takut tertinggal dan tidak up to date. Istilah keren saat ini adalah Fear of Missing Out (FOMO). Ya, rasa takut berlebihan jika tidak mengikuti tren yang sedang berlangsung.Â
Konsumsi digital membentuk pola pikir yang terikat. Artinya, informasi berlebihan yang diserap mata atau telinga tidak selamanya perlu disimpan otak. Namun, algoritma yang tertanam pada media sosial memang ditujukan untuk mengikat pengguna dalam waktu lama.Â
Akhirnya, remaja sulit untuk melepas diri dari konsumsi digital. Mereka merasa senang ketika terhubung dengan teman dan mengikuti tren-tren yang ada dengan menonton video singkat yang mengikuti kebiasaan mereka.
Salah satu alasan kenapa anak-anak tidak dianjurkan untuk mengakses smartphone yaitu karena filter di otak mereka belum terbentuk. Semua informasi yang masuk ke otak disimpan tanpa kecuali. Baik itu informasi positif, atau negatif.Â
Informasi yang menumpuk menyebabkan otak berkembang tidak sehat. Maknanya, otak membentuk rangkaian informasi yang boleh jadi tidak bermanfaat untuk diproses.Â
Adapun remaja berada di fase terbentuknya filter. Peran orang tua untuk mengarahkan anak pada konsumsi digital yang baik menentukan database otak anak.Â
Pada saat anak sudah mengerti apa yang seharusnya ditonton, mereka dapat menyaring informasi yang relevan. Alhasil, otak mereka tidak dipenuhi dengan informasi sampah yang merugikan otak.Â
Anak-anak dengan konsumsi digital berlebih biasanya kehilangan fokus dan sulit belajar. Bagian otak Prefrontal cortex yang berfungsi untuk membuat keputusan dan Hippocampus yang berguna untuk menyimpan informasi terganggu.Â
Kok bisa?
Jawabannya sederhana. Ketika mengakses media sosial, otak mengeluarkan hormon endorfin yang menciptakan rasa bahagia. Idealnya, hormon endorfin dipicu secara alami dengan interaksi fisik melalui aktivitas yang menyenangkan.